Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Jumat, 01 April 2011

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN V ) HADITS / ATSAR LEMAH DAN PALSU TENTANG TAWASSUL (I)


Alhamdulillah, segenap puji hanya untuk Allah. Dialah satu-satunya Yang Maha Berkuasa, dan hanya kepadaNyalah seharusnya segenap doa dihaturkan. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada teladan mulia, manusia paling taqwa, Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Saudaraku kaum muslimin….
Pada tulisan ini insyaAllah akan disajikan kajian ilmiah tentang hadits ataupun atsar yang lemah dan palsu yang dijadikan dalil oleh penulis blog yang menentang dakwah Ahlussunnah dalam tulisannya yang berjudul: Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah dan Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah. Istilah ‘hadits’ dalam kajian kita ini adalah untuk khabar yang dinisbatkan kepada Nabi (berupa perbuatan, perkataan, atau persetujuan beliau), sedangkan ‘atsar’ adalah untuk yang dinisbatkan kepada para Sahabat Nabi.
Perlu dipahami bahwa Ahlussunnah tidaklah menentang tawassul secara mutlak. Ahlussunnah meyakini adanya tawassul yang disyariatkan, seperti tawassul dengan menyebut Asma’ dan Sifat Allah, tawassul dengan menyebutkan kelemahan dirinya, tawassul dengan melakukan amal sholih, atau meminta kepada orang sholih yang masih hidup untuk mendoakannya. Sehingga salahlah anggapan penulis blog lain yang juga menentang Ahlussunnah dalam tulisannya berjudul ‘Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul’. (Blog ini juga banyak menyebutkan riwayat yang lemah atau palsu, dan akan kita kaji juga dalam tulisan ini, InsyaAllah).
Hal yang diingkari oleh Ahlussunnah adalah tawassul yang tidak disyariatkan seperti tawassul terhadap kedudukan (jah) orang-orang sholih ataupun tawassul terhadap orang yang sudah meninggal. Penulis blog penentang dakwah Ahlussunnah tersebut menggiring opini pembaca untuk menyetujui bahwa tawassul dengan orang yang sudah meninggal adalah boleh. Padahal, sebenarnya tidak ada hadits maupun atsar yang shohih yang menunjukkan hal itu..

(Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah)

Syubhat ke-1 : Hadits Anas bin Malik saat Fathimah binti Asad Meninggal Dunia

Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah :
[[

3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:

لله الذي يحي و يميت و هو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي”

(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.

]]

Bantahan :

Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Thobaroony dalam Mu’jamul Kabiir dan Mu’jamul Awsath, juga oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’ dari jalur Rouh bin Sholaah dari Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim al-Ahwal dari Anas bin Maalik. Perawi yang bernama Rouh bin Sholaah dilemahkan oleh banyak Ulama’. Di antaranya adalah Ad-Daaruquthny, Ibnu ‘Adi (lihat ‘al-Kaamil’(3/1005)), Ibnu Maakuula. Ibnu Yunus menyatakan di dalam Taarikh al-Ghurbaa’ : ‘dia meriwayatkan riwayat-riwayat yang munkar’.
Ulama’ yang menganggapnya tsiqoh (terpercaya) hanyalah Ibnu Hibban dan al-Haakim. Namun penilaian ke-tsiqohan tersebut dalam hadits ini tidak bisa diterima karena :
1. Pendapat Ibnu Hibban dan al-Haakim menyelisihi banyak ulama’ lain yang telah disebutkan di atas.
2. Ibnu Hibban dan al-Haakim dikenal sebagai mutasaahil (terlalu bermudah-mudahan) dalam penilaian tsiqah. Ibnu Hibban banyak meletakkan perawi dalam kitabnya ats-Tsiqaat yang sebenarnya majhuul (tidak dikenal).
As-Sakhowy –murid al-Hafidz Ibnu Hajar- menyatakan dalam Fathul Mughits juz 1 halaman 35 :
وابن حبان يداني الحاكم في التساهل
“ dan Ibnu Hibban mendekati al-Haakim dalam hal ‘tasaahul’ (menggampangkan)
بل ربما يخرج للمجهولين
“ bahkan kadang-kadang mengeluarkan (perawi) yang (masuk kategori) tidak dikenal”
3. Ibnu Hibban menyatakan dalam kitabnya ats-Tsiqoot tentang Rouh bin Sholaah :
روح بن صلاح: من أهل مصر، يروي عن يحيى بن أيوب، وأهل بلده، روى عنه محمد بن إبراهيم البوشنجي، وأهل مصر
“Rouh bin Sholaah termasuk penduduk Mesir. Meriwayatkan dari Yahya bin Ayyub dan penduduk negerinya. Orang yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Ibrahim al-Buusyinji dan penduduk Mesir” (Lihat Ats-Tsiqoot juz 8 halaman 244).
Perhatikanlah, bahwa sebenarnya Rouh bin Sholaah menurut biografi yang ditulis Ibnu Hibban seharusnya meriwayatkan hadits dari Yahya bin Ayyub atau penduduk negerinya yaitu Mesir. Sedangkan dalam hadits tentang tawassul tersebut Rouh bin Sholaah meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury yang sebenarnya adalah penduduk Iraq, bukan Mesir. Sehingga hadits ini termasuk riwayat munkar dari Rouh bin Sholaah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil.

Syubhat ke-2 : Pujian Sawaad bin Qoorib

[[

Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan:
و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)

]]

Bantahan :
Sebelum kita mengkaji periwayatan dari kisah ini, perlu kita pahami bahwa sebenarnya pujian dari Sawad bin Qoorib tersebut tidaklah bisa dijadikan dalil untuk membolehkan tawassul terhadap orang yang sudah meninggal. Hal ini disebabkan karena :
1. Pujian itu dilontarkan langsung di hadapan Nabi saat beliau masih hidup.
2. Isi dari pujian tersebut di antaranya :
وكن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة
“ Jadilah pemberi syafaatku pada hari di mana tidak ada pemberi syafaat”
Tentunya tidak ada permasalahan dengan ungkapan ini karena memang pemberian syafaat Nabi bagi umatnya di hari kiamat tidaklah diingkari oleh Ahlussunnah. Tidak ada kaitannya dengan tawassul terhadap orang yang sudah meninggal.
Apalagi ternyata riwayat tersebut sangat lemah, meskipun jalur periwayatannya lebih dari satu. Kita akan simak satu persatu.
a) Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqy dalam Dalaailun Nubuwwah (2/34).
Di dalam perawinya terdapat Ziyaad bin Yaziid bin Baadawaih dan Muhammad bin Turos al-Kuufi. Al-Hafidz Adz-Dzahaby menyatakan di dalam ‘at-Taarikh’ (1/206):
هذا حديث منكر
“ ini adalah hadits yang munkar”
ومحمد بن تراس وزياد مجهولان لاتقبل روايتهما وأخاف أن يكون موضوعا على أبي بكر بن عياش
“ dan Muhammad bin Turos dan Ziyad adalah tidak dikenal, tidak diterima periwayatannya, dan aku khawatir ini termasuk kepalsuan atas Ali Abu Bakr bin ‘Ayyasy”
b) Riwayat Abu Ya’la yang diriwayatkan Ibnu Katsir dalam ‘as-Sirah al-Muthowaalah’ . Ibnu Katsir berkata :
هذا منقطع من هذا الوجه
“(jalur) ini terputus dari sisi ini”
وقد أوضح الذهبي في تاريخ الإسلام (1/207-208) علة هذه الطريق فقال:” أبو عبد الرحمن اسمه عثمان بن عبد الرحمن الوقاصي متفق على تركه وعلي بن منصور فيه جهالة مع أن الحديث منقطع
“ dan AdzDzahaby telah menjelaskan dalam Tarikh al-Islam (1/207-208) cacat jalur ini. Beliau berkata : Abu Abdurrahman namanya adalah Utsman bin Abdirrahman alWaqqoshi, disepakati untuk ditinggalkan. Sedangkan Ali bin Manshur tidak dikenal. Selain itu (sanad) hadits ini terputus”
c) Riwayat Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (2/628) :
Adz-Dzahaby menyatakan dalam Taarikhul Islam (1/208) :
فيه سعيد يقول أخبرني سواد بن قاربة وبينهما انقطاع وعباد ليس بثقة يأتي بالطامات
“ di dalamnya ada Sa’id yang berkata : telah mengabarkan kepadaku ‘Sawaad bin Qooribah’ padahal di antara keduanya terputus. Sedangkan ‘Abbad bin Abdis Shomad tidak terpercaya, biasa datang dengan bencana-bencana”
d) Riwayat Muhammad bin as-Saaib al-Kalby.
Muhammad bin as-Saaib al-Kalby dinyatakan oleh al-Bukhari : “ia ditinggalkan oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu Mahdi. Al-Jauzaqoony menyatakan : ia pendusta. Ad-Daaruquthny menyatakan : matruk (ditinggalkan) (Lihat atTaqriib (hal 415)).
e) Riwayat Abu Bakr Muhammad bin Ja’far bin Sahl al-Khoro-ithy.
Terdapat syair tersebut, tapi tidak ada kata-kata :
“ Jadilah pemberi syafaatku pada hari di mana tidak ada pemberi syafaat”
f) Riwayat al-Fadhl bin ‘Isa al-Qurosyi dari al-Alaa’ bin Yazid.
As-Suyuthy menyatakan di dalam Syarh Syawaahidul Mughni (2/255):
والعلاء بن يزيد المديني كان يضع الحديث وقال البخاري وغيره: ” منكر الحديث “
“ dan al-Alaa’ bin Yaziid al-Madiini suka memalsukan hadits. AlBukhari dan yang selainnya berkata : ‘munkarul hadits’ .
g) Riwayat al-Hasan bin Sufyan di dalam Musnadnya dari jalur al-Hasan bin Umaaroh.
As-Suyuuthy di dalam Syarh Syawaahidul Mughni (2/255) menyatakan : al-Hasan bin ‘Umaaroh sangat lemah. Ahmad menyatakan : matruk (ditinggalkan), Ibnul Madiini berpendapat bahwa ia suka memalsukan hadits.

Syubhat ke-3 : Tawassul Nabi Adam ‘alaihissalaam terhadap Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam

Syubhat ini disampaikan dalam tulisan berjudul ‘Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul’

Dalam tulisan itu dinyatakan :

[[
3. Dalam Surat Al-Baqarah :37, mengenai Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Keterangan :
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.. Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) diatas. Menurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
]]
Bantahan :
Penulis di blog tersebut mengisyaratkan adanya perbedaan pendapat Ulama’ tentang hadits ini ada yang menshohihkan, mendhaifkan, bahkan menyatakan maudlu’. Tapi pembaca tidak diarahkan pada tarjih pendapat yang benar, untuk menggiring opini bahwa pada perbedaan pendapat yang semacam ini, sikap toleranlah yang mesti ditanamkan. Padahal pendapat Ulama’ menshohihkannya adalah pendapat yang sangat lemah dan tidak bisa dianggap. Berikut penjelasannya:
Hadits tersebut memang dishahihkan oleh al-Haakim, namun Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu), karena di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Perawi ini dikatakan oleh Imam al-Bukhari sebagai munkarul hadits. Perawi ini juga dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, Abu Haatim, An-Nasaa-i, Ad-Daaruquthni, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ibnul Jauzy (lebih lengkap bisa disimak dalam kitab Ad-Dlu-afaa’ wal matrukiin karya Imam AnNasaai (1/66) dan Ibnul Jauzy (2/95), Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal karya AdzDzahabi (3/155)). Ternyata, Imam al-Haakim dalam kitab al-Mustadrak itu sendiri ketika menyebutkan hadits yang lain dan di dalamnya ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tidak menshahihkannya, bahkan menyatakan : “Dua syaikh (alBukhari dan Muslim ) tidak pernah menggunakan hadits sebagai hujjah jika di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid”( Lihat Mustadrak (3/332)). Di dalamnya juga ada perawi Abdullah bin Aslam al-Fihry yang tidak dikenal di kalangan ahlul hadits.
Hal yang semakin menguatkan hujjah bahwa hadits itu palsu (bukan sabda Rasulullah) adalah ketidaksesuaiannya dengan ayat AlQuran dan tafsir ayat tersebut dari Sahabat Nabi yang mulya. Dalam AlQuran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Baqoroh: 37). Ibnu Abbas – sahabat Nabi yang mulya – menafsirkan ayat ini dalam atsar yang diriwayatkan oleh al-Haakim (3/545): (Nabi Adam berkata) : “ Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan aku dengan TanganMu? Allah berfirman : Ya, benar. Adam menyatakan : ‘Bukankah Engkau tiupkan ruh kepadaku (yang termasuk ciptaanMu)?Allah berfirman : Ya, benar. Adam mengatakan : ‘Wahai Tuhanku, bukankah Engkau (sebelumnya) telah menjadikan aku menghuni surga?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Bukankah RahmatMu mendahului kemurkaanMu ?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Apakah kalau aku bertaubat dan memperbaiki perbuatanku aku akan kembali ke surga?’ Allah. Allah menyatakan : ‘Ya, benar’ “. (Ibnu Abbas berkata ) : (Ucapan-ucapan tersebut) adalah sebagaimana yang Allah firmankan : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya…”(Q.S AlBaqoroh : 37). Al-Haakim menyatakan : “sanad riwayat ini shohih, dan disepakati keshahihannya oleh Adz-Dzahabi.). Maka dengan penjelasan tafsir dari Sahabat Nabi Ibnu Abbas tersebut, tertolak pulalah riwayat-riwayat lemah maupun maudlu’ lainnya tentang bertawassulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad ketika bertaubat atas kesalahannya. Para Ulama’ ahlut tafsir yang lain menjelaskan bahwa yang diucapkan oleh Nabi Adam ketika bertaubat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang lain (yang artinya): “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”(Q.S Al-A’raaf:23). Para Ahlut Tafsir yang berpendapat demikian di antaranya adalah : Mujaahid, Sai’id bin Jubair, Abul ‘A-aliyah, ar-Rabi’ bin Anas, al-Hasan al-Bashri, Qotaadah
Syubhat ke-4 : Kisah Seseorang yang Bertawassul Karena Memiliki Keperluan terhadap Utsman bin Affan
Terdapat dalam tulisan berjudul Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah :

[[
6- Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:

“اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي

(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
]]
Bantahan :
Perlu dipahami bahwa dalam masalah ini ada 2 kisah yang saling berkaitan dengan riwayat yang berbeda. Kisah yang pertama adalah hadits tentang seorang buta yang datang kepada Nabi untuk minta didoakan, kemudian Nabi mendoakan dan menyuruh orang tersebut untuk berwudlu’, sholat, kemudian berdoa. Hadits tersebut memang shohih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Utsman bin Hunaif. Pembahasan tentang hadits ini telah kami kupas pada tulisan bantahan yang berjudul ‘Meluruskan Pemahaman terhadap Hadits-hadits tentang Tawassul ’ (BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN KE-4 ). Hadits yang shohih tersebut tidak ada kaitannya dengan tawassul dengan jah /kedudukan Nabi atau orang yang sholih baik yang masih hidup maupun sudah meninggal, karena yang terkandung dalam hadits shohih tersebut adalah tawassul dengan amal sholih dan doa orang yang masih hidup (Silakan disimak kembali tulisan kami sebelumnya).
Sedangkan kisah kedua tentang orang yang memiliki keperluan kepada Utsman bin Affan, pada awalnya ia tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya dari Utsman bin Affan. Kemudian, pada saat orang tersebut pergi, di tengah jalan bertemu dengan Utsman bin Hunaif, yang kemudian mengajarkan kepadanya tawassul sebagaimana tawassulnya orang buta yang pernah bertemu dengan Nabi tersebut.
Penulis blog tersebut mengesankan pada pembaca bahwa kisah lelaki yang memiliki keperluan terhadap Utsman bin Affan tersebut adalah shohih, dengan mengaitkan hadits Utsman bin Hunaif tentang lelaki buta yang mendatangi Nabi. Padahal 2 hal itu sangat berbeda dari segi kekuatan sanad/ periwayatannya.
Kisah kedua yang melibatkan Utsman bin Affan adalah kisah dengan periwayatan yang lemah. Kelemahannya dapat dijabarkan sebagai berikut :
Urut-urutan sanad yang ada pada kisah tersebut adalah : Abdullah bin Wahb meriwayatkan dari Syabiib bin Sa’iid al-Makki dari Rouh bin al-Qoosim dari Abi Ja’far al-Khuthomy al-Madini dari Abi Umaamah bin Sahl bin Hunaif dari pamannya, Usman bin Hunaif . Pokok permasalahannya terdapat pada perawi Syabiib bin Sa’iid al-Makki. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaani menyatakan di dalam Muqaddimah Fath al-Baari (hal 133) bahwa periwayatan yang di dalamnya ada Syabiib bin Sa’iid al-Makki bisa diterima hanya jika melalui Yunus (bin Yaziid al-Aylii). Namun, di dalam hadits tersebut perawi yang menerima khabar dari Syabiib adalah Abdullah bin Wahb, sehingga lemahlah periwayatannya. Selain itu, sekalipun jalan periwayatan hadits tersebut ditunjang oleh perawi yang bernama Ahmad bin Syabiib, hadits ini semakin menunjukkan kelemahannya, karena sedemikian banyaknya perbedaan padanya. Terbukti, ketika Ibnus Sunni meriwayatkan hadits dalam kitab Amalul Yaum wal-Lailah (hal 202) dan al-Haakim (1/526) dari 3 jalan melalui Ahmad bin Syabiib tanpa menyebutkan kisah tersebut.
Syubhat ke-5 : Tawassul dalam Doa Keluar Rumah untuk Menuju Masjid
Pada tulisan di sebuah blog penentang Ahlussunnah yang berjudul Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah :
[[
Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan:

“اللهم إني أسئلك بحق السائلين عليك ”و أسئلك بحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا و لا بطرا و لا ريائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعيذني من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت”
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “بحق السائلين عليك”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “بحق دعاء السائلين عليك” (demi doa para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.
]]
Bantahan :
Sebelum kita kaji periwayatan hadits tersebut, perlu dipahami bahwa hadits tersebut tidaklah merupakan hujjah atas perbuatan tawassul terhadap ‘diri’/dzat seseorang, tetapi yang disebutkan di situ adalah ‘hak orang yang berdoa’. Sedangkan hak orang yang berdoa adalah Allah kabulkan doanya, sebagaimana dalam al-Qur’an :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“ dan telah berkata Tuhan kalian : berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan untukmu “ (Q.S Ghaafir: 60)
Demikian juga sebagai ‘hak hamba’ adalah Allah tidak mengadzabnya jika beribadah kepada Allah dan tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“ dan hak hamba terhadap Allah adalah Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik kepadaNya sedikitpun”(Muttafaqun ‘alaih).
Sedangkan dari sisi riwayat, hadits ini lemah. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama ‘Athiyyah. Imam an-Nawawi menyatakan dalam al-Adzkaar bahwa perawi ini lemah. AdzDzahaby menyatakan dalam kitab adDhu’afaa’ (1/88) bahwa perawi ini disepakati kelemahannya. AlBushiry menyebutkan dalam Misbahuz Zujaajah (2/52) :
هذا إسناد مسلسل بالضعفاء: عطية وفضيل بن مرزوق والفضل بن الموفق كلهم ضعفاء
“sanad hadits ini adalah mata rantai para perawi lemah : ‘Athiyyah, Fudhail bin Marzuq, dan al-Fadhl bin al-Muwaffiq seluruhnya lemah”.
Syubhat ke-6 : ‘Aisyah Memerintahkan Bertawassul kepada Kuburan Nabi saat Paceklik
Terdapat dalam tulisan berjudul Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah :
[[
Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)
]]
Syubhat :
Kalau kita simak riwayat tersebut dalam Sunan AdDaarimi, nash lengkapnya adalah sebagai berikut :
قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَحْطاً شَدِيداً ، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ : انْظُرُوا قَبْرَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ : فَفَعَلُوا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّىَ عَامَ الْفَتْقِ
Dari sisi penerjemahan, penulis blog penentang Ahlussunnah tersebut sudah salah. Kalimat berikut ini :
فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ
diterjemahkan dengan : Jadikanlah ia (kuburan) sebagai <> menuju langit sehingga tidak ada lagi <> dengan langit.
Padahal seharusnya terjemahan yang benar adalah :
Hendaknya kalian membuat <> yang menghadap ke langit sehingga antara kubur dengan langit tidak ada <>.
Sebelum kita mengkaji riwayatnya, sebenarnya terlihat dengan jelas bahwa hadits ini telah bertentangan dengan hadits yang shahih. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab ArRadd ‘alal Bakri, dengan kedalaman ilmunya, beliau menunjukkan sisi kelemahan hadits ini karena pertentangannya dengan hadits lain yang jelas lebih shohih. Selama Aisyah hidup, tidak perlu dibuatkan lubang yang menghadap ke langit, karena bagian rumah itu ada yang beratap dan ada yang tidak, sehingga sinar matahari sudah bisa langsung masuk. Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ فِي حُجْرَتِهَا لَمْ يَظْهَرْ الْفَيْءُ مِنْ حُجْرَتِهَا
“dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sholat Ashr sedangkan matahari masuk ke dalam kamarnya, tidak nampak bayangan dari kamarnya” (Muttafaqun ‘alaih).
Keadaan kamar ‘Aisyah tetap seperti itu terus sampai pada saat Walid bin Abdil Malik memasukkan kamar tersebut ke dalam masjid, sehingga kemudian dibuatkanlah dinding yang tinggi, kemudian dibuatkan lubang agar orang yang akan menyapu atau membersihkannya bisa turun.
Hadits ini diriwayatkan oleh AdDaarimi melalui jalur Abu AnNu’maan dari Sa’id bin Zaid dari ‘Amr bin Maalik anNukri dari Abul Jauzaa’ (Aus bin Abdillah). Dari sisi periwayatan, hadits ini mengandung 3 kelemahan :
1. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama Said bin Zaid yang merupakan saudara Hammad bin Zaid. AnNasaa-i menyatakan : ia tidaklah kuat, Yahya bin Sa’id sangat melemahkannya, As-Sa’di menyatakan : ‘mereka melemahkannya’ dan dia tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Yahya bin Ma’in melemahkannya (Lihat Dhu’afaa’ al-‘Uqaily juz 2 halaman 105).
2. ‘Amr bin Maalik anNukri
Ibnu ‘Adi di dalam kitabnya ‘Al-Kaamil’ (5/1799) menyatakan bahwa perawi ini suka meriwayatkan hadits munkar dari perawi yang terpercaya. Abu Ya’la menyatakan bahwa ‘Amr bin Maalik anNukri adalah lemah.
3. Abu Nu’man.
Abu Nu’man adalah Muhammad bin al-Fadhl, walaupun dia tsiqah, namun ia tercampur aduk hafalannya (pikun) menjelang akhir usianya. Perawi semacam ini, jika didengar periwayatannya sebelum hafalannya tercampur, maka bisa diterima, jika setelah itu tidak bisa diterima. Dalam hadits ini tidak ada qoriinah yang bisa memastikan bahwa AdDaarimi meriwayatkan sebelum pikirannya tercampur. Sehingga hadits ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
(Bersambung, Insya Allah……)

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk Situs www.darussalaf.or.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI