Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Senin, 17 Oktober 2011

MENZIARAHI KOTA MADINAH AL-MUNAWARAH*

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Keutamaan Kota Madinah
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ سَمَّى الْمَدِينَةَ طَابَةَ.

“Sesungguhnya Allah Subahnahu wa Ta'ala menamakan Madinah dengan Thabah.” [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمَدِيْنَةَ كَالْكِيْرِ، تُخْرِجُ الْخَبِيْثَ، لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَنْفِيَ الْمَدِيْنَةُ شِرَارَهَا، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ.

“Sesungguhnya Madinah itu seperti alat peniup api yang mengeluarkan hal yang kotor. Tidak akan terjadi Kiamat itu sampai Madinah menghilangkan keburukan-keburukan yang ada di dalamnya sebagaimana alat peniup api mengilangkan kotoran besi.” [2]

Keutamaan Masjid Nabawi Dan Shalat Di Dalamnya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menyatakan bahwa hadits ini bersambung kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.

“Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjidil Aqsa.” [3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هٰذَا، خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.

"Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.’” [4]

Dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ.

“Di antara rumahku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman Surga.” [5]

Adab-Adab Mengunjungi Masjid Nabawi Yang Mulia Dan Kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Yang Mulia
Keutamaan yang khusus dimiliki oleh Masjid Nabawi yang mulia, Masjidil Haram dan Masjid Aqsha adalah kemuliaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk tiga masjid ini dan kelebihan shalat di dalamnya daripada shalat di tempat lain. Barangsiapa yang datang mengunjungi Masjid Nabawi hendaknya datang untuk mendapatkan pahala dan memenuhi panggilan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk mengunjungi dan menziarahi Masjid Nabawi.

Tidak ada adab-adab yang dikhususkan untuk tiga masjid ini dari masjid-masjid yang lain, kecuali kerancuan yang bisa saja terjadi pada sebagian manusia, akhirnya mereka menetapkan adab-adab khusus untuk Masjid Nabawi. Kerancuan ini tidak akan pernah terjadi seandainya kubur Rasulullah yang mulia tidak di dalam masjid.

Agar urusan ini menjadi jelas bagi kaum muslimin apabila ia datang ke Madinah dan ingin mengunjungi Masjid Nabawi, kami akan membawakan adab-adab menziarahi masjid ini:

1. Apabila ia masuk hendaknya ia masuk dengan kaki kanan kemudian membaca:

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.

“Ya Allah, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Muhammad. Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku,” [6]

Atau membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.

“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya Yang Mahamulia dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang terkutuk.” [7]

2. Shalat Tahiyatul Masjid dua raka’at sebelum duduk.

3. Hendaknya menghindari shalat ke arah kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia dan menghadap ke kuburan tersebut ketika berdo’a.

4. Kemudian menuju kuburan Nabi yang mulia untuk memberi salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hendaknya ia menghindari meletakkan tangan di atas dada, menganggukkan (menundukkan) kepala, merendahkan diri yang tidak pantas dilakukan kecuali kepada Allah saja dan beristigatsah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hendaknya ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kalimat dan lafazh yang ia pakai untuk memberi salam kepada orang yang dikuburkan di Baqi’. Ada beberapa bacaan yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya:

اَلسَّلاَمُ عَلَىٰ أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ، بِكُمْ لَلاَحِقُونَ.

“Semoga kesejahteraan untukmu, wahai penduduk kampung (barzakh) dari orang-orang mukmin dan muslim. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir di antara kita. Sesungguhnya kami -insya Allah- akan menyusul kalian.” [8]

Kemudian memberi salam kepada dua Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ; Abu Bakar dan ‘Umar dengan salam yang sama.

5. Bukan adab yang baik mengangkat suara di masjid atau di dekat kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hendaknya ia bersuara dengan suara yang rendah, karena sopan santun terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat sama dengan sopan santun ketika beliau hidup.

6. Hendaknya ia selalu menjaga shalat berjama’ah di shaf yang pertama, karena keutamaannya yang banyak dan pahalanya yang besar.

7. Hendaknya semangat untuk shalat di Raudhah tidak membuatnya terlambat mendapatkan shaf pertama. Tidak ada keutamaan yang membedakan antara shalat di Raudhah dengan shalat di seluruh bagian masjid.

8. Tidak termasuk Sunnah, menjaga (melaksanakan) shalat empat puluh raka’at (shalat arba’in) berturut-turut di masjid Nabawi dengan dasar hadits yang masyhur diucapkan orang dari mulut ke mulut:

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَ يَفُوْتُهُ صَلاَةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَا مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِىءَ مِنَ النِّفَاقِ.

“Barangsiapa yang shalat di masjidku empat puluh shalat, ia tidak pernah ketinggalan satu shalat pun, maka ia akan dicatat jauh dari api Neraka, selamat dari adzab dan jauh dari kemunafikan.” [9]

Hadits ini dha’if, tidak shahih!!

9. Tidak disyari’atkan memperbanyak kunjungan ke makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun salam akan disampaikan kepada beliau dimanapun orang yang menyalami itu berada. Walaupun ia berada di ujung dunia, ia dan orang yang di depan kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sama-sama mendapat pahala memberi salam dan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

10. Jika ia keluar dari masjid, tidak perlu berjalan mundur, hendaknya ia keluar dengan kaki kiri dan membaca:

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ.

“Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu berupa karunia-Mu” [10]

Masjid Quba
Disunnahkan bagi orang yang datang ke Madinah untuk pergi menuju masjid Quba, lalu shalat di sana, mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mengunjungi masjid Quba dengan berjalan kaki, beliau datang ke masjid Quba pada hari Sabtu dan shalat dua raka’at di sana. [11]

Beliau bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ، ثُمَّ أَتَىٰ مَسْجِدَ قُبَاءٍ، فَصَلَّى فِيْهِ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ.

“Barangsiapa yang bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan shalat di sana, ia akan mendapat pahala seperti pahala umrah.” [12]

Baqi’ Dan Uhud
Baqi’ adalah kuburan kaum muslimin di Madinah, di sana ada banyak kuburan para Sahabat. Sampai sekarang kuburan itu masih dipakai untuk menguburkan kaum muslimin, kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang mendatangi Madinah dengan keinginan agar mati di Madinah hingga dapat dikubur di Baqi’.

Dan,

أُحُدٌ جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ.

“Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami mencintainya.”

Di gunung ini dikubur tujuh puluh lebih syuhada, yaitu orang-orang yang ikut berperang dalam peperangan yang terjadi di situ, sehingga perang itu dinisbatkan ke gunung itu dan diberi nama ‘Perang Uhud.’

Tidak ada larangan jika ada seseorang datang ke Madinah kemudian hendak mengunjungi Baqi’ dan para syuhada uhud. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dulu telah melarang ziarah kubur, kemudian membolehkannya agar mengingatkan kita pada kematian dan mengambil pelajaran dari tempat kembali orang-orang yang dikubur tersebut. Namun kita wajib berhati-hati agar tidak bertabarruk (mencari berkah) dengan kuburan, meminta tolong kepada penghuni kubur, meminta syafa’at kepada mereka bagi orang-orang yang hidup dan bertawassul (beribadah melalui perantara) dengan mereka kepada Rabb alam semesta.

Tidak disyari’atkan bagi seseorang untuk datang ke Uhud menuju tempat yang dikatakan tempat shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di lereng gunung untuk shalat di sana atau memanjat gunung Uhud guna mencari berkah atau memanjat gunung para pemanah guna meniti jejak para Sahabat. Hal itu dan apa saja selain salam dan do’a untuk para syuhada tidak disyari’atkan dan bukan hal yang disukai dalam syari’at, bahkan ini termasuk perkara yang diada-adakan yang di-larang. Mengenai hal ini ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya yang membuat umat sebelummu celaka adalah mencari-cari jejak para Nabi mereka (yang tidak disyari’atkan untuk diikuti).” Hendaknya perkataan ‘Umar ini dapat membuat kita puas dan menghentikan perbuatan-perbuatan seperti itu.

Muzaaraat (Tempat-Tempat Yang Diziarahi)
Di Madinah ada tempat lain yang dikenal dengan nama Muzaaraat, seperti tujuh masjid yang dekat dengan medan perang Khandaq, masjid Qiblatain, beberapa sumur, masjid Gumamah, beberapa masjid yang dinisbatkan kepada Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Aisyah -semoga Allah meridhai mereka semua-. Mengkhususkan kunjungan ke semua masjid ini tidak disyari’atkan. Tidak boleh sekali-kali bagi para pengunjung masjid-masjid ini menyangka bahwa dengan menziarahi masjid-masjid itu ia akan mendapat tambahan pahala, karena sesungguhnya mencari-cari jejak para Nabi dan orang-orang shalih adalah sebab kehancuran umat sebelum kita. Tidak dibenarkan bagi kaum muslimin menyeselishi petunjuk Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam dan petunjuk para Sahabat. Karena kebaikan yang paling baik terdapat dalam petunjuk Nabi dan para Sahabatnya, dan keburukan yang paling buruk adalah menyelisihi petunjuk Nabi dan para Sahabatnya.

Peringatan yang Sangat Penting
Pertama, banyak orang berusaha untuk tinggal di Madinah lebih lama ketimbang tinggal di Makkah sedangkan shalat di Masjidil Haram setara dengan shalat seratus ribu kali di masjid lain. Adapun shalat di masjid Nabawi setara dengan shalat seribu kali di masjid lain.

Perbedaan keutamaan shalat di Makkah dengan shalat di Madinah sangat besar, hendaknya jama’ah haji merasa puas dengan tinggal lebih lama di Makkah daripada di Madinah

Kedua, banyak jama’ah haji menyangka bahwa ziarah ke Masjid Nabawi adalah salah satu dari rangkaian manasik haji. Oleh karena itu, mereka berusaha dengan semangat tinggi untuk menziarahi Masjid Nabawi sebagaimana usaha mereka untuk mengerjakan manasik haji. Sampai-sampai jika ada seseorang menunaikan ibadah haji kemudian tidak mengunjungi Masjid Nabawi, menurut mereka hajinya kurang!!

Mereka membawakan hadits-hadits yang palsu, seperti, “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji, kemudian tidak datang mengunjungiku, maka ia benar-benar telah memutuskan hubungan denganku.”

Perkara ini tidak seperti prasangka mereka. Ziarah Masjid Nabawi hukumnya sunnah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mensyari’atkan shalat di sana, namun tidak ada hubungan antara ziarah dengan ibadah haji. Sahnya haji tidak tergantung pada ziarah Masjid Nabawi, bahkan kesempurnaan haji pun tidak tergantung pada ziarah. Karena ziarah ke Masjid Nabawi bukan termasuk manasik haji, namun ziarah ini disyari’atkan karena masjid itu sendiri.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
* Irsyaadus Saari.
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 1775)], Shahiih Muslim (II/1007, no. 1385).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 782)], Shahiih Muslim (II/1005, no. 1381).
[3]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/63, no. 1189), Shahiih Muslim (II/1014, no. 1397), Sunan Abi Dawud (VI/15, no. 2017), Sunan an-Nasa-i (II/37).
[4]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/63, no. 1190), Shahiih Muslim (II/1012, no. 1394), Sunan at-Tirmidzi (I/204, no. 324), Sunan an-Nasa-i (II/35).
[5]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/70, no. 1195), Shahiih Muslim (II/1010, no. 1390), Sunan an-Nasa-i (II/35).
[6]. Hadits ini telah dibawakan
[7]. Hadits ini telah dibawakan.
[8]. Hadits ini telah dibawakan.
[9]. Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ad-Dha’iifah (no. 364) dan beliau berkata, “Dikeluarkan oleh Ahmad (III/155) dan ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jamul Ausath (II/125, no. 1) dari kitab Zawaa-id al-Mu’jamiin melalui jalan ‘Abdurrahman bin Abi Rijal dari Nubaith bin ‘Amr dari Anas bin Malik secara marfu’.” Ath-Thabrani berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Anas kecuali Nubaith kemudian ‘Abdur-rahman sendirian meriwayatkan hadits ini.” Al-Albani berkata, “Sanad ha-dits ini dha’if, Nubaith tidak dikenal kecuali dalam hadits ini.” Selesai
[10]. Hadits ini telah dibawakan
[11]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/69, no. 1193-1194), Shahiih Muslim (II/1016, no. 1399), Sunan Abi Dawud (VI/25, no. 2024), Sunan an-Nasa-i (II/37).
[12]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 116)], Sunan Ibni Majah (I/453, no. 1412).
http://almanhaj.or.id/content/995/slash/0

U M R A H

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Umrah termasuk ibadah yang paling mulia dan yang paling utama, dengan ibadah ini Allah akan mengangkat derajat hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosanya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan untuk berumrah, baik melalui perkataan maupun perbuatan, beliau bersabda:

اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا.

“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya.” [1]

Beliau juga bersabda:

تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ.

“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran besi, emas dan perak.” [2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan ibadah umrah dan para Sahabat pun menunaikan ibadah umrah bersama beliau ketika beliau hidup maupun setelah beliau wafat.

Rukun-Rukun Umrah
1. Ihram
Yaitu niat memulai umrah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” [3]

2,3. Thawaf dan Sa’i
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“...Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [Al-Hajj: 29]

Firman-Nya:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah...” [Al-Baqarah: 158]

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

اِسْعَوْا، إنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ.

“Kerjakanlah sa’i, sesungguhnya Allah telah mewajibkan sa’i atas kalian.” [4]

4. Mencukur rambut atau memendekkannya
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ هَدْىَ فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَلْيُقَصِّرْ وَلْيُحَلِّلْ.

“Barangsiapa di antara kalian yang tidak membawa hewan kurban, hendaknya ia thawaf di Baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah, kemudian memendekkan rambut dan bertahallul.”

Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Umrah
Bagi orang yang hendak menunaikan ibadah umrah wajib berihram dari miqat, jika ia tinggal di luar miqat. Apabila ia tinggal dalam batas miqat, maka ia berihram dari rumahnya. Adapun orang yang tinggal di kota Makkah, mereka harus keluar ke daerah halal dan berihram dari sana, berdasarkan sabda Rasulullah j ke-pada ‘Aisyah agar berihram dari Tan’im.[5]

Waktu Umrah
Seluruh hari dalam setahun adalah waktu untuk umrah, kecuali umrah di bulan Ramadhan lebih utama daripada waktu yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

عُمْرَةٌ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً.

“Umrah di bulan Ramadhan menyamai pahala haji” [6]

Diperbolehkan Umrah Sebelum Haji
Dari ‘Ikrimah bin Khalid, bahwa ia pernah bertanya tentang umrah sebelum haji kepada Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Tidak mengapa.” Berkata ‘Ikrimah, “Ibnu ‘Umar berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan ibadah umrah sebelum menunaikan ibadah haji.’”[7]

Menunaikan Ibadah Umrah Berkali-kali
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam umrah empat kali dalam empat tahun, beliau tidak pernah menunaikan lebih dari satu kali umrah dalam satu kali perjalanan. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang bersama beliau dari para Sahabat. Tidak pernah diriwayatkan bahwa salah seorang di antara mereka menjamak dua umrah dalam satu perjalanan, baik pada saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah beliau wafat. Kecuali ‘Aisyah ketika haidh dalam hajinya bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau memerintahkan kakak ‘Aisyah, ‘Abdurrahman bin Abi Bakar, agar menemani ‘Aisyah keluar menuju Tan’im, guna berihram untuk umrah. Sebab ‘Aisyah menyangka umrah yang ia gabung dengan haji itu batal, ia pun menangis, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkannya umrah kembali guna mengibur hatinya.

Umrah yang dikerjakan oleh ‘Aisyah ini khusus bagi ‘Aisyah dengan dalil bahwa tidak pernah diketahui dari salah seorang Sahabat pun, baik laki-laki maupun wanita, yang menunaikan umrah setelah haji dari Tan’im, sebagaimana yang dikerjakan ‘Aisyah. Seandainya mereka mengetahui bahwa yang dikerjakan ‘Aisyah itu disyari’atkan bagi mereka setelah menunaikan ibadah haji niscaya akan banyak riwayat yang dinukil dalam hal ini. Berkata Imam asy-Syaukani, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah umrah keluar ke tanah halal kemudian masuk Makkah lagi dengan umrah, seperti apa yang dikerjakan oleh manusia pada zaman ini. Dan tidak ada riwayat dari para Sahabat bahwa mereka mengerjakan hal ini.”

Sebagaimana umrah berkali-kali (setelah haji) tidak ada riwayatnya dari seorang Sahabat pun, tidak ada riwayat dari mereka mengulang-ulang umrah dalam setahun. Mereka dahulu pergi menuju Makkah sendiri-sendiri atau berjama’ah, mereka mengetahui bahwa umrah adalah kunjungan untuk thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah. Mereka juga mengetahui secara yakin bahwa thawaf di Baitullah lebih utama dari sa’i.

Lalu ganti dari itu semua adalah orang-orang itu menyibukkan diri keluar ke Tan’im dan sibuk dengan umrah baru setelah umrah yang mereka kerjakan dan yang lebih utama adalah mereka itu thawaf di Baitullah (daripada mengulang-ulang umrah). Telah kita ketahui bahwa waktu yang dipakai oleh seseorang keluar ke Tan‘im melakukan ihram untuk umrah baru, dapat dipakai thawaf di Baitullah ratusan putaran. Thawus berkata, “Aku tidak mengetahui orang yang berumrah dari Tan’im apakah akan diberi pahala atau akan diadzab!!” Dikatakan kepadanya, “Diadzab?” Ia berkata, “Karena dia meninggalkan thawaf di Baitullah dan keluar empat mil, kemudian datang lagi. Waktu yang ia pakai sampai ia tiba kembali bisa dipakai thawaf dua ratus putaran. Setiap ia thawaf di Baitullah lebih utama daripada ia berjalan untuk sesuatu yang tidak ada gunanya.”

Pendapat yang mengatakan bahwa tidak disyari’atkannya mengulang-ulang umrah adalah pendapat yang didukung oleh Sunnah amalan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan didukung oleh amalan para Sahabat رضوان الله عليهم. Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar berpegang teguh kepada Sunnahnya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelah beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.

“Berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/597, no. 1773), Shahiih Muslim (II/983, no. 1349), Sunan at-Tirmidzi (II/206, no. 937), Sunan an-Nasa-i (V/115), Sunan Ibni Majah (II/964, no. 2888).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2899)], Sunan at-Tirmidzi (II/153, no. 807), Sunan an-Nasa-i (V/115).
[3]. Hadits ini sudah pernah dibawakan
[4]. Hadits ini sudah pernah dibawakan.
[5]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/606, no. 1784), Shahiih Muslim (II/885, no. 1212), Sunan Abi Dawud (V/474, no. 1979), Sunan at-Tirmidzi (II/206, no. 938), Sunan Ibni Majah (II/997, no. 2999).
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shagiir (no. 4097)], Sunan at-Tirmidzi (II/208, no. 943), Sunan Ibni Majah (II/996, no. 2993).
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 862)], Shahiih al-Bukhari (III/598, no. 1774).

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN HAJI•

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Haji batal karena salah satu dari dua perkara berikut:
1. Berhubungan intim
Jika dilakukan sebelum melempar jumrah ‘Aqabah, apabila dilakukan setelah melempar jumrah ‘Aqabah dan sebelum thawaf Ifadhah hajinya tidak batal walaupun demikian ia berdosa.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hubungan intim tidak membatalkan haji karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal ini.

2. Meninggalkan salah satu rukun dari rukun-rukun haji
Apabila haji seseorang batal karena salah satu dari dua perkara ini, maka wajib baginya berhaji kembali tahun berikutnya apabila ia mampu, sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang makna mampu. Jika tidak, maka pada waktu ia mampu untuk ber-haji, karena kewajiban haji bersifat segera setelah ada kemampuan.

Hal-Hal yang Diharamkan Di Kedua Kota Haram (Makkah dan Madinah):•
Terdapat satu hadits dalam ash-Shahiihain dan kitab yang lainnya, dari ‘Ubbad bin Tamim dari pamannya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا ِلأَهْلِهَا، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيْمُ مَكَّةَ.

“Sesungguhnya Ibrahim mengharamkan kota Makkah dan mendo’akan penghuninya, serta aku mengharamkan kota Madinah sebagaimana Ibrahim mengharamkan kota Makkah.”

Pengharaman dua kota suci ini adalah wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kedua Nabi dan Rasul-Nya, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada keduanya. Jika disebut dua kota haram, maka keduanya adalah Makkah dan Madinah. Tidak boleh memutlakkan kata haram secara syar’i kecuali untuk kedua kota ini, tidak boleh memutlakkan kata haram secara syar’i untuk Masjid Aqsha, tidak juga untuk Masjid Ibrahim al-Khalil, karena wahyu tidak menamakan haram kecuali Makkah dan Madinah. Ini adalah penetapan hukum, akal manusia tidak mempunyai peran dalam hal ini.

Dalam dua kota haram ini diharamkan beberapa hal, apabila seseorang hidup di dalam kedua kota ini ia tidak boleh mengerjakan hal yang diharamkan tersebut atau orang yang datang berkunjung untuk menunaikan ibadah haji atau umrah atau untuk kepentingan lainnya.

Hal-hal yang dilarang itu sebagai berikut:
1. Memburu hewan dan burung, mengejarnya atau membantu untuk mengerjakan hal tersebut
2. Memotong pepohonan dan durinya kecuali sangat dibutuhkan dan dalam keadaan darurat
3. Membawa senjata
4. Memungut barang temuan di tanah haram Makkah bagi orang yang menunaikan ibadah haji. Adapun bagi orang yang bermukim di sana ia boleh mengambilnya, lalu mengumumkannya. Perbedaan antara orang yang berhaji dengan orang yang bermukim di sana jelas.

Aku berkata, “Adapun dalil dari hal-hal yang terlarang ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hari penaklukan kota Makkah:

فَإِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيْهِ ِلأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لاَ يُعْضَدُ شَوْكُهُ، وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلاَ يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلاَّ مَنْ عَرَّفَهَا، وَلاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا، قَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِلاَّ اْلإِذْخِرَ، فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوْتِهِمْ. فَقَالَ: إِلاَّ اْلإِذْخِرَ.

“Sesungguhnya kota ini adalah kota yang diharamkan Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah sampai hari Kiamat. Sesungguhnya tidak halal berperang dalam kota ini untuk seorang pun sebelumku, kota ini tidak dihalalkan bagiku kecuali sebentar, pada siang hari. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah sampai hari Kiamat. Duri pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipotong, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh dikejar, tidak boleh mengambil barang temuan kecuali untuk diumumkan dan tidak boleh memotong pepohonan.” ‘Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, kecuali tumbuhan idzkhir, sebab kami menggunakannya di kuburan dan di rumah kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali tumbuhan izdkhir.” [1]

Dan dari Jabir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ ِلأَحَدِكُمْ أَنْ يَحْمِلَ بِمَكَّةَ السِّلاَحَ.

“Tidak halal bagi salah seorang di antara kalian membawa senjata di kota Makkah.” [2]

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda (yaitu tentang kota Madinah):

لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلا يُلْتَقَطُ لُقَطَتَهَا إِلاَّ لِمَنْ أَشَادَ بِهَا [أَنْشَادَهَا] وَلاَ يَصْلُحُ لِرَجُلٍ أَنْ يَحْمِلَ فِيْهَا السِّلاَحَ لِقِتَالٍ وَلاَ يَصْلُحُ أَن يُقْطَعَ مِنْهَا شَجَرَةٌ إِلاَّ أَنْ يَعْلِفَ رَجُلٌ بَعِيْرَهُ.

“Pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipotong, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh di kejar, barang temuan tidak boleh diambil kecuali untuk diumumkan, tidak boleh bagi seseorang membawa senjata untuk berperang di dalamnya dan tidak boleh memotong pepohonan kecuali untuk memberi makan unta.” [3]

Syaikh Syaqrah berkata, “Barangsiapa yang mengerjakan salah satu dari larangan ini, maka ia telah berdosa, ia harus bertaubat dan beristighfar, kecuali hewan buruan bagi seseorang yang berihram, ia harus menyembelih hewan kurban sebagai denda dan tambahan bagi taubat serta istighfarnya.”

Denda Membunuh Hewan Buruan Di Kota Haram
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekua-saan untuk) menyiksa.” [Al-Maa-idah: 95]

Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiirnya (II/98), “Ayat ini adalah pengharaman dari Allah Subhanahu wa Ta'ala membunuh hewan buruan ketika berihram dan larangan mengambilnya. Larangan ini menurut makna ayat mencakup hewan yang dapat dimakan, walaupun dilahirkan di situ atau dilahirkan dari tempat lain. Adapun hewan darat yang tidak bisa dimakan menurut madzhab Syafi’i boleh dibunuh oleh orang yang sedang berihram, sedangkan Jumhur ulama berpendapat tidak boleh dibunuh, tidak ada yang dikecualikan dari hewan-hewan tersebut kecuali hewan yang disebutkan pada hadits shahih dalam ash-Shahiihain dari jalan az-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ.

"Ada lima binatang jahat yang boleh dibunuh baik di tanah halal maupun tanah haram : burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing galak.’”[4]

Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Menurut pendapat jumhur orang yang sengaja atau tidak sengaja membunuh (hewan yang dilarang) sama-sama berkewajiban membayar denda.

Berkata az-Zuhri, ayat al-Qur-an menunjukkan kewajiban membayar denda bagi orang yang sengaja membunuh dan Sunnah mewajibkan denda bagi orang yang tidak sengaja. Makna perkataan ini, bahwa ayat al-Qur-an menunjukkan kewajiban membayar den-da bagi orang yang membunuh dengan sengaja dan orang tersebut berdosa, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ

“... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]

Dalam Sunnah ada hukum dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari Sahabat beliau akan wajibnya denda bagi orang yang salah membunuh (tidak sengaja), sebagaimana halnya al-Qur-an menunjukkan kewajiban denda bagi orang yang sengaja membunuh. Tinjauan lain, orang yang membunuh buruan di tanah haram telah merusak, orang yang merusak harus mengganti, baik ia sengaja maupun tidak sengaja, namun orang yang sengaja, maka ia berdosa dan orang yang salah membunuh (tidak sengaja) tidak tercela.’”

Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ

"... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]

Merupakan dalil bagi pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Jumhur ulama akan wajibnya denda dengan hewan semisal bagi orang yang berihram. Hal ini wajib apabila ia memiliki hewan peliharaan. Apabila tidak ada yang semisal dengan hewan buruan itu. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma telah menghukumi dengan mengganti harga hewan buruan tersebut kemudian dibawa ke Makkah. Diriwayat-kan oleh al-Baihaqi.”[5]

Beberapa Contoh Hukum Yang Diputuskan Oleh Nabi Dan Para Sahabat Beliau Dalam Penentuan Hewan Semisal
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dhab’u (hewan sejenis anjing hutan).” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

هُوَ صَيْدٌ وَيُحْمَلُ فِيْهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ.

“Ia termasuk hewan buruan, jika seorang yang berihram memburunya, dendanya adalah seekor kambing.” [6]

Dari Jabir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab telah memutuskan seekor kambing sebagai denda untuk dhab’u, kambing betina untuk kijang, anak kambing betina untuk kelinci, anak kambing yang berumur empat bulan untuk yarbu’ (hewan sejenis tikus).”[7]

Dari Ibnu ‘Abbas, “Bahwa ia memutuskan denda bagi seseorang yang sedang berihram jika membunuh burung merpati di tanah haram adalah, seekor kambing bagi seekor burung.” [8]

Ibnu Katsir berkata (II/100), “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ

“Sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah.” [Al-Maa-idah: 95]

Maknanya adalah sampai ke Ka’bah. Maksudnya, hewan kurban itu sampai ke tanah haram dan disembelih di sana, lalu dagingnya dibagi untuk orang-orang miskin di tanah haram. Ini adalah cara yang disepakati.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا

“...Atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu...” [Al-Maa-idah: 95]

Maksudnya jika seorang yang berihram tidak memiliki hewan ternak yang semisal dengan hewan yang ia bunuh atau hewan buruan itu tidak termasuk hewan yang dapat dimisalkan dengan hewan lain atau kita katakan dia bebas memilih dalam permasa-lahan ini antara membayar denda atau memberi makan orang miskin atau berpuasa, karena jelasnya kata “yaitu” dalam ayat tersebut. Gambarannya, ia menyamakan harga hewan buruan yang terbu-nuh atau yang semisalnya, kemudian ia membeli makanan untuk disedekahkan, satu orang miskin diberi satu mudd. Apabila ia tidak menjumpai (makanan) atau kita katakan ia boleh memilih, ia boleh berpuasa dengan menghitung satu hari untuk satu orang miskin.”

Selesai dengan sedikit perubahan.

Denda Bagi Orang Yang Berhubungan Intim Pada Saat Menunaikan Ibadah Haji.
Barangsiapa yang berhubungan intim sebelum tahallul pertama, maka hajinya batal dan wajib baginya membayar denda satu ekor unta atau sapi. Apabila ia berhubungan intim setelah tahallul pertama sebelum tahallul kedua, wajib baginya membayar denda satu ekor kambing dan hajinya tidak batal.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma: “Beliau pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berhubungan intim dengan isterinya sedangkan ia berihram, ia sedang berada di Mina dan belum melakukan thawaf Ifadhah, maka beliau memerintahkannya agar menyem-belih satu ekor unta atau sapi.” [9]

Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhuma dari ayahnya bahwa seorang laki-laki mendatangi ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma menanyakan tentang seorang yang berhubungan intim dengan seorang wanita sedangkan dia berihram. Kemudian beliau menunjuk kepada ‘Abdullah bin ‘Umar dan berkata, “Pergilah ke orang itu dan bertanyalah kepadanya.” Laki-laki itu tidak mengenalnya (‘Abdullah bin ‘Umar), maka aku pun pergi dengannya. Laki-laki itu pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Umar menjawab, “Hajimu batal.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Sekarang apa yang harus aku lakukan?” “Pergilah bersama orang-orang dan kerjakan apa yang mereka kerjakan, apabila engkau menjumpai tahun depan, berhajilah dan berkurbanlah.” Laki-laki itu kembali lagi ke ‘Abdullah bin ‘Amr, menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Umar dan aku masih bersamanya. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata lagi kepadanya, “Pergilah ke Ibnu ‘Abbas dan tanyakan kepadanya.” Syu’aib berkata, “Aku pun pergi bersamanya ke Ibnu ‘Abbas lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Abbas menjawab sebagaimana jawaban Ibnu ‘Umar. Laki-laki itu kembali lagi kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan aku masih tetap bersamanya. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Apa pendapatmu?’ ‘Pendapatku seperti apa yang mereka katakan,’ jawab ‘Abdullah bin ‘Amr.” [10]

Dari Sa’id bin Jubair, ada seorang laki-laki berihram bersama isterinya untuk umrah, sang isteri telah menyelesaikan manasiknya kecuali memendekkan rambut. Sang suami mencampurinya sebelum ia memendekkan rambut. Kemudian sang suami bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang hal itu, Ibnu ‘Abbas berkata, “Besar sekali nafsu wanita itu.” Lalu dikatakan kepadanya, “Wanita itu mendengar.” Keduanya menjadi malu karena hal tersebut dan berkata, “Apakah engkau tidak mau memberitahu aku.” Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, “Berkurbanlah.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apa?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Kurbankan unta atau sapi atau kambing.” Sang isteri bertanya, “Mana yang lebih baik?” “Unta,” jawab Ibnu ‘Abbas.[11]

Barangsiapa yang tidak mempunyai unta atau kambing hendaknya ia berpuasa tiga hari di waktu haji dan tujuh hari sekembalinya dari haji. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

“...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali...” [Al-Baqarah: 196]

Lebih afdhal baginya berpuasa sebelum hari ‘Arafah, jika tidak ia boleh berpuasa pada hari-hari Tasyrik, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, “Tidak ada keringanan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali bagi orang yang tidak mem-punyai sembelihan.” [12]

Peringatan:
Wanita dalam masalah ini sama dengan laki-laki, sama persis, kecuali jika ia dipaksa untuk berhubungan intim, maka ia tidak perlu berkurban dan hajinya sah berbeda dengan haji suami yang menggaulinya.[13]

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Ibnu ‘Abbas bertanya, ‘Aku telah menggauli isteriku sebelum aku menyempurnakan hajiku.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Apabila isterimu membantumu melakukan hal ini, maka setiap kalian harus menyembelih unta yang baik lagi gemuk. Apabila ia tidak membantumu, maka wajib bagimu menyembelih unta yang baik lagi gemuk.’” [14]

Macam-Macam Dam Dalam Haji:•
1. Dam haji Tamattu’ dan Qiran
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji atau bertalbiyah meniatkan umrah dan haji tamattu’ atau bertalbiyah meniatkan umrah dan haji qiran, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

مَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

"...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kem-bali...” [Al-Baqarah: 196]

2. Dam fidyah
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang menunaikan ibadah haji apabila ia mencukur rambutnya karena sakit atau sesuatu yg mengganggu, berdasarkan firman Allah Subahnahu wa Ta'ala :

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

“… Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban…” [Al-Baqarah: 196]

3. Dam tebusan
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang berihram apabila membunuh hewan buruan darat, adapun membunuh hewan buruan laut tidak mengapa (mengenai dam ini, telah dibahas).

4. Dam Ihshar
Yaitu dam yang dibayar karena ia tidak bisa menyempurnakan manasiknya karena sakit atau ditahan musuh atau yang lainnya dan ia tidak mensyaratkan apa-apa pada saat ia berihram, ber-dasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ

“... Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat...” [Al-Baqarah: 196]

5. Dam karena berhubungan intim
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji apabila ia berhubungan intim di tengah hajinya (hal ini telah dibahas).

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/46, no. 1834), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan an-Nasa-i (V/203).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7645)], Shahiih Muslim (II/989, no. 1356).
[3].Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1790)], Sunan Abi Dawud (VI/20, no. 2018).
[4]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/34, no. 1829), Shahiih Muslim (II/856, no. 1198), Sunan at-Tirmidzi (II/166, no. 839).
[5]. Tafsiir al-Qur-aanil ‘Azhiim (II/99), dari ‘Ikrimah, ia berkata, “Marwan pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sedangkan kami pada saat itu berada di lembah Azraq, ‘Apa pendapatmu jika kami membunuh hewan buruan di tanah haram dan tidak ada hewan ternak yang dapat menggantikan he-wan itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Engkau perkirakan harganya dan bersedekahlah sebesar harga hewan itu kepada orang-orang miskin di Makkah.’”
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3226)], Sunan Abi Dawud (X/274, no. 3783).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1051)], Muwaththa’ Imam Malik (285/941), al-Baihaqi (V/183).
[8]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1056)], al-Baihaqi (V/205).
[9]. Shahih mauquf: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/171).
[10]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/234], al-Baihaqi (V/167).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/233)], al-Baihaqi (V/172).
[12]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1042)], Shahiih al-Bukhari (IV/242, no.1997).
[13]. Irsyaadus Saari.
[14]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/168
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari dengan penambahan ayat.

HAL-HAL YANG TERLARANG KETIKA IHRAM

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi




Diharamkan bagi seseorang yang telah berihram melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Memakai pakaian yang dijahit
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar:

أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ولْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ.

“Bahwa seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dipakai oleh orang yang berihram?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh memakai baju, surban, celana, penutup kepala dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, ia boleh menggunakan sepatu, namun hendaknya ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Dan hendaknya jangan memakai pakaian yang diolesi minyak Za’faran dan Wars.’” [1]

Bagi orang yang tidak mempunyai pakaian kecuali celana dan sepatu diberi keringanan memakai celana dan sepatu tanpa dipotong, berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيْلَ لِلْمُحْرِمِ.

“Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di ‘Arafah, ‘Barangsiapa yang tidak mempunyai sandal hendaknya ia memakai sepatunya dan barangsiapa yang tidak mempunyai izar (kain ihram) hendaknya ia memakai celana, bagi orang yang berihram.’” [2]

2. Menutup wajah dan kedua tangan bagi wanita
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.

“Bagi wanita yang berihram tidak boleh memakai niqab (penutup muka/cadar) dan kaos tangan.” [3]

Ia boleh menutup mukanya jika ada laki-laki yang lewat, berdasarkan hadits Hisyam bin ‘Urwah dari Fatimah binti al-Mundzir, ia berkata, “Kami menutup muka kami sedangkan kami tengah berihram dan bersama kami Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq.” [4]

3. Menutup kepala bagi laki-laki baik dengan surban atau yang lainnya
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar:

لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ.

“Tidak boleh memakai baju dan surban.” [5]

Namun boleh berteduh dalam kemah atau yang lainnya, berdasarkan hadits Jabir yang lalu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendirikan kemah, maka didirikan untuk beliau kemah di Namirah, kemudian beliau mampir di kemah tersebut.”

4. Memakai minyak wangi
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar:

وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ.

“Dan hendaknya jangan memakai pakaian yang diolesi minyak Za’faran dan Wars.” [6]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang masih dalam ihramnya kemudian ia terjatuh dari untanya sehingga lehernya patah:

وَلاَ تُحَنِّطُوْهُ، وَلاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ، فَإِنَّ اللهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا.

“Jangan diberi minyak wangi dan kepalanya jangan ditutup, karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” [7]

5,6. Memotong kuku dan menghilangkan rambut, baik dengan cara mencukur atau memendekkan atau dengan cara lainnya

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

"... Jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya... [Al-Baqarah: 196].

Para ulama juga sepakat akan haramnya memotong kuku bagi orang yang berihram.

Bagi orang yang terganggu dengan keberadaan rambutnya boleh mencukur rambut tersebut dan ia wajib membayar fidyah (denda), berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

“... Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepa-lanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban...” [Al-Baqarah: 196]

Dan hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah:

أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ بِهِ وَهُوَ بِالْحُدَيْبِيَةِ، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ مَكَّةَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَهُوَ يُوْقِدُ تَحْتَ قِدْرٍ، وَالْقَمْلُ يَتَهَافَتُ عَلَىٰ وَجْهِهِ. فَقَالَ: أَيُؤْذِيْكَ هَوَامُّكَ هٰذِهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، وَأَطْعِمْ فَرَقاً بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ، (وَالْفَرَقُ ثَلاَثَةُ آصُعٍ) أَوْ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ. أَوِ انْسُكْ نَسِيْكَةً.

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mampir menemuinya di Hudaibiyah sebelum beliau memasuki kota Makkah. Ka’ab pada saat itu sedang berihram, ia menyalakan api di bawah panci sedangkan kutunya berjatuhan di wajahnya satu demi satu. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Apakah kutu-kutu ini mengganggumu.’ ‘Benar,’ jawab Ka’ab. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukurlah rambutmu lalu berilah makan sebanyak satu faraq untuk enam orang (satu faraq sama dengan tiga sha’) atau berpuasalah tiga hari atau sembelihlah seekor hewan kurban.’”[8]

7. Berhubungan intim dan faktor-faktor yang dapat membuatnya tertarik untuk berhubungan intim
8. Mengerjakan kemaksiatan
9. Bermusuhan dan berdebat

Dalil pengharaman tiga poin ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang-siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerja-kan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” [Al-Baqarah: 197]

10,11. Melamar dan menikah
Berdasarkan hadits ‘Utsman bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ، وَلاَ يَخْطُبُ، وَلاَ يُخْطَبُ عَلَيْهِ.

“Orang yang sedang berihram dilarang menikah dan menikahkan serta melamar dan dilamar.”

12. Membunuh atau menyembelih hewan buruan darat atau mengisyaratkan atau memberi tanda untuk membunuh hewan buruan tersebut.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

“... Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram...” [Al-Maa-idah: 96]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beberapa orang Sahabat bertanya tentang keledai betina yang diburu oleh Abu Qatadah, ia pada saat itu tidak sedang berihram sedangkan yang lainnya berihram. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya:

أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا؟ قَالُوْا: لاَ قَالَ: فَكُلُوْا.

“Apakah ada salah seorang di antara kalian memerintahkan agar ia memburu keledai itu, atau memberi isyarat ke keledai itu?” “Tidak,” jawab mereka. Beliau bersabda, “Makanlah.” [9]

13. Makan hewan buruan yang diburu untuknya atau yang ia isyaratkan untuk diburu, atau yang diburu dengan bantuannya
Berdasarkan apa yang difahami dari sabda beliau:

أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا؟ قَالُوْا: لاَ، قَالَ: فَكُلُوْا.

“Apakah ada salah seorang di antara kalian memerintahkan agar ia memburu keledai itu atau memberi isyarat ke keledai itu?” “Tidak,” jawab mereka. Beliau bersabda, “Makanlah.” [10]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/401, no. 1542), Shahiih Muslim (II/834, no. 1177), Sunan Abi Dawud (V/269, no. 1806), Sunan an-Nasa-i (V/129).
[2]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/57, no. 1841), Sunan an-Nasa-i (V/132), Shahiih Muslim (II/835, no. 1178), Sunan at-Tirmidzi (II/165, no. 835), Sunan Abi Dawud (V/275, no. 1812).
[3]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1022)], Shahiih al-Bukhari (IV/52, no. 1838), Sunan Abi Dawud (V/271, no. 1808), Sunan an-Nasa-i (V/133), Sunan at-Tirmidzi (II/164, no. 834).
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1023)], Muwatha' Imam Malik (224/724), Mus-tadrak al-Hakim (I/454).
[5]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1012)].
[6]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/401, no. 1542), Shahiih Muslim (II/ 834, no. 117), Sunan Abi Dawud (V/269, no. 1806), Sunan an-Nasa-i (V/129
[7]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/135, no. 1265), Shahiih Muslim (II/865, no. 1206), Sunan Abi Dawud (IX/63, no. 3223-3222), Sunan an-Nasa-i (V/196).
[8]. Muttafaq 'alaih: Shahiih Muslim (II/861, no. 1201 (83)) ini adalah lafazh beliau, Shahiih al-Bukhari (IV/12, no. 1814), Sunan Abi Dawud (V/309, no. 1739), Sunan an-Nasa-i (V/194), Sunan at-Tirmidzi (II/214, no. 960), Sunan Ibni Majah (II/1028, no. 3079).
[9]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (V/28, no. 1824), Shahiih Muslim (II/853, no. 1196 (60)), Sunan an-Nasa-i (V/186) semisal hadits tersebut.
[10]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (V/28, no. 1824), Shahiih Muslim (II/853, no. 1196 (60)), Sunan an-Nasa-i (V/186) semisal hadits tersebut.

RUKUN-RUKUN HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Haji Adalah Salah Satu Ibadah dari Sekian Banyak Ibadah, Mempunyai Rukun, Hal-Hal yang Wajib dan Hal-Hal yang Sunnah

II. Rukun-Rukun Haji
1. Niat
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...” [Al-Bayyinah: 5]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” [1]

2. Wukuf di ‘Arafah
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اَلْحَجُّ عَرَفَةُ.

“Haji adalah wukuf di ‘Arafah.” [2]

Juga berdasarkan hadits ath-Tha-i, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Muzdalifah ketika beliau keluar untuk shalat, aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku datang dari gunung kembar Thaya, tungganganku telah kubuat lemah, dan diriku juga telah lelah, demi Allah aku tidak meninggalkan satu gunung pun kecuali aku berhenti di sana, apakah aku mendapatkan haji?’ Beliau menjawab.

مَنْ شَهِدَ صَلاتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلاً أَوْ نَهَارًا فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ.

“Barangsiapa yang mengikuti shalat kami (di Muzdalifah) lalu bermalam bersama kami hingga kami berangkat, dan sebelum itu dia benar-benar telah wukuf di ‘Arafah pada malam atau siang hari, maka hajinya telah sempurna dan ia telah menghilangkan kotorannya.”[3]

3. Menginap di Muzdalifah sampai terbit fajar dan shalat Shubuh di sana
Berdasarkan sabda beliau kepada ‘Urwah pada hadits tadi, “Barangsiapa yang mengikuti shalat kami (di Muzdalifah), lalu bermalam bersama kami hingga kami berangkat, dan sebelum itu dia benar-benar telah wukuf di ‘Arafah pada malam atau siang hari, maka hajinya telah sempurna dan ia telah menghilangkan kotorannya.” [4]

4. Thawaf Ifadhah
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“...Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [Al-Hajj: 29]

Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Shafiyah binti Huyay mengalami haidh setelah merampungkan thawaf Ifadhah.” Lalu ia berkata lagi, “Kemudian hal tersebut aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun bersabda, “Apakah ia akan menghalangi kita (untuk pergi)?” “Wahai Rasulullah, ia telah thawaf Ifadhah, ia telah thawaf mengelilingi Ka’bah lalu haidh setelah thawaf Ifadhah,” jawabku. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu kita berangkat.”” [5]

Sabda beliau, “Apakah ia akan menghalangi kita (untuk pergi)?” Menunjukkan bahwa thawaf ini harus dikerjakan, thawaf ini dapat menghalangi kepergian orang yang belum melaksanakannya.

5. Sa’i antara Shafa dan Marwah
Berdasarkan sa’inya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sabda beliau:

اِسْعَوْا، إنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ.

“Kerjakanlah sa’i, sesungguhnya Allah telah mewajibkan sa’i atas kalian.” [6]

III. Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Haji
1. Berihram dari miqat-miqat
Yaitu dengan melepas pakaian dan mengenakan pakaian ihram, kemudian niat dengan mengucapkan:

لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ بِعُمْرَةٍ.

“Aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk menunaikan ibadah ‘umrah.”

Atau:

لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ حَحَّةً وَعُمْرَةً.

“Aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.”

2. Bermalam di Mina pada malam hari-hari Tasyriq
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bermalam di sana. Beliau memberi keringanan bagi pengembala unta di Baitullah, mereka melontar pada hari Nahr (hari raya kurban), sehari setelahnya, lalu dua hari setelahnya dan pada hari mereka menyelesaikan ibadah haji (nafar).[7]” Rasulullah memberi keringanan kepada mereka, ini merupakan dalil akan wajibnya hal ini bagi yang lainnya.

3. Melempar jumrah secara tertib
Yaitu dengan melempar jumrah ‘Aqabah pada hari Nahr menggunakan tujuh kerikil, lalu melempar ketiga jumrah pada hari-hari tasyrik setelah matahari tergelincir, setiap jumrah dilempar dengan tujuh kerikil, dimulai dengan jumrah Ula kemudian jumrah Wustha dan diakhiri dengan jumrah ‘Aqabah.

4. Thawaf Wada’
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma: “Telah diperintahkan kepada manusia agar mengakhiri ibadah hajinya dengan thawaf di Baitullah, namun diberi kelonggaran bagi wanita haidh.” [8]

5. Mencukur rambut atau memendekkannya
Mencukur dan memendekkan rambut disyari’atkan, baik dalam al-Qur-an, as-Sunnah maupun ijma’.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لَّقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesunguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut...” [Al-Fath: 27]

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a:

اَللّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ، قَالُوْا: وَالْمُقَصِّرِينَ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَللّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ، قَالُوْا: وَالْمُقَصِّرِيْنَ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَللّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ، قَالُوْا: وَالْمُقَصِّرِيْنَ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: وَالْمُقَصِّرِيْنَ.

“Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur (gundul) rambutnya.” Mereka berkata, “Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?” Beliau berdo’a lagi, “Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur (gundul) rambutnya.” Mereka berkata, “Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?” Beliau berdo’a lagi, “Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur (gundul) rambutnya.” Mereka berkata, “Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?” Beliau berdo’a lagi, “Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya.”

Jumhur ahli fiqih berselisih pendapat akan hukum mencukur atau memendekkan rambut ini. Sebagian besar dari mereka berpendapat hukumnya wajib, orang yang meninggalkannya wajib membayar dam, sedangkan ahli fiqh madzhab Syafi’i berpendapat mencukur atau memendekkan rambut merupakan salah satu di antara rukun-rukun haji. Faktor yang membuat mereka berselisih pendapat adalah karena tidak adanya dalil yang menguatkan pen-dapat yang pertama maupun yang kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh kami, al-Albani.

Syarat-Syarat Thawaf •
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلطَّوَافُ حَوْلَ الْبَيْتِ مِثْلُ الصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُوْنَ فِيْهِ فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيْهِ فَلاَ يَتَكَلَّمُ إِلاَّ بِخَيْرٍ.

“Thawaf mengelilingi Ka’bah seperti shalat, namun dalam thawaf kalian boleh berbicara. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf hendaklah ia berbicara dengan perkataan yang baik.” [9]

Jika thawaf itu seperti shalat, maka disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Suci dari dua hadats (hadats kecil dan besar)
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُورٍ.

“Allah tidak menerima shalat tanpa thaharah (bersuci).” [10]

Juga berdasarkan sabda beliau kepada ‘Aisyah yang haidh pada saat haji:

اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَغْتَسِلِي.

“Kerjakanlah apa yang dikerjakan oleh orang yang berhaji, hanya saja engkau tidak boleh thawaf di Baitullah sampai engkau mandi (bersih dari haidhmu).” [11]

2. Menutup aurat
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (me-masuki) masjid...” [Al-A’raf: 31].

Dan berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasanya Abu Bakar ketika haji yang mana dalam haji itu ia diangkat sebagai amir oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebelum haji Wada’, beliau mengutus Abu Hurairah bersama beberapa orang pada hari raya kurban untuk mengumumkan kepada orang-orang. Setelah tahun ini orang musyrik tidak boleh berhaji, dan tidak boleh thawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang. [12]

3. Thawaf sebanyak tujuh putaran sempurna
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf tujuh kali, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar, “Setelah tiba Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tha-waf mengelilingi Ka’bah tujuh kali, kemudian beliau shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim dan sa’i antara Shafa dan Marwah tujuh kali. Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu ada contoh yang baik bagimu.

Amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan penjelasan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“...Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [Al-Hajj: 29]

Apabila ia meninggalkan sedikit saja dari tujuh putaran itu, thawafnya tidak sah. Jika ia ragu hendaknya ia mengambil kemungkinan yang paling sedikit agar ia menjadi yakin.

4,5. Memulai dan mengakhiri thawaf di Hajar Aswad dengan menempatkan Ka’bah di sebelah kiri
Berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhua: “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Makkah beliau mendatangi Hajar Aswad dan mengusapnya, kemudian beliau melangkah ke arah kanan, beliau thawaf dengan berlari-lari kecil tiga putaran dan berjalan biasa empat putaran.”

6.Thawaf di luar Ka’bah
Hal ini karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“...Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [Al-Hajj: 29]

Menunjukkan thawaf harus mengitari seluruh Ka’bah. Seandainya seseorang thawaf dan lewat di dalam Hijir Isma’il, maka thawafnya tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اَلْحِجْرُ مِنَ الْبَيْتِ.

“Hijir Isma’il termasuk Ka’bah.”

7. Berturut-turut (tidak terputus)
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf berturut-turut dan beliau bersabda:

خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ.

“Ambillah dariku manasik hajimu.”

Jika thawaf diputus untuk berwudhu atau menunaikan shalat wajib ketika iqamat sudah dikumandangkan atau untuk istirahat sejenak, maka boleh melanjutkan thawaf (tidak perlu mengulang). Jika diputus lama, maka thawaf diulang lagi dari awal.

Syarat-Syarat Sa’i:
Untuk sahnya amalan sa’i disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Hendaknya dilakukan tujuh kali
2. Hendaknya dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah
3. Hendaknya sa’i dilakukan di Mas’a, yaitu jalan yang meng-hubungkan antara Shafa dan Marwah

Berdasarkan amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau bersabda:

خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُم.

“Ambillah dariku manasik hajimu.”

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hadits ini sudah pernah dibawakan.
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2441)], Sunan at-Tirmidzi (II/188, no. 890), Sunan an-Nasa-i (V/264), Sunan Ibni Majah (II/1003, no. 3015), Sunan Abi Dawud (V/425, no. 1933).
[3]. Shahih:[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2442)], Sunan at-Tirmidzi (II/188, no. 892), Sunan Abi Dawud (V/427, no. 1934), Sunan Ibnu Majah (II/1004, no. 3016), Sunan an-Nasa-i (V/263).
[4]. Shahih:[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2442)], Sunan at-Tirmidzi (II/188, no. 892), Sunan Abi Dawud (V/427, no. 1934), Sunan Ibnu Majah (II/1004, no. 3016), Sunan an-Nasa-i (V/263).
[5]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/567, no. 1733), Shahiih Muslim (II/964, no. 1211), Sunan Abi Dawud (V/486, no. 1987), Sunan an-Nasa-i (I/194), Sunan at-Tirmidzi (II/210, no. 949), Sunan Ibni Majah (II/1021, no. 3072).
[6]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1072)], Ahmad (XII/76, no. 277), Mustadrak al-Hakim (IV/70).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2463)], Sunan Abi Dawud (V/215, no. 962), Sunan at-Tirmidzi (II/215, no. 962), Sunan Ibni Majah (II/1010, no. 3037), Sunan an-Nasa-i (V/573).
[8]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/585, no. 1755), Shahiih Muslim (II/ 963, no. 1328).
• Fiqhus Sunnah (I/588), Manaaris Sabiil (I/263).
[9]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 121)], Sunan at-Tirmidzi (II/218, no. 967), Shahiih Ibni Khuzaimah (IV/222, no. 2739), Shahiih Ibni Hibban (247/998), Sunan ad-Darimi (I/374, no. 1854), Mustadrak al-Hakim (I/459), al-Baihaqi (V/58).
[10]. Hadits ini telah dibawakan sebelumnya
[11]. Muttafaq 'alaih: Shahiih Muslim (II/873, no. 1211 (119)), Shahiih al-Bukhari (III/504, no. 1650).
[12]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (I/477, no. 369), Shahiih Muslim (II/982, no. 1347), Sunan Abi Dawud (V/421, no. 1930), Sunan an-Nasa-i (V/234

SUNAH-SUNAH HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Haji Adalah Salah Satu Ibadah dari Sekian Banyak Ibadah, Mempunyai Rukun, Hal-Hal yang Wajib dan Hal-Hal yang Sunnah

I. Sunah-Sunnah Haji

A. Sunah-Sunnah Ihram:
1. Mandi ketika ihram
Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengganti pakaiannya untuk ihram lalu mandi.[1]

2. Memakai minyak wangi di badan sebelum ihram
Berdasarkan hadits ‘Aisyah ia berkata, “Aku pernah memberi wewangian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk ihramnya sebelum berihram dan untuk tahallulnya sebelum melakukan thawaf di Ka’bah.” [2]

3. Berihram dengan kain ihram (baik yang atas maupun yang bawah) yang berwarna putih
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat dari Madinah setelah beliau menyisir rambut dan memakai minyak, lalu beliau dan para Sahabat memakai rida’ dan izar (kain ihram yang atas dan yang bawah).

Adapun disunnahkannya yang berwarna putih berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِّ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ.

“Pakailah pakaianmu yang putih, sesungguhnya pakaian yang putih adalah pakaianmu yang terbaik dan kafankanlah orang-orang yang wafat di antara kalian dengannya.” [3]

4. Shalat di lembah ‘Aqiq bagi orang yang melewatinya
Berdasarkan hadits ‘Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di lembah ‘Aqiq:

أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ، وَقُلْ: عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ

"Tadi malam, telah datang kepadaku utusan Rabb-ku dan berkata, ‘Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan (niatkan) umrah dalam haji.’”

5. Mengangkat suara ketika membaca talbiyah
Berdasarkan hadits as-Saib bin Khalladi, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهُمْ بِاْلإِهْلاَلِ أَوِ التَّلْبِيَةِ.

“Telah datang kepadaku Jibril dan memerintahkan kepadaku agar aku memerintahkan para Sahabatku supaya mereka mengeraskan suara mereka ketika membaca talbiyah.” [4]

Oleh karena itu, dulu para Sahabat Rasulullah berteriak. Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Dulu ketika Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram suara mereka telah parau sebelum mencapai Rauha.” [5]

6.Bertahmid, bertasbih dan bertakbir sebelum mulai ihram
Berdasarkan hadits Anas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Zhuhur empat raka’at di Madinah sedangkan kami bersama beliau, dan beliau shalat ‘Ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at, beliau menginap di sana sampai pagi, lalu menaiki kendaraan hingga sampai di Baidha, kemudian beliau memuji Allah bertasbih dan bertakbir, lalu beliau berihram untuk haji dan umrah.” [6]

7. Berihram menghadap Kiblat
Berdasarkan hadits Nafi’, ia berkata, “Dahulu ketika Ibnu ‘Umar selesai melaksanakan shalat Shubuh di Dzul Hulaifah, ia memerintahkan agar rombongan mulai berjalan. Maka rombongan pun berjalan, lalu ia naik ke kendaraan. Ketika rombongan telah sama rata, ia berdiri menghadap Kiblat dan bertalbiyah... Ia mengi-ra dengan pasti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan hal ini.” [7]

B. Sunnah-Sunnah Ketika Masuk Kota Makkah:
8, 9, 10. Menginap di Dzu Thuwa, mandi untuk memasuki kota Makkah dan masuk kota Makkah pada siang hari
Dari Nafi’, ia berkata, “Dahulu ketika Ibnu ‘Umar telah dekat dengan kota Makkah, ia menghentikan talbiyah, kemudian beliau menginap di Dzu Thuwa, shalat Subuh di sana dan mandi. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan hal ini.” [8]

11. Memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah al-‘Ulya (jalan atas)
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah al-‘ulya (jalan atas) dan keluar dari ats-Tsaniyah as-Sufla (jalan bawah).”[9]

12. Mendahulukan kaki kanan ketika masuk ke dalam masjid haram dan membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.

“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya Yang Mahamulia dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang terkutuk. Dengan Nama Allah dan semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Muhammad, Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku.” [10]

13. Mengangkat tangan ketika melihat Ka’bah
Apabila ia melihat Ka’bah, mengangkat tangan jika mau, karena hal ini benar shahih dari Ibnu ‘Abbas [11]. Kemudian berdo’a dengan do’a yang mudah dan apabila ia mau berdoa dengan do’anya Umar juga baik, sebab do’a ini pun shahih dari ‘Umar. Do’a beliau:

اَللّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ.

“Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan dan dari-Mu keselamatan, serta hidupkanlah kami, wahai Rabb kami dengan keselamatan.”[12]

C. Sunah-Sunnah Thawaf
14. Al-Idhthiba’
Yaitu memasukkan tengah-tengah kain ihram di bawah ketiak kanan dan menyelempangkan ujungnya di pundak kiri sehingga pundak kanan terbuka, berdasarkan hadits Ya’la bin Umayyah bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf dengan idhthiba’.” [13]

15. Mengusap Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika tiba di Makkah mengusap Hajar Aswad di awal thawaf, beliau thawaf sambil berlari-lari kecil di tiga putaran pertama dari tujuh putaran thawaf.” [14]

16. Mencium Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Zaid bin Aslam dari ayahnya, ia berkata, “Aku melihat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu mencium Hajar As-wad dan berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” [15]

17. Sujud di atas Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku melihat ‘Umar bin al-Khaththab mencium Hajar Aswad lalu sujud di atasnya kemudian ia kembali menciumnya dan sujud di atasnya, kemudian ia berkata, ‘Beginilah aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’” [16]

18. Bertakbir setiap melewati Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf mengelilingi Ka’bah di atas untanya, setiap beliau melewati Hajar Aswad beliau memberi isyarat dengan sesuatu yang ada pada beliau kemudian bertakbir.” [17]

19. Berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf yang pertama kali (thawaf qudum)
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika thawaf mengitari Ka’bah, thawaf yang pertama kali, beliau berlari-lari kecil tiga putaran dan berjalan empat putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir kembali di Hajar Aswad.”[18]

20. Mengusap rukun Yamani
Berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap Ka’bah kecuali dua rukun Yamani (rukun Yamani dan Hajar Aswad).” [19]

21. Berdo’a di antara dua rukun (rukun Yamani dan Hajar Aswad) dengan do’a sebagai berikut:

رَبَّنَآ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa Neraka.”[20]

22. Shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim setelah thawaf
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Setelah tiba, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali, kemudian beliau shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim dan sa’i antara Shafa dan Marwah.” Selanjutnya beliau berkata:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ.

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat contoh yang baik bagimu.” [21]

23. Sebelum shalat di belakang Maqam Ibrahim membaca:

وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّىٰ.

“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim itu tempat shalat.”

Kemudian membaca dalam shalat dua raka’at itu surat al-Ikhlash dan surat al-Kaafirun, berdasarkan hadits Jabir bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau sampai di maqam Ibrahim Alaihissallam beliau membaca:

وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ مُصَلًّىٰ.

“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim itu tempat shalat.”

Lalu beliau shalat dua raka’at, beliau membaca dalam shalat dua raka’at itu { قُلْ هُوَ اللّهُ أَحَدٌ} dan{قُلْ يا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ}.

24. Iltizam tempat di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah dengan cara menempelkan dada, wajah dan lengannya pada Ka’bah
Berdasarkan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah thawaf bersama ‘Abdullah bin ‘Amr, ketika kami telah selesai dari tujuh putaran tersebut kami shalat di belakang Ka’bah. Lalu aku bertanya, ‘Apakah engkau tidak memohon perlindungan kepada Allah?’ Ia menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah dari api Neraka.’”

Berkata (perawi), “Setelah itu ia pergi dan mengusap Hajar Aswad. Lalu beliau berdiri di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah, beliau menempelkan dada, tangannya dan pipinya ke dinding Ka’bah, kemudian berkata, ‘Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hal ini.’”[22]

25. Minum air zamzam dan mencuci kepala dengannya
Berdasarkan hadits Jabir bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan hal tersebut.

D. Sunnah-Sunnah Sa’i:
26. Mengusap Hajar Aswad (seperti yang telah lalu)
27. Membaca:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullaah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu ke-bajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Mahamen syukuri kebaikan lagi Mahamengetahui.” [Al-Baqarah: 158]

Kemudian membaca:

نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ.

“Kami mulai dengan apa yang dimulai oleh Allah.”

Bacaan ini dibaca setelah dekat dengan Shafa ketika mau melakukan sa’i.[23]

28. Berdo’a di Shafa
Ketika berada di Shafa, menghadap Kiblat dan membaca:

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.

“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, bagi-Nya segala puji dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata. Yang melaksanakan janji-Nya, membela hamba-Nya (Muhammad) dan mengalahkan golongan musuh sendirian.”

29. Berlari-lari kecil dengan sungguh-sungguh antara dua tanda hijau
30. Ketika berada di Marwah mengerjakan seperti apa yang dilakukan di Shafa, baik menghadap Kiblat, bertakbir maupun berdo’a

E. Sunnah-Sunnah Ketika Keluar dari Mina:
31. Ihram untuk haji pada hari Tarwiyah dari tempat tinggal masing-masing •
32. Shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya' di Mina pada hari Tarwiyah, serta menginap di sana hingga shalat Shubuh dan matahari telah terbit
33. Pada hari ‘Arafah, menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar di Namirah
34. Tidak meninggalkan ‘Arafah sebelum matahari tenggelam.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 664)], Sunan at-Tirmidzi (II/163, no. 831).
[2]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/396, no. 1539), Shahiih Muslim (II/846, no. 1189 (33)), Sunan at-Tirmidzi (II/199, no. 920) dengan tambahan di dalam lafazhnya, Sunan Abi Dawud (V/169, no. 1729), Sunan an-Nasa-i (V/137), Sunan Ibni Majah (II/976, no. 2926).
[3]. Sudah ditakhrij sebelumnya
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 241)], Shahiih al-Bukhari (III/392, no. 534), Sunan Abi Dawud (V/232, no. 1783), Sunan Ibni Majah (II/991, no. 2976).
[5]. Isnadnya shahih: Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur sebagaimana yang disebutkan dalam al-Muhallaa (VII/94) dengan sanad yang jayyid. Diriwa-yatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih dari al-Muth-thalib bin ‘Abdillah, sebagaimana yang disebutkan dalam Fat-hul Baari (III/324) hadits tersebut mursal, selesai. Diambil dari al-Manaasik, Syaikh al-Albani (hal. 17).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1558)], Shahiih al-Bukhari (III/441, no. 1551), Sunan Abi Dawud (V/223, no. 1779) seperti lafazh ini.
[7]. Shahih: Shahiih al-Bukhari (III/412, no. 1553).
[8]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/435, no. 1573) ini adalah lafazh beliau, dan yang semisalnya; Shahiih Muslim (II/919, no. 1259), Sunan Abi Dawud (V/318, no. 1848).
[9]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/436, no. 1575) ini adalah lafazh beliau, Shahiih Muslim (II/918, no. 1257), Sunan an-Nasa-i (V/200), Sunan Ibni Majah (II/981, no. 2940).
[10]. Shahih: [Al-Kalimuth Thayyib].
[11]. Sanadnya shahih: [Manaasikul Hajj (hal. 20)], Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (III/96).
[12]. Sanadnya hasan: [Manaasikul Hajj (hal. 20)], al-Baihaqi (V/72).
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2391)], Sunan Abi Dawud (V/336, no. 1866), Sunan at-Tirmidzi (II/175, no. 161), Sunan Ibni Majah (2/2954, no. 984)
[14]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/470, no. 1603), Shahiih Muslim (II/ 920, no. 1261 (232), Sunan an-Nasa-i (V/229).
[15]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/462, no. 1597), Shahiih Muslim (II/ 925, no. 1270), Sunan Abi Dawud (V/325, no. 1856), Sunan Ibni Majah (II/ 981, no. 2943), Sunan at-Tirmidzi (II/175, no. 862), Sunan an-Nasa-i (V/227).
[16]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/312)], al-Bazzar (II/23, no. 1114).
[17]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1114)], Shahiih al-Bukhari (III/476, no. 1613).
[18]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2387)], Sunan Ibni Majah (II/983, no. 2950) ini adalah lafazh beliau, lafazh yang semisalnya: Shahiih al-Bukhari (III/470, no. 1603), Shahiih Muslim (II/920, no. 1261), Sunan Abi Dawud (V/ 344, no. 1876), Sunan an-Nasa-i (V/229).
[19]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/473, no. 1609), Shahiih Muslim (II/924, no. 1267), Sunan Abi Dawud (V/326, no. 1757), Sunan an-Nasa-i (V/231).
[20]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1666)], Sunan Abi Dawud (V/344, no. 1875).
[21]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2394)], Shahiih al-Bukhari (III/487, no. 1627), Sunan Ibni Majah (II/986, no. 2959).
[22]. Telah disebutkan dalam hadits Jabir Radhiyallahu anhu
[23]. Semuanya dari hadits Jabir Radhiyallahu anhu.
• Hendaknya memperhatikan sunah-sunah ihram yang telah kami jelaskan.

AMBILLAH MANASIK HAJIMU DARIKU (SIFAT HAJI NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya ia berkata, “Kami masuk menemui Ja-bir bin ‘Abdillah, ia bertanya tentang orang yang datang, hingga sampailah padaku, aku pun berkata, ‘Aku Muhammad bin ‘Ali bin Husain.’ Kemudian beliau mengarahkan tangannya ke kepala-ku, membuka baju luarku dan baju dalamku, serta meletakkan tangannya antara kedua putingku sedangkan aku pada saat itu adalah anak yang baru dewasa. Ia berkata, ‘Selamat datang wahai anak saudaraku, bertanyalah apa saja yang engkau kehendaki.’ Aku pun bertanya kepadanya, ia pada saat itu sudah buta. Waktu shalat pun datang, ia berdiri dengan pakaian yang diselimutkan (ke badannya), setiap ia meletakkan pakaian itu di atas pundak, ujung-ujungnya terlepas kembali karena sangat kecilnya pakaian tersebut, sedangkan selendang miliknya ia letakkan pada kayu tempat menggantung pakaian, beliau mengimami kami. Setelah itu aku berkata, ‘Beritahukanlah kepadaku tentang haji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Beliau pun mengisyaratkan dengan sembilan jarinya, dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'laihi wa sallam tinggal (di Madinah), tidak pergi haji selama sembilan tahun, kemudian pada tahun kesepuluh diumumkan kepada halayak bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan berangkat melaksanakan haji. Datanglah ke Madinah manusiayang banyak, semuanya hendak mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengerjakan seperti apa yang dikerjakannya. Kami pun keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sampailah kami di Dzul Hulaifah. Di situ Asma binti ‘Umaisy melahirkan Muhammad bin Abi Bakar, kemudian ia mengirim pertanyaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Apa yang harus aku lakukan?’

Beliau menjawab:

اِغْتَسِلِي، وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي.

‘Mandilah dan bercawatlah dengan kain (sebagai pembalut), kemudian berihramlah.’

Setelah itu beliau shalat di masjid dan menunggang Qashwa (unta beliau) hingga apabila unta itu telah sampai di Baida’, aku memandang ke batas pandanganku di depan beliau dari para pengendara dan pejalan kaki, begitu pula di sebelah kanan, kiri dan belakang beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami, kepadanyalah diturunkan al-Qur-an dan beliaulah yang mengetahui tafsirannya, apa yang beliau kerjakan kami kerjakan pula, beliau memulai dengan talbiyah (yang mengandung makna) tauhid:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ.

‘Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Segala puji, nikmat dan kerajaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.’

Manusia pun ikut bertalbiyah dengan talbiyah ini, yang mereka pakai bertalbiyah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah sedikit pun dari talbiyah ini, beliau terus mengulangi talbiyah ini.”

Jabir Radhiyallahu anhu berkata lagi, “Kami tidak meniatkan kecuali haji, kami tidak mengenal umrah hingga kami sampai di Ka’bah bersama beliau mengusap hajar Aswad, beliau (thawaf sambil) berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan pada empat putaran berikutnya, kemudian pergi ke Maqam Ibrahim Alaihissallam dan membaca:

وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

“... Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat...’” [Al-Baqarah: 125]

Beliau menjadikan Maqam Ibrahim berada antara beliau dan Ka’bah.

Ayahku (ayah Ja’far si perawi, yaitu Muhammad) berkata, ‘Aku tidak mengetahui ucapan ini kecuali dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Beliau membaca dalam shalat dua raka’at itu: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ dan قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ . Kemudian beliau kembali mengusap hajar As-wad. Setelah itu beliau menuju Shafa, ketika dekat dengan Shafa beliau membaca:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah...” [Al-Baqarah: 158]

أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ.

“Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah.”

Beliau pun memulai dari bukit Shafa, menanjakinya sampai beliau melihat Ka’bah dan menghadap Kiblat, kemudian beliau mengucapkan kalimat tauhid kepada Allah serta bertakbir, beliau berkata:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكَ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.

“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, bagi-Nya segala puji dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata. Yang melaksanakan janji-Nya, membela hamba-Nya (Muhammad) dan mengalahkan golongan musuh sendirian.”

Di sela-sela itu itu beliau berdo’a dan mengulangi bacaan ini tiga kali, kemudian beliau turun menuju Marwah hingga ketika kedua telapak kaki beliau menginjak perut lembah beliau berlari-lari kecil. Ketika beliau mulai naik menuju bukit Marwah beliau berjalan hingga sampai ke Marwah, di Marwah beliau mengerjakan seperti apa yang telah dikerjakan di Shafa, hingga Sa’i beliau berakhir di Marwah, beliau bersabda:

لَوْ أَنِّي اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ الْهَدْيَ. وَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً. فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ لَيْسَ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيَحِلَّ. وَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً.

‘Seandainya aku mengetahui apa yang aku ketahui sekarang niscaya aku tidak akan membawa hewan sembelihan dan akan aku jadikan hajiku sebagai umrah. Barangsiapa di antara kalian yang tidak memiliki hewan kurban, hendaknya ia bertahallul dan menjadikan hajinya sebagai umrah.’

Suraqah bin Malik bin Ju’syum berdiri dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?’ Kemudian beliau menjalin jari-jeraminya satu dengan yang lain dan bersabda:

دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ (مَرَّتَيْنِ) لاَ، بَلْ ِلأَبَدٍ أَبَدٍ.

‘Telah masuk umrah dalam haji.’ (Beliau mengulangnya dua kali) ‘Tidak, bahkan untuk selama-lamanya.’

Kemudian ‘Ali datang dari Yaman membawa unta-unta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjumpai Fathimah termasuk orang-orang yang bertahallul, memakai pakaian yang dicelup dan bercelak. ‘Ali pun mengingkari hal ini, Fathimah berkata, ‘Sesungguhnya ayahku memerintahkanku untuk melakukan hal ini.’”

Berkata (Jabir, perawi hadits ini), “Ketika di ‘Iraq, ‘Ali berkata, ‘Kemudian aku pergi mengadukan apa yang diperbuat oleh Fathimah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bertanya kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan apa yang diceritakan Fathimah tentang beliau, aku juga menceritakan bahwa aku telah mengingkari apa yang dikerjakan Fathimah ini.’ Beliau bersabda:

صَدَقَتْ صَدَقَتْ، مَاذَا قُلْتَ حِيْنَ فَرَضْتَ الْحَجَّ؟

‘Ia benar, ia benar. Apa yang engkau katakan ketika engkau mengerjakan haji?’

Aku (‘Ali) mengatakan, ‘Ya Rabb-ku, aku berihram dengan apa yang diihramkan oleh Rasul-Mu.”

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ مَعِيَ الْهَدْيَ فَلاَ تَحِلُّ.

‘Aku membawa hewan kurban, maka engkau jangan berta-hallul.’

Berkata (perawi), ‘Hewan kurban yang terkumpul baik yang dibawa oleh ‘Ali Radhiyallahu anhu maupun yang dibawa oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sebanyak seratus ekor.’”

Berkata (perawi), “Semua jama’ah haji bertahallul dan memendekkan (mencukur) rambut mereka kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang membawa hewan kurban.

Ketika tiba hari Tarwiyah, mereka semua berangkat menuju Mina, mereka memulai manasik haji. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaiki tunggangannya, kemudian (setelah tiba beliau) mengimami mereka shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh. Setelah shalat Shubuh beliau menunggu sebentar sampai terbit matahari, beliau meminta didirikan kemah untuk beliau di Namirah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian mulai bertolak, orang-orang Quraisy tidak meragukan kecuali beliau berhenti di Masy’aril Haram seperti yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliyah, beliau telah melewati Mina dan menuju ‘Arafah hingga ketika sampai di (dekat) ‘Arafah beliau mendapatkan kemahnya telah di pasang di Namirah, beliau pun singgah di tempat tersebut. Ketika matahari telah tergelincir beliau memerintahkan agar untanya, al-Qashwa disiapkan, beliau pergi ke tengah-tengah lembah dan berkhutbah di tengah-tengah manusia, beliau bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هٰذَا. أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ، وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ، كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِي بَنِي سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا، رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ. فَاتَّقُوْا اللهِ فِي النِّسَاءِ. فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ. وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَداً تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْباً غَيْرَ مُبَرِّحٍ. وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ. وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ. كِتَابُ اللهِ. وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي. فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟

"Sesungguhnya darah dan harta kalian haram atas kalian seperti keharaman hari ini, bulan ini dan negeri kalian ini. Ketahuilah sesungguhnya segala macam perbuatan Jahiliyah (yang telah lalu pada masa Jahiliyyah) di bawah kedua telapak kakiku telah dilupakan (tidak dihukum). Darah (pembunuhan) Jahiliyyah (yang telah lalu pada masa Jahiliyah) telah dilupakan (tidak dihukum). Darah (pembunuhan) pertama yang dilupakan (tidak dihukum) dari darah-darah kita adalah darah Ibnu Rabi’ah bin al-Harits, ia disusukan di Bani Sa’ad, lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba Jahiliyyah (yang telah lalu pada masa Jahiliyyah) telah dilupakan. Riba petama yang dilupakan (tidak dihukum) adalah riba kita, riba ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib. Semuanya dilupakan (tidak dihukum). Bertakwalah kepada Allah mengenai (hak-hak) wanita, sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat (ijab kabul yang diperintahkan oleh) Allah. Hakmu atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci menginjakkan kaki di rumah kalian, apabila mereka mengerjakan hal ini pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Hak mereka yang menjadi kewajibanmu adalah memberi mereka nafkah dan pakaian yang pantas. Aku telah meninggal-kan di tengah-tengah kalian sesuatu yang apabila kalian ber-pegang teguh kepadanya kalian tidak akan tersesat; Kitabul-lah. Dan kalian akan ditanya tentang aku, apakah yang akan kalian katakan?’

Para Sahabat menjawab, ‘Kami bersaksi bahwasanya engkau telah menyampaikan (risalah Rabb-mu), engkau telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati (umat).’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sambil mengacungkan telunjuk ke langit kemudian mengarahkannya ke khalayak:

اَللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ. ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.

‘Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah.’ Beliau mengucapkannya tiga kali.

Setelah adzan dan iqamat beliau shalat Zhuhur, kemudian iqamat dan shalat ‘Ashar (qashar dengan jamak taqdim). Beliau tidak melakukan shalat apa pun lagi di antara keduanya. Lalu beliau menaiki kendaraan menuju ke tempat wukuf. Beliau merapatkan perut untanya al-Qashwa ke batu-batu besar. Beliau berhenti di jalan besar dan menghadap kiblat. Beliau terus wukuf hingga matahari terbenam, rona kuning sedikit demi sedikit mulai menghilang dan matahari benar-benar tenggelam. Beliau membonceng Usamah di belakang, kemudian mulai bertolak. Beliau mengencangkan kendali untanya sampai-sampai kepala unta itu menyentuh tempat duduk kendaraan. Beliau memberi isyarat dengan tangan kanannya sambil bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، اَلسَّكِيْنَةُ، اَلسَّكِينَةُ.

“Wahai sekalian manusia, tetaplah tenang, tetaplah tenang.”

Beliau mengendorkan tali kekang untanya sedikit demi sedikit hingga unta itu dapat berjalan mendaki. Setibanya di Muzdalifah beliau shalat Maghrib dan ‘Isya’ dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat (qashar dengan jamak ta’khir), beliau tidak membaca tasbih apa pun di antara keduanya. Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit. Beliau shalat Shubuh ketika waktu Shubuh sudah tampak jelas dengan sekali adzan dan iqamat.

Setelah itu beliau berangkat dengan untanya, al-Qashwa hingga ketika sampai di Masy’aril Haram beliau menghadap Kiblat, lalu membaca do’a, takbir dan tahlil kepada Allah. Beliau tetap berada di situ hingga terang benderang, lalu beliau bertolak sebelum matahari tebit. Beliau membonceng al-Fadhl bin ‘Abbas, dia adalah seorang laki-laki yang mempunyai rambut yang indah, berkulit putih dan tampan. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertolak lewatlah sejumlah wanita. Al-Fadhl memandangi mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menutupi wajah al-Fadhl dengan tangannya. Al-Fadhl memalingkan mukanya ke arah lain untuk memandang mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun memindahkan tangannya dari tempat tadi ke muka al-Fadhl ke arah yang ia memalingkan wajahnya hingga sampailah mereka di lembah al-Muhassir. Di situ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempercepat kendaraannya sedikit dan memilih jalan tengah yang keluar menuju Jumrah Kubra.

Setibanya di Jumrah dekat pohon, beliau melempar tujuh kali dengan batu-batu kecil, di setiap lemparan beliau bertakbir, setiap biji batu ukurannya sebesar kelingking [1]. Beliau melempar dari tengah-tengah lembah itu. Kemudian beliau menuju tempat penyembelihan, beliau menyembelih enam puluh tiga hewan sem-belihan dengan tangannya sendiri, setelah itu beliau memberi sisanya kepada ‘Ali dan beliau menyertakan ‘Ali dalam sembelihan tersebut. Beliau kemudian memerintahkan agar mengambil sedikit dari setiap hewan-hewan sembelihan itu, kemudian dimasukkan dalam satu panci dan dimasak. Mereka berdua pun makan daging tersebut dan minum kuahnya.

Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaiki kendaraan menuju Baitullah (Ka’bah) untuk thawaf Ifadhah dan beliau shalat Zhuhur di Makkah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Abdil Muththalib yang tengah memberi air minum dari air zamzam dan bersabda:

اِنْزِعُوْا، بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَوْلاَ أَنْ يَغْلِبَكُمُ النَّاسُ عَلَى سِقَايَتِكُمْ لَنَزَعْتُ مَعَكُمْ.

"Timbalah air, wahai Bani ‘Abdil Muththalib, seandainya aku tidak khawatir manusia akan mengalahkan kalian dalam usaha mengambil air ini niscaya aku akan ikut mengambil air bersama kalian."

Mereka pun menyodorkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setimba air dan beliau pun meminum air tersebut.”

Berkata Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahiih Muslim (VIII/170), “Ini adalah hadits yang mulia, mengandung beberapa pelajaran dan kaidah-kaidah penting yang berharga. Berkata al-Qa-dhi, ‘Para ulama telah banyak memperbincangkan kandungan fi-qih hadits ini. Dari hadits ini Abu Bakar al-Mundziri telah menulis satu juz kitab tebal, dan beliau telah mengambil dari hadits ini seratus lima puluh sekian macam hukum fiqh, seandainya didalami lagi niscaya akan lebih sedikit dari jumlah tersebut.’”

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Berkata Imam Muslim dalam kitab Syarh Shahiih Muslim (VIII/191), “Ada-pun perkataan beliau, ‘Beliau melempar tujuh kali dengan batu-batu kecil, di setiap lemparan beliau bertakbir, setiap biji batu sebesar kelingking.’ Se-perti inilah yang ada dalam naskah, demikian pula apa yang dibawakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dari sebagian besar naskah, beliau berkata, ‘Yang benar sebesar kelingking,’ beliau juga berkata, ‘Demikian pula yang diriwayatkan oleh selain Imam Muslim dan sebagian perawi Imam Muslim.’ Inilah per-kataan Al-Qodhi.”

Aku berkata, “Benar, lafazh yang ada di naskah naskah selian lafadz Imam Mulim seperti itu. Bahkan (lafazh) lainnya tidaklah memiliki kedudukan dan perkataan ini tidak akan sempurna kecuali dengan lafazh seperti ini. Sabda beliau “sebesar kelingking,” sebagai catatan bagi Al-hashayaat (batu-batu kecil), maksudnya: “Beliau melempar tujuh kali dengan batu-batu ke-cil sebesar kelingking, di setiap lemparan beliau bertakbir.” Perkataan: “Se-besar kelingking” bersambung dengan al-hashayaat, dan disisihi di antara keduanya kalimat pernyataan “di setiap lemparan beliau bertakbir.” Inilah yang benar, wallahu ta’aala a’lam.

http://almanhaj.or.id/content/1234/slash/0
Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI