Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Senin, 05 September 2011

BAI’AT : ANTARA YANG SYAR’I DAN YANG BID'AH













Oleh
Syaikh Su’ud bin Mulawwih bin Sulthan Al Anizi


Dakwah merupakan salah satu bentuk ibadah. Dia harus berpijak pada syari’at Allah dan berjalan sesuai dengan sunnah Khulafa’ur Rasyidin.

وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا

"..dan untuk menjadi juru dakwah yang menyeru pada agama Allah dengan izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi". [Al-Ahzab : 46].

Asas-asas dakwah ini tidak pernah akan berubah, meski terjadi perubahan zaman, terjadi perjalanan waktu dan pergantian umat. Kisah-kisah para nabi, semenjak Nabi Nuh Alaihissallam hingga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam – meskipun berbeda waktu, tempat dan umatnya- tidak pernah berubah asas risalah serta titik tolak awal mereka dalam berdakwah ilallah Azza wa Jalla.

Jadi merubah manhaj (tata cara) dakwah lantaran menuruti apa yang dianggap baik menurut akal, merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan RasulNya serta tidak mengikuti jalan kaum muslimin. Allah berfirman.

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali". [An Nisa’:115]

Dan itu juga termasuk perbuatan lancang terhadap Allah dan RasulNya. Padahal Allah berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al Hujurat :1].

Membuat perubahan terhadap manhaj dakwah dengan dalih untuk menghadapi persoalan-persoalan kontemporer -menurut mereka- adalah dalih yang tidak benar. Justeru akan membuka peluang untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan syari’at dalam berdakwah menuju Allah Azza wa Jalla.

Diantara manhaj baru dan bid’ah dalam dakwah, ialah apa yang diada-adakan oleh beberapa jama’ah Islamiyah yang memiliki arah hizbiyah, serta tenggelam dalam belenggu fanatisme hizbiyah. Yaitu melakukan pembai’atan terhadap para pengikutnya dan mengharuskan mereka taat secara mutlak kepada Amir jama’ah serta kepada pedoman-pedoman dasar jama’ah.

Dalam hal bai’at bid’ah ini, saya mempunyai beberapa catatan. Saya jelaskan dalam catatan itu hakikat bai’at tersebut supaya tersingkap belangnya. Sehingga orang yang sudi membuang tabir fanafisme golongan dari kedua matanya akan dapat melihat keburukan bai’at itu.

Barangsiapa yang pandangan mata hatinya terbuka, tujuan serta puncak cita-citanya untuk memperoleh kebenaran, maka Allah Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dapat meraihnya dan Allah pun akan memperlihatkan kepadanya aib-aib (cela-cela) dari manhaj-manhaj yang menyalahi syari’at Allah. Dengan demikian, dia akan mampu memperbaiki kesalahan yang pernah diperbuat. Untuk mengawali pembahasan ini saya katakan:

PENGERTIAN BAI’AT
Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al Muqadimah,”Bai’at ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”

Masalah bai’at ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu, anggota-anggota setiap kabilah memberikan bai’atnya kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan.

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla berbai’at kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam keadaan suka maupun tidak. Juga berbaiat untuk melindungi beliau. Kisah ini sangat terkenal dan tercatat dalam Al Qur’an, Sunnah dan sejarah perjalanan hidup Nabi umat ini.
Ketika Rasulullah n wafat, bai’at untuk senantiasa mendengar dan taat diberikan kepada khalifah kaum muslimin berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Demikianlah semua khalifah, satu demi satu dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari umat.

Islam benar-benar telah menjaga masalah bai’at ini dengan pagar kokoh yang dapat membentengi pembatalan atau main-main dengan persoalan bai’at. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkan perbuatan membatalkan bai’at. Beliau bersabda.

مَنْ نَزَعَ يَدَهُ مِنْ طَاعَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُجَّةٌ

"Barangsiapa yang mencabut tangannya dari mentaati imam (tidak mau taat kepada imam-pent), maka dia tidak memiliki hujjah pada hari kiamat" [Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim].

Beliau juga bersabda.

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

"Barangsiapa yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada ikatan bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah".

Karena keinginan untuk mempersatukan umat dan menyatukan hati, maka Islam mengharamkan berbai’at, kecuali kepada satu orang saja; yaitu penguasa, baik berkuasa karena dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, atau karena menerima mandat dari penguasa sebelumnya, ataupun karena kudeta. Jika sudah berbai’at kepada satu penguasa, kemudian ada yang membangkang terhadap penguasa itu, maka Islam mewajibkan membela penguasa itu dan memerangi orang yang membangkang, siapapun adanya. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

"Barangsiapa berbai’at kepada seorang imam (penguasa), ia memberikan telapak tangannya dan buah hatinya, maka hendaklan ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, jika kemudian ada orang lain yang menentangnya, maka penggallah leher orang itu". [HR Imam Muslim].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

"Jika ada dua khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang dibai’at terakhir". [HR Muslim].

Permasalahan ini sudah diketahui oleh semua penuntut ilmu yang terbebas dari hawa nafsu. Sekalipun demikian, syetan telah berhasil menipu sebagian kelompok kaum muslimin yang aktif bekerja membela Islam dan berusaha menerapkan syari’at Allah di negeri kaum muslimin (menurut persepsi mereka). Akibatnya, mereka keliru dan terjerembab berkaitan dengan hukum bai’at ini. Mereka tundukkan nash-nash supaya sesuai dengan kemauan mereka. Syetan memasuki mereka melalui dua jalan, yaitu kebodohan dan hawa nafsu. Jika kedua hal ini berkumpul pada diri seseorang, maka dia akan terseret ke lembah kebinasaan.

Pemahaman tentang bai’at ini menjadi begitu rancu bagi kelompok-kelompok orang tersebut, yaitu bai’at yang (seharusnya, pent.) diberikan kepada penguasa yang berhak untuk ditaati dalam semua urusan, selama tidak memerintahkan kepada perbuatan maksiat, meskipun penguasa zhalim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

"Mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam masalah yang disenangi atau tidak, merupakan kewajiban seorang muslim, selama tidak disuruh melakukan perbuatan maksiat. Jika diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat". [Mutafaqun ‘alaih].

Itulah bai’at yang merupakan kewajiban agama, hanya boleh diberikan kepada satu orang imam (penguasa) saja.

Jadi orang-orang (dari kelompok-kelompok jama’ah) itu terjebak kerancuan dalam memahami antara bai’at dengan disiplin kerja sama, atau kesepakatan kerja, atau -dengan terpaksa kita istilahkan (secara bahasa, red.)- bai’at yang terjadi di kalangan beberapa individu manusia, kelompok, atau lembaga untuk kepentingan mengatur kegiatan dakwah, seperti: ceramah, pertemuan-pertemuan, amar ma’ruf nahi munkar, membangun masjid, sekolah atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Maka ketaatan terhadap pemimpin organisasi atau lembaga ini, sebatas pada hal-hal yang menjadi tujuan diadakannya kegiatan tersebut. Tidak ada keharusan taat kepada pemimpin organisasi atau lembaga ini diluar kegiatan yang telah disepakati.

Bai’at (secara bahasa) semacam ini pun tidak memberikan hak taat dan mendengar secara mutlak kepada pemimpin, seperti yang diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Dan juga tidak harus ditaati, ketika pemimpin itu berbuat fasiq atau zhalim.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (28/16) berkata,“Tidak ada seorang pun diantara mereka yang berhak meminta seseorang supaya berjanji untuk menyepakati semua keinginannya, mencintai orang yang dicintainya dan membenci orang yang dibencinya. Siapapun yang melakukan perbuatan ini, maka ia sama dengan Jengis Khan dan sebangsanya, yang menganggap orang yang menyepakati mereka sebagai teman, dan menganggap orang yang berbeda dengan mereka sebagai musuh.”

Untuk melaksanakan kegiatan semacam ini, tidaklah harus ada orang tertentu yang dibai’at, karena tujuannya adalah mengatur kegiatan dan membagi tugas. Orang yang bergabung ke dalam organisasi ini tidak harus bergabung terus-menerus, dan ia tidak berhak mendapat hukuman, jika ia keluar. Juga keluarnya seseorang dari organisasi atau lembaga ini, tidak boleh dianggap keluar dari jama’ah kaum muslimin, sebagaimana anggapan sebagian orang yang bergabung dalam suatu jama’ah yang mewajibkan pengikutnya berbai’at. Dan Sehingga keluarnya dianggap keluar dari jama’ah kaum muslimin.

Para tokoh jama’ah ini menempatkan hadits-hadits tentang bai’at terhadap penguasa kaum muslimin atas jama’ah mereka. Padahal yang benar, bai’at-bai’at bid’ah ini tidak membuktikan kebenaran keinginan mereka, dan hadits-hadits tersebut tidak layak dijadikan sebagai dalil yang membolehkan bagi disyari’atkannya bai’at-bai’at bid’ah ini. Karena itu, wajib bagi orang-orang ini untuk melihat kembali tentang fiqhus sam’i wat tha’ah [1] dan fiqhus siyasah asy syar’iyah [2] secara menyeluruh, sesuai ketentuan-ketentuan Kitab dan Sunnah bukan dengan dugaan akal. Seperti anggapan, maslahat dakwah menuntut adanya bai’at atau anggapan lainnya yang menggiring mereka kepada perbuatan membesar-besarkan urusan kepemimpinan yang kecil. Sampai mereka membawakan dasar-dasar dan pemikiran-pemikiran, yang karenanya mereka menyelisihi para ahlul ilmi (ulama) yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya.

Bai’at-bai’at yang dilakukan oleh pengikut kelompok-kelompok ini telah memecah-belah kaum muslimin dan menjadikan mereka terkotak-kotak.

كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

"Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka". [Ar Rum:32].

Sehingga standar pemberlakuan wala’ dan bara’ (kapan memberikan kasih-sayang dan kapan melakukan permusuhan) tergantung pada para pengikut jama’ah. Padahal pada asalnya, kaum muslimin adalah umat yang satu, senasib sepenanggungan dan saling tolong menolong satu sama lain.

Seorang muslim yang mengikuti jalan kaum mukminin (generasi pertama), dalam hal al wala’ wal bara’ , berangkat dari dua kaidah penting, yaitu:

KAIDAH PERTAMA

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

"Sesungguhnya wali (penolong) kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang". [Al Maidah:55-56].

KAIDAH KEDUA

لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripadaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung". [Mujadalah:22].

Inilah dua kaidah penting dalam al wala’ wal bara’ (loyal dan benci). Jika dua kaidah ini difahami oleh para hizbiyyun (fanatik kelompok), pasti mereka akan mengetahui betapa besar dosa dan kejahatan mereka kepada umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu dengan memecah-belah dan memisahkan hati-hati mereka, disebabkan oleh beragamnya loyalitas (kesetiaan dan kecintaan), banyaknya syi’ar (slogan) dan saling bertentangannya arah-arah pandang mereka. Hanya Allah yang dapat memenuhi janji.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (11/92) mengatakan, “Adapun cikal bakal hizb (golongan), yaitu kelompok orang yang yang bertahazzub (melakukan kegiatan yang bersifat golongan). Jika mereka berkumpul atas perintah Allah dan RasulNya tanpa mengadakan penambahan dan pengurangan, maka mereka itu orang beriman. Mereka berhak mendapatkan hak mereka dan wajib melaksanakan kewajiban mereka. Jika mereka menambah atau mengurangi syari’at, seperti bersikap fanatik terhadap orang yang bergabung dengan golongan mereka tanpa mempedulikan benar atau batilnya, serta berpaling dari siapa saja yang tidak bergabung dengan mereka, baik orang itu berada di atas kebenaran atau tidak, maka ini termasuk pemecah-belah umat yang dicerca oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sesungguhnya Allah dan RasulNya memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu-padu, serta melarang perpecahan dan perbedaan. Allah dan RasulNya memerintahkan agar saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa, serta melarang tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”

Jadi, ikatan ukhuwah merupakan tempat ikatan al wala’ wal bara’. Ketika ikatan al wala’ wal bara’ itu terjalin bukan karena ukhuwah, maka tali ukhuwah akan terlepas.

Bai’at-bai’at yang ada pada masa sekarang ini telah merubah pengertian al wala’ wal bara’. Sehingga al wala’ (loyalitas atau kecintaan) diberikan kepada siapa saja yang bergabung dalam bai’at terhadap jama’ah, dan al bara’ (kebencian) dilancarkan kepada orang yang tidak berbai’at kepada pemimpin jama’ah dan kepada disiplin ajaran jama’ah. Padahal bisa jadi, orang yang berbai’at kepadanya adalah ahli bid’ah yang sesat atau orang bodoh.

Dan sangat disayangkan, kebanyakan orang yang tertipu dalam bai’at ini adalah para pemuda yang memiliki semangat beragama; mereka suka melaksanakan amal kebaikan dan menegakkan syari’at Allah di tengah hamba-hamba Allah. Lalu sebagian orang yang memiliki pemikiran menyimpang memompakan semangat kepada para pemuda ini, sehingga mereka mau menerima semua yang diinstruksikan kepada mereka, tunduk kepadanya, bahkan membelanya.

Karena itu hendaklah para pemuda menyadari, betapa berbahaya bai’at-bai’at ini, yang (sebenarnya) terlahir dari pemikiran orang Khawarij. Hendaknya mereka menyadari, bahwa bai’at (seperti) itu akan memperbudak seorang muslim yang merdeka dan mengokohkan loyalitas serta keanggotaannya (kepada jama’ah itu). Bai’at itu akan membuatkan jalan baru yang bukan jalan Rasulullah n dalam berilmu, beramal, berdakwah dan berdzikir. Bai’at (seperti) itu juga akan menjadi penghalang bagi dirinya dari ilmu syar’i dan dari dakwah yang berdasarkan kejelasan ilmu, berupa nash-nash Al-Qur’an, Sunnah serta pemahaman para imam.

Dengan berbekal ilmu syar’i, akan menjadi penyelamat bagi para pemuda –setelah taufiq dari Allah- dari semua pemikiran luar yang masuk ke dalam manhaj Salafushshalih. Perhatikanlah kisah berikut yang ada kaitannya dengan pembahasan kita.

Abu Nu’aim meriwayatkan kisah ini dalam Al Hilyah (2/204) dan Imam Dzahabi dalam As Siyar (4/192) dengan sanadnya sampai kepada Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir, ia berkata,”Kami mendatangi Zaid bin Shuhan. Ketika itu dia berkata,‘Wahai hamba-hamba Allah, muliakanlah dan berbuat baiklah! Sesungguhnya jalan seorang hamba menuju Allah ada dua, yaitu: rasa takut dan penuh harapan’.”

Kemudian pada suatu hari aku (Mutharrif) mendatangi Zaid, sedangkan orang-orang (yang ada di hadapan Zaid, red.) telah menulis sebuah ketetapan serta merangkainya dalam ungkapan sebagai berikut: Sesungguhnya Allah adalah Rabb kami, Muhammad adalah Nabi kami, Al Qur’an adalah imam kami. Barangsiapa yang ikut bersama kami, maka kami akan perlakukan demikian... dan demikian … Dan barangsipa yang menyelisihi kami, maka tangan kami akan ada di atasnya dan kami akan berbuat demikian dan demikian …

Kemudian ketetapan itu diperlihatkan kepada orang-orang di sekelingnya satu demi satu. Mereka saling mengatakan,”Ya Fulan, apakah engkau sepakat?” Sampai akhirnya tiba giliran saya, mereka berkata,”Wahai anak muda, apakah engkau setuju?” Saya menjawab,”Tidak!”

Zaid berkata,”Jangan terburu-buru dengan anak muda ini. (Zaid langsung bertanya kepadaku) Bagaimana pendapatmu, wahai anak muda?” Saya katakan,“Sesungguhnya Allah telah mengikatkan janji pada saya dalam kitabNya, dan saya tidak akan mengada-adakan perjanjian baru selain janji yang dibebankan kepada saya.” Mereka saling memandang, tidak ada seorangpun yang menyetujuinya. Jumlah mereka sekitar 30 orang.

Perhatikanlah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kalian- pemuda yang terdidik dengan Al Qur’an dan Sunnah ini, bagaimana dia mengingkari satu masalah yang dianggap baik oleh satu kaum yang lebih tua darinya, dan mereka menyampaikan ungkapan serta syi’ar-syi’ar (slogan-slogan) yang dipakai untuk menipu orang yang kurang berilmu? Betapa banyak orang yang tertipu dengan syi’ar seperti ini?!

Bisa jadi pendahulu mereka adalah kaum Khawarij, ketika mereka mengatakan,‘Tidak ada hukum kecuali milik Allah’ –sebuah perkataan yang benar, tetapi dimaksudkan untuk perkara bathil-. Mereka adalah anjing-anjing ahli neraka (sebagaimana dalam hadits, pent.).

Saya kira belum pernah ada satu zaman pun yang menyaksikan syi’ar-syi’ar megah dengan polesan-polesan tipu daya bahasa indah, seperti halnya yang disaksikan pada zaman sekarang. Ini jelas merupakan pemberitaan tentang perpecahan mengenaskan yang dialami umat kini. Betapa banyak fitnah yang diakibatkan oleh syi’ar-syi’ar ini. Realita membuktikan kebenaran semua ini.
Diakhir makalah, saya bawakan dua jawaban dari dua pertanyaan yang berkait dengan tema ini.

SOAL PERTAMA (secara ringkas)
Tentang hukum menetapkan satu pemimpin yang wajib ditaati dalam urusan dakwah?

JAWAB
Fatwa no. 16098 tanggal 5/7/1414 H.

الحمد لله وحده و الصلاة و السلام على من لا نبي بعده ...

Tidak boleh berbai’at, kecuali kepada penguasa kaum muslimin. Tidak boleh pula berbai’at kepada syaikh tharikat atau yang lainnya. Karena semua ini tidak datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kewajiban setiap muslim ialah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla berdasarkan syari’atNya tanpa terikat pada orang tertentu. Juga karena hal ini termasuk perbuatan orang Nasrani terhadap para pendeta mereka dan (demikian) itu tidak dikenal dalam Islam.

(Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta. Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil Ketua: Abdurrazaq Al Afifi; Anggota: Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Abdullah bin Abdurrahman Al Gadayyan, Shalih bin Fauzan Al Fauzan dan Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh).

SOAL KEDUA
Apakah dalil yang mendasari pembentukan jama’ah khusus? Kemudian, jika berdiri suatu jama’ah yang memusatkan perhatiannya pada pembatasan tertentu di tengah umat, apakah bisa dikatakan sebagai jama’ah khusus? Dan apakah kita boleh mengatakan, bahwa jama’ah-jama’ah ini saling melengkapi kegiatan satu sama lain?

JAWAB
Yang pertama, merupakan prinsip bagi Ahlu Sunnah, bahwa dalam sebuah negara Islam tidak boleh berdiri satu jama’ah rahasia (gerakan bawah tanah, pent.) yang mempunyai target-target rahasia tertentu. Sebab hal ini akan merongrong kewibawaan imam (penguasa) yang sah.

Dari sisi lainnya, Ahlu Sunnah wal Jama’ah mengakui bolehnya berjama’ah dalam arti berkumpul. Yaitu berkumpul untuk berdakwah, berbuat baik, beramar ma’ruf nahi munkar dan memberikan petunjuk serta kebaikan.
Dalam berkumpul menurut cara yang disyari’atkan itu, bentuknya berupa kegiatan saling membantu dan tidak ada ikatan ketaatan. Di dalamnya ada keharmonisan, bukan instruksi; perintah maupun larangan. Di dalamnya ada nizham (tata tertib), bukan tanzhim (disiplin terstruktur). Inilah prinsip-prinsip dakwah setiap perkumpulan Ahlu Sunnah wal Jama’ah pada zaman dahulu maupun zaman sekarang.

Syaikhul Islam telah berbicara mengenai jama’ah dalam banyak tempat di kitab-kitabnya. Ternyata yang beliau maksudkan ialah berkumpul menurut cara yang disyari’atkan. Yaitu apabila pelaku-pelakunya saling membantu. Inilah yang telah dinyatakan dalam nash. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bersama sahabatnya ke Yaman, beliau bersabda kepada mereka berdua:“Saling bantu- membantulah kalian dan jangan saling berselisih.”

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas merupakan landasan bagi setiap orang yang berkumpul untuk melaksanakan dakwah. Yakni hendaknya saling membantu di antara mereka. Adapun ketaatan dalam arti, ‘pengikut mentaati atasannya laksana rakyat taat pada amir (pimpinan)’, maka dalam negara Islam hal ini tidak diperbolehkan. Sebab ia merupakan ketaatan khusus yang tidak berdasarkan nash. Nash hanya menjelaskan masalah keharusan taat dalam safar (bepergian), karena memang dibutuhkan untuk itu. Sedangkan dalam keadaan tidak bepergian, maka jika terdapat penguasa yang sah secara syar’i dan bai’at pun berlangsung padanya, maka tidak diperbolehkan ada ketaatan kepada lain pemimpin, selain kepadanya. Tetapi di sana bisa terjadi perkumpulan yang sifatnya saling membantu.

Begitu pula dari sisi tanzhim (disiplin terstruktur). Sesungguhnya bebarapa jama’ah berkumpul atas dasar tanzhim ini. Dan sebagaimana dapat dilihat, mereka berhujjah dalam karya-karyanya dengan perkataan-perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama-ulama lain. Mereka sebenarnya tidak faham. Sebab Syaikhul Islam rahimahullah hanya menyebut-nyebut tentang nizham (tata tertib) serta yang dimaksudkan dengan nizham tersebut. Beliau tidak pernah menyebutkan soal tanzhim. Sebab tanzhim ini merupakan hal baru.

Tanzhim dalam arti membentuk seorang pemimpin yang ditaati bagi suatu golongan, sedangkan orang-orang yang ada di bawahnya mendapat segala instruksi, seperti halnya terjadi pada seorang imam. Maka ini jelas tidak boleh. Dan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak menunjukkan hal yang demikian. Begitu pula perkataan para ulama lainnya.

Dengan demikian, sebagai penegasan dalam masalah ini, maka dibolehkan membentuk jama’ah dalam arti berkumpul untuk melakukan kebaikan dan memberi petunjuk. Kita dapat berkumpul dengan dua, tiga, empat atau sepuluh orang untuk saling menasihati, menjalin persaudaraan, membaca bersama, memberikan nasihat, pergi bersama-sama mengunjungi seseorang, berdakwah dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tetapi yang ada di antara kita adalah saling membantu, bukan terjerat dengan ikatan taat. Yang ada di antara kita adalah tata tertib kerja dan bukan tanzhim.

Inilah prinsip-prinsip dakwah yang sukses. Sedangkan prinsip-prinsip dakwah selainnya adalah dakwah-dakwah yang keluar dari sebutan Islam.” [3]

(Diterjemahkan secara bebas oleh Ahmad Nusadi, dari Majalah Al Ashalah, edisi 41/th. VIII/Shafar 1424 H hal 33-42)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Yaitu bagaimana cara memahami istilah “wajib mendengar dan taat”
[2]. Yaitu bagaimana caranya memahami politik syar’i
[3]. Dinukil oleh penulis dari Syarh Masa’il Al Jahiliyah, ceramah Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh, kaset nomor 5, side B, tentang syarah (penjelasan) yang ke tujuhbelas dan ke delapanbelas.]

SEKILAS HIBAH, WASIAT DAN WARISAN





Oleh
Abu Abdillah Arief Budiman



HIBAH
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya [1] : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya [2] tanpa imbalan apapun [3]”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”.

Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas)”.[4]

Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup hal-hal berikut ini:

1. Al ibra`: ( الإِبْرَاء) yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang).
2. Ash shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat.
3. Al hadiyah ( الهَدِيَّة) : yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik) [5].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara shadaqah dan hadiyah, dan mana yang lebih utama dari keduanya, beliau rahimahullah menjawab: “Alhamdulillah, ash shadaqah adalah segala sesuatu yang diberikan untuk mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada maksud (dari pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta imbalan (dari orang yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut) diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka pemberian ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai (manifestasi dari) rasa cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah, dan berterimakasih atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang yang meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah memakan kotoran-kotoran [6] (zakat atau shadaqah) orang lain yang mereka bersuci dengannya dari dosa-dosa mereka, yaitu shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memakan shadaqah karena alasan ini ataupun karena alasan-alasan lainnya [7]. Maka (dengan demikian) telah jelaslah perkaranya, bahwa shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki makna tersendiri, sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti memberi hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya sebagai tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat, yang dengannya terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau juga memberi hadiah kepada saudara seiman, maka hal-hal seperti ini bisa membuat hadiyah lebih utama (dari shadaqah)”[8].

Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata: “Kesimpulannya, hibah, shadaqah, hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna yang saling berdekatan. Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan (seseorang kepada orang lain) pada waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun. Dan penyebutan ‘athiyah (pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula hibah. Sedangkan shadaqah dan hadiyah berbeda, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakan hadiyah dan tidak pernah memakan shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata ketika Barirah diberi daging shadaqah:

هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ.

"Daging itu baginya adalah shadaqah dan bagi kami hadiyah".[9]

Maka zhahirnya, orang yang memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan dengan berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah. Sedangkan orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk (melakukan) pendekatan kepadanya, dan dalam rangka mencintainya, maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَهَادُوْا تَحَابُّوْا.

"Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian saling mencintai".[10]

Adapun shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas kemampuan kami untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271, yang artinya : Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu”.[11]

WASIAT
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.[12]

Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih dahulu.[13]

WARISAN
Warisan berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at tarikah (التَّرِكَة). Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia [14].

Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:[15]

1. Hak yang pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at tarikah tersebut untuk biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai dikuburkan).

2. Hak yang ke dua, pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang).

3. Hak yang ke tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang-utangnya.

4. Hak yang ke empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).

Demikian penjelasan singkat tentang hibah, wasiat dan warisan. Adapun permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, insya Allah akan diangkat pada edisi yang akan datang.

Wallahu a’lam, wa akhiru da’waana anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Fiqh As Sunnah (3/388).
[2]. Karena jika penyerahan kepemilikan itu terjadi setelah dia meninggal, maka hal itu disebut wasiat.
[3]. Karena jika dengan imbalan, maka hal itu disebut jual beli.
[4]. Al Mulakhash Al Fiqhi (2/163).
[5]. Fiqh As Sunnah (3/388).
[6]. Maksudnya adalah kotoran dalam arti maknawi, bukan hissi.
[7]. Sebagaimana hadits Al Fadhl bin Abbas z dalam Shahih Muslim (2/754 no.1072) dan lain-lainnya:
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ, وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ.
Sesungguhnya shadaqah-shadaqah ini adalah kotoran-kotoran manusia, tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad.
[8]. Majmu’ Al Fatawa (16/151).
[9]. HR Bukhari (2/543), Muslim (2/755), dan lain-lain.
[10]. HR Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (6/169), dan lain-lain. Dan Al Albani menghasankan hadits ini. Lihat Shahih Al Jami’, no.3004.
[11]. Al Mughni (8/239-240).
[12]. Lihat Al Mughni (8/389), Fiqh As Sunnah (3/414), Al Fiqh Al Manhaji (2/243), dan Al Mulakhash Al Fiqhi (2/172).
[13]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/414).
[14]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425).
[15]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425-426).
[16]. Ibnu Hazm dan Asy Syafi’i mendahulukan pelunasan utang-utang kepada Allah, seperti zakat dan kaffarat-kaffarat di atas utang-utang kepada sesama manusia. Sedangkan ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa utang-utang mayit kepada Allah gugur dengan sebab kematiannya, maka tidak wajib bagi ahli warisnya untuk melunasi utang-utangnya, kecuali jika mereka mau menyumbangkannya, atau jika si mayit berwasiat agar utang-utangnya tersebut dilunasi. Jika si mayit berwasiat dengan wasiat tersebut, maka hukum wasiatnya ini sama dengan wasiat yang ditujukan kepada orang asing (bukan ahli waris). Dengan demikian si ahli waris atau orang yang diwasiati hanya boleh mengeluarkan maksimal sepertiga at tarikah setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah dan setelah pelunasan utang-utang (si mayit) kepada sesama manusia. Hal ini dilakukan jika si mayit memiliki ahli waris. Jika dia tidak memiliki ahli waris, maka boleh dikeluarkan dari seluruh tarikahnya itu. Sedangkan ulama Hanabilah, mereka menyama-ratakan antara utang-utang kepada Allah dan kepada manusia. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425-426)

http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0

Haruskah Membalas Budi?


(Oleh: Ustadz Riyal Yuliar, Lc)





Pendahuluan

‘Abdullâh bin ‘Abbâs radhiyallâhu'anhu bercerita,

“Suatu ketika, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masuk ke kamar kecil (untuk membuang hajat). Maka aku menyediakan air bersih untuk Beliau pakai berwudhu. Ketika Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam selesai dari hajatnya, Beliau bertanya, “Siapakah yang telah meletakkan (air wudhu) ini?” Kemudian Beliau diberitahu, bahwa akulah yang telah melakukannya. Maka Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (membalas kebaikanku dengan) berdoa: “Ya Allâh… berikanlah dia (Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu'anhu) pemahaman dalam agama”.[1]

Dalam kisah yang lain, suatu saat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengunjungi sebagian Sahabat dan menyantap hidangan makanan yang disajikan kepadanya di rumah mereka. Ketika Beliau telah selesai dan hendak berpamitan, bergegas tuan rumah berkata, “Rasûlullâh, tolong doakanlah bagi kami kebaikan...”. Maka Rasûlullâh membaca, “Ya Allâh… berkahilah bagi mereka semua rizki yang telah Engkau limpahkan kepada mereka. Ampuni dan sayangilah mereka”.[2]

Melalui dua kisah di atas, dapat dipetik sebuah pelajaran berharga, bahwa di antara tuntunan mulia Islam dalam bermu'amalah dengan sesama adalah berbudi luhur dan tidak lupa membalas budi baik orang lain dengan kebaikan pula.

Silahkan simak pembahasan tersebut dalam tulisan yang sederhana ini. Semoga bermanfaat.

Mari Berbudi Luhur

Allâh Ta'ala telah menjadikan Islam sebagai risalah yang sempurna dalam setiap tuntunannya. Syariat Islam mudah dan semua ajarannya indah. Islam mengajak setiap pemeluknya untuk berakhlak mulia terhadap sesama. Berbudi pekerti yang luhur adalah cerminan seorang Muslim di setiap ucapan dan sikap perbuatannya. Demikian itu, agar segenap hamba Allâh Ta'ala yang beriman dapat menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan baik dan penuh kedamaian.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Yang paling dicintai Rasulullah


Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian, dan yang paling dekat majelisnya denganku di hari Kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya di antara kalian.
[3]


Dalam kesempatan lain, Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

"Aku menjamin sebuah rumah di bagian tepi surga bagi seorang
yang meninggalkan debat kusir sekalipun dirinya adalah pihak yang benar.
Aku menjamin sebuah rumah di bagian tengah surga bagi
yang meninggalkan dusta sekalipun dia tengah bercanda.
Dan aku menjamin sebuah rumah di bagian paling atas surga
bagi seorang yang mulia akhlaknya."
[4]

Membalas Kebaikan adalah Kewajiban

Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. al-Baqarah/2-237

…dan janganlah kalian melupakan keutamaan (siapapun) di antara kalian …
(Qs. al-Baqarah/ 2:237)

Mengenai penafsiran ayat di atas, adh-Dhahhâk rahimahullâh berkata, “Keutamaan yang dimaksud adalah budi baik”. Sa`id rahimahullâh berkata, “Jangan kalian melupakan kebaikan”. Demikian pula, Qatâdah, Abu Wâ’il, as-Suddi dan lainnya menjelaskan bahwa pengertiannya adalah janganlah kalian meremehkan (melupakan) kebaikan di antara kalian…[5]

Setiap manusia adalah makhluk sosial. Dia tidak bisa lepas dari berinteraksi dengan sesama. Tidak jarang, dia harus membutuhkan orang lain dan demikian pula sebaliknya. Atas dasar ini, kaum Muslimin diperintahkan untuk saling menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap yang memerlukan.

Rambu-rambu dalam pergaulan telah dipaparkan oleh Rasûlullâh dalam hadits berikut:

mendambakan untuk dijauhkan dari api neraka

Barang siapa mendambakan untuk
dijauhkan dari (adzab) api neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
hendaklah (ketika) kematiannya datang menjemput,
ia (dalam keadaan) beriman kepada Allâh dan hari Akhir.
Dan hendaklah memperlakukan manusia dengan cara
yang ia sukai untuk diperlakukan dengannya.
[6]

Subhânallâh… Ini adalah bagian dari tuntunan indah agama Islam dalam bermu'amalah dengan manusia.

Secara garis besar, Islam mengajarkan kita untuk dapat berlaku baik terhadap manusia. Allâh Ta'ala mencintai bahkan memerintahkan kebaikan dalam setiap perkara. Allâh Ta'ala berfirman:

Qs an-Nahl/14-90

Sesungguhnya Allâh memerintahkan perbuatan adil dan kebaikan
(Qs an-Nahl/14:90)

Maka janganlah seseorang di antara kita mudah melupakan budi baik orang lain. Sungguh, seseorang yang melupakan budi baik orang lain adalah seseorang yang tidak pandai berterima kasih. Padahal berterima kasih kepada manusia atas kebaikan mereka adalah bagian dari makna bersyukur kepada Allâh Ta'ala. Sebagaimana yang disabdakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

bersyukur

Tidaklah seseorang bersyukur kepada Allâh
seseorang yang
tidak berterima kasih kepada manusia (atas kebaikan mereka, pen)
[7]

Dalam lafazh yang lain,

bersyukur

Barang siapa tidak berterimakasih kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allâh [8]

Ibnu al-Atsîr rahimahullâh berkata,

"Maknanya adalah:

  1. Allâh Ta'ala tidak menerima syukur seorang hamba kepada-Nya atas nikmat yang telah dilimpahkan, tatkala dia tidak pandai berterima kasih atas kebaikan manusia kepadanya. Yang demikian karena (kuatnya) hubungan kedua hal tersebut satu dengan yang lain.
  2. Makna lain dari hadits di atas adalah barangsiapa memiliki kebiasaan tabiat mengingkari budi baik manusia dan tidak bersyukur (berterima kasih) atas kebaikan mereka, maka niscaya dia memiliki tabiat kebiasaan mengkufuri nikmat Allâh Ta'ala dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.
  3. Ada pula makna lain yang terkandung dalam hadits di atas, bahwa barang siapa tidak mensyukuri (kebaikan) manusia, maka dia layaknya orang yang tidak mensyukuri Allâh Ta'ala. Semua makna ini terpetik melalui penyebutan nama Allâh Ta'ala Yang mulia (dalam hadits di atas. pen)”.[9]

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagai suri tauladan yang mulia telah mencontohkan bagaimana menyikapi orang yang telah menyodorkan satu kebaikan kepada beliau. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallâhu'anha pernah berkata “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah. Dan Beliau membalas hadiah itu dengan kebaikan”. [10]

...

Bagaimanakah Cara Membalas Budi? Apakah Kita Bisa Membalas Budi dan Jasa Baik Orang Tua? Silahkan simak pada rubrik Baituna, Majalah As-Sunnah Edisi 02/Thn. XIV/Jumadil Awwal 1431H/Mei 2010M

[1] HR. al-Bukhâri no.134 dan Muslim no. 6318
[2] HR. Muslim no.5296
[3] HR. al-Bukhâri no.3759
[4] Shahîh Sunan Abu Dâwud no. 4800 dengan sanad hasan
[5] Lihat Tafsir at-Thabari atsar no. 5379 dan 5380, Tafsir Ibnu Katsîr 1/648-649
[6] HR. Muslim no. 4753
[7] Shahîh Sunan Abi Dâwud no. 4811
[8] Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 1954
[9] An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts hlm . 488
[10] HR. al-Bukhâri no: 2585
Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI