Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Sabtu, 22 September 2012

APA HUKUM PERKATAAN FULAN SYAHID ?

 Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa hukum perkataan, 'fulan Syahid ?'.

Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :

Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu tidak memvonis syahid kecuali ada wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si fulan syahid, dan si fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid". Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.

Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.

"Artinya : Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Bukhari : 2787]

Dan sabda beliau.
"Artinya : Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk" [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]

Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.

Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.

Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.


[Disalin dari buku Majmu' Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Aqidah, hal. 208-210 Pustaka Arafah]

AL MARHUM BENARKAH SEBUTAN INI ?

Dalam kehidupan sehari-hari, acapkali kita mendengar atau membaca di media massa cetak ataupun elektronik, yaitu penyebutan kalimat almarhum (orang yang mendapatkan rahmat) kepada orang yang sudah meninggal, sehingga seakan-akan menjadi gelar. Bagaimanakah pandangan ulama mengenai penyebutan kalimat ini? Berikut, kami nukilkan sebuah pertanyaan dan jawabannya.

Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta ditanya: Saya mendengar sebagian kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang. Saya ingin mengetahui pandangan Islam terhadap kalimat ini? Misalnya, jika ada seseorang tertentu meninggal dunia, sebagian orang ada yang mengatakan al marhum Si Fulan”. Jika orang yang meninggal itu memiliki kedudukan, mereka mengatakan “al maghfur lahu Fulan”.

Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ menjawab: Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang setelah orang itu meninggal dunia, merupakan perkara ghaib; hanya diketahui oleh Allah, kemudian makhluk yang diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla, seperti para malaikatNya dan para nabiNya.

Jadi pemberitaan orang lain, selain para malaikat atau para nabi tentang mayit bahwa ia sudah mendapatkan rahmat atau maghfirah, merupakan sesuatu yang tidak boleh. Kecuali (tentang) orang yang sudah dijelaskan nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Kalau berani berbicara) tanpa nash, bararti telah berlaku lancing atas sesuatu yang ghaib, padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah". [an Naml:65].

عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ

"(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya". [al Jin:26-27].

Namun seorang muslim diharapkan mendapatkan maghfirah (ampunan), rahmat dan masuk syurga, sebagai karunia dan kasih sayang dari Allah. Dan dia dido’akan agar mendapatkan ampunan, sebagai ganti dari pemberitaan bahwa ia telah mendapatkan ampunan dan rahmat. Allah berfirman.

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya." [an Nisa’:48].

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:

عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ أُمَّ الْعَلَاءِ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ بَايَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ اقْتُسِمَ الْمُهَاجِرُونَ قُرْعَةً فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فَأَنْزَلْنَاهُ فِي أَبْيَاتِنَا فَوَجِعَ وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَلَمَّا تُوُفِّيَ وَغُسِّلَ وَكُفِّنَ فِي أَثْوَابِهِ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ اللَّهُ فَقَالَ أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي قَالَتْ فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدُ أَبَدًا -رواه البخاري

"Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit bahwa Ummul Ala’ –dia seorang wanita yang sudah pernah membai’at Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam – memberitahuku, bahwa kaum Muhajirin diundi (untuk menentukan siapa di kalangan Muhajirin yang ditempatkan di rumah dari kalangan Anshar). Maka Utsman bin Mazh’un terpilih buat kami, lalu kami tempatkan di rumah kami. Lalu dia sakit yang menyebabkan meninggalkan. Ketika sudah meninggal, dimandikan, dan telah dikafani dengan kain-kainnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk. Lalu aku mengatakan, “Rahmat Allah atasmu, wahai Abu Sa’ib (maksudnya Utsman bin Mazh’un). Aku bersaksi bahwa Allah sungguh Allah telah memuliakanmu.” Mendengar ucapanku ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Apa yang telah membuat engkau mengetahui bahwa Allah telah memuliakannya? Aku mengatakan,Demi bapakmu (ini bukan untuk bersumpah, Pent), lalu siapa yang dimuliakan Allah? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,Karena dia sudah meninggal dunia. Maka, demi Allah. Saya sungguh mengharapkan kebaikan baginya. Dan demi, Allah. Saya tidak tahu padahal saya adalah Rasulullah- apa yang akan Allah lakukan pada diri saya!” Kemudian Ummul ‘Ala mengatakan: “Demi, Allah. Setelah itu, seterusnya, (kepada seorang pun) saya tidak (lagi) memberi persaksian bahwa si fulan mendapatkan kebaikan setelah meninggalnya”. [HR Bukhari].

Dan mengenai ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي

Dan demi, Allah. Saya tidak tahu -padahal saya adalah Rasulullah- apa yang akan Allah lakukan pada diri saya.

Ucapan ini, Beliau katakan sebelum Allah menurunkan firmanNya:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا لِّيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَاتَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَاتَأَخَّرَ

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada kamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang". [al Fath:1- 2].

Juga sebelum Allah memberitahukan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk sebagai penghuni syurga.

بِالله التَّوْفِيْقِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

(Komite Fatwa Dan Pembahasan Ilmiah. Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazaq Afifi; Anggota: Abdullah Al Gadyan dan Abdullah Qu’ud). Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’, 2/159-160.

Mengenai ucapan al marhum, jika maknanya pemberitaan tentang keadaan si mayit bahwa ia telah mendapatkan rahmat dari Allah, maka ini haram. Karena ucapan ini berarti sama dengan memastikan bahwa si fulan termasuk penduduk surga. Padahal ini termasuk perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla.

Syaikh Bin Baz mengatakan, “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkeyakinan, sesungguhnya tidak diperbolehkan memberikan persaksian atas diri seseorang -bahwa orang itu di syurga atau di neraka- kecuali yang telah dijelaskan dalam nash Al Qur’an, seperti Abu Lahb (sebagai penghuni neraka), dan orang yang dipersaksikan Rasulullah sebagai penghuni syurga, seperti sepuluh sahabat (yang diberitakan akan masuk syurga) atau yang semisalnya. Demikian juga (tidak diperbolehkan) persaksian atas seseorang bahwa ia maghfur lahu (mendapatkan ampunan) atau al marhum (mendapatkan rahmat). Oleh karena itu, sebagai ganti dari ucapan al marhum dan al maghfur, sebaiknya diucapkan:

غَفَرَالله لَهُ

Semoga Allah mengampuninya, atau

رَحِمَهُ اللهُ

Semoga Allah merahmatinya.

Atau ungkapan sejenis yang termasuk do’a bagi si mayit. Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalatu Mutanawwi’ah, 4/335.

Namun jika makna al marhum itu sebagai ungkapan optimisme atau harapan semoga si mayit mendapatkan rahmat, maka tidaklah mengapa mengucapkan kata-kata ini. Lihat Majmu’ Fatawa, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/85.

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami, semestinya jika kalimat al marhum diganti dengan rahimahullah, ghafarallahu lahu, Allahu yarhamuhu atau sejenisnya yang merupakan do’a. Demikian, semoga bermanfaat bagi kita. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

HUKUM UNGKAPAN-UNGKAPAN YANG DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG MATI DENGAN AL-MAGHFUR LAHU

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa saja ungkapan-ungkapan yang dapat ditujukan terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia. Sebab, kami sering mendengar tenntang si fulan 'al-maghfur lahu (orang yang diampunkan baginya)' atau 'al-marhum (orang yang dirahmati)'; apakah ungkapan-ungkapan seperti ini benar ? Mohon pencerahan anda mengenai hal itu.

Jawaban.
Ungkapan yang disyariatkan dalam kasus ini adalah 'Ghafarallahu (semoga Allah mengampuninya)' atau 'Rahimahullah (semoga Allah merahmatinya)' dan semisal itu bila dia (orang yang meninggal dunia tersebut) seorang Muslim dan tidak boleh diucapkan 'al-maghfur lahu' atau 'al-marhum' karena tidak boleh bersaksi terhadap orang tertentu bahwa dia masuk surga, masuk neraka atau semisalnya kecuali orang yang memang sudah dipersaksikan Allah dengan hal itu di dalam KitabNya yang mulia atau orang yang telah dipersaksikan oleh RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia masuk surga seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Kahtthab, Utsman bin Affan, Ali dan para sahabat lainnya yang termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga dan selain mereka yang telah dipersaksikan beliau masuk surga seperti Abdullah bin Salam, Ukasyah bin Mihsan Radhiyallahu 'anhum, ataupun orang yang dipersaksikan beliau masuk neraka seperti Abu Thalib, Amr bin Luhay Al-Khuza'i dan selain keduanya yang telah dipersaksikan beliau masuk neraka -na'udzu billahi min dzalik-. Jadi, kita bersaksi atas hal itu. Sedangkan orang yangg belum dipersaksikan Allah ataupun RasulNya masuk surga atau neraka, maka kita tidak bersaksi atasnya terhadap hal tersebut dengan menentukan orangnya. Demikian juga, kita tidak bersaksi terhadap seseorang tertentu mendapatkan ampunan (maghfirah) atau rahmat kecuali berdasarkan nash Kitabullah dan sunnah RasulNya.

Akan tetapi Ahlus Sunnah berharap baik bagi orang yang berbuat baik dan khawatir terhadap nasib orang yang berbuat keburukan dan bersaksi atas ahli iman secara umum bahwa mereka masuk surga dan orang-orang kafir masuk neraka sebagaimana hal itu telah dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam kitabNya.

"Artinya : Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya".[At-Taubah : 72]

Dan Dia juga berfirman di dalamnya.

"Artinya : Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka". [At-Taubah : 68]

Sebagian ulama berpendapat boleh bersaksi atas masuk surga atau neraka bagi orang yang dipersaksikan oleh dua orang yang adil atau lebih bahwa dia baik atau buruk berdasarkan hadits-hadits shahih yang berisi tentang hal tersebut.

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz V, hal. 365-366 dari fatwa Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

ALMARHUMA ATAU RAHIMMALLAH

Ucapan “al marhum fulan”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya :
Tentang hukum perkataan ( fulan al maghfur lahu), ( fulan al marhum) ?
Syaikh rahimahullah menjawab :
Sebagian orang mengingkari orang yang berkata (fulan al maghfur lahu, fulan al marhum).
Mereka mengatakan : Sesungguhnya kita tidak mengetahui, apakah mayit ini termasuk orang yang mendapatkan rahmat dan ampunan atau tidak ?
Pengingkaran ini dibawa sesuai dengan tempatnya, yaitu jika orang tersebut memberitakan bahwa  mayit ini telah mendapatkan rahmat atau telah mendapatkan ampunan.
Karena tidak boleh mengabarkan bahwa mayit ini termasuk orang yang telah mendapatkan rahmat atau ampunan tanpa ilmu.
Allah ta’ala berfirman :
” Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya.” (Al Israa : 36).
Akan tetapi orang tersebut tidak bermaksud untuk memberitakan kepastian hal itu.
Orang yang mengatakan al marhum bapak fulan, al marhumah ibu fulanah atau yang semisalnya tidak bermaksud memastikan atau mengabarkan bahwa mereka termasuk orang yang mendapatkan rahmat.
Namun yang mereka maksudkan dengan hal itu adalah do’a dan harapan supaya Allah merahmati mereka.
Ada perbedaan antara do’a dan berita. Oleh karena itu kita katakan fulan rahimahullah (semoga Allah merahmati  fulan), fulan ghafarallah lahu (semoga Allah mengampuni fulan), fulan ‘afallahu ‘anhu (semoga Allah memaafkan fulan).
Dan tidak ada perbedaan dari sisi Bahasa Arab antara perkataan kita fulan al marhum dengan fulan rahimahullah. Karena kalimat rahimahullah adalah kalimat khabariyah, demikian juga al marhum yang artinya orang yang mendapat rahmat juga kalimat khabariyah. Maka tidak ada perbedaan diantara keduanya yaitu isi dari keduanya jika ditinjau dari sisi Bahasa Arab.
Oleh karena itu orang yang melarang perkataan fulan al marhum wajib juga melarang perkataan fulan rahimahullah.
Kesimpulannya, kita katakan bahwa tidak ada pengingkaran terhadap kalimat ini yaitu perkataan kita : fulan al marhum, fulan al maghfur lahu dan yang semisalnya. Karena kita tidak mengabarkan bahwa Allah telah merahmati fulan, Allah telah mengampuni  fulan.
Namun kita meminta dan berharap kepada Allah supaya dia demikian. Maka ini termasuk kategori pengharapan dan do’a bukan kategori pemberitaan. Ada perbedaan diantara kedua hal ini.
(Majmuu’  Fataawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, jilid 3, hal.135-136)
Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI