Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Sabtu, 28 Agustus 2010

Sifat Puasa Nabi (bag 21) - Sholat Tarawih









1. Pensyari'atannya

Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orangpun ikut shalat bersamanya, dan merekapun memperbincangkan shalat tersebut, merekapun ikut shalat bersamanya, mereka memperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam keluar dan shalat, ketika malam ke empat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat subuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda, 'Amma ba'du, sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam wafat dalam keadaan tidak pernal lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah.1

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits di atas) maka berarti syari'at telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan 'illat telah hilang. Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.

Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyid Umar bin Khaththab Radhiyyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan demikian oleh Abdurrahman bin Abidin Al Qariy2, beliau berkata, Aku keluar bersama Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok3 ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata, 'Aku berpendapat kalai mereka dikupulkan dalam astu imam, niscaya akan lebih baik'. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersama imam mereka, Umarpun berkata,'Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam'.4

2. Jumlah Raka'atnya

Manusia berbeda pendapat tentang batasan rakat'at, pendapat yang paling mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah shalat malam di bular Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at.5

Yang telah mencocoki 'Aisyah Radhiyallahu 'anha adalah Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, beliau menyebutkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir.6

Ketika Umar bin Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah sebagaimana yang diriwayatian oleh Malik (1/115) dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata, Umar bin Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at. Ia berkata, Ketika itu imam membaca dua ratus aya hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar.7

Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata, Dua puluh raka'at.

Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad binm Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana yang disebutkan dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah (hal. 185), Al Kifayah (hal. 424-435). Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

Abur Razaq meriwayatkan dalam Al Mushannaf (7730) dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, bahwa Umar mengumpulkan manusia di dalam bulan Ramadhan dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika fajar.

Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih, seluruh rawinya tsiqah.

Sebagaimana orang yang berhujjan dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf adalah mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh rakaat yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.

Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat).8

Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari 'illat (cacat), akan tetai kenyataannya tidak demikian, kita jelaskan sebagai berikut:

1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum.9
3. Ad Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun.10
4. Ad Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini.11
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannan Abdur Razaq, dalam Mushannaf.12

Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad Dabari dalam meriwayatian haditsnya diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan hadits inipun termasuk tashifnya Ad Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu raka'at) dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif.13

Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al Muwatha' (1/115) dengan sanad shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saibn bin Yazid.14

----------------

1. HR. Bukhari (3/220) dan Muslim (761).

2. Dengan tanwin ('abdin) dan tasydid (al Qariyy) -tanpa dimudhafkan- Lih: Al Bab fi Tahdzib (3/6-7) karya Ibnu Atsir.

3. Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa'ibil... dan seterusnya.

4. Dikeluarkan Bukhari (4/218) dan tambahannya dalam riwayat Imam Malik (1/114) dan Abdur Razaq (7733).

5. Dikeluarkan oleh Bukhari (3/16) dan Muslim (736).

6. Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (920), Thabari dalam As Shaghir hal 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) hal 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.

7. Furu' Fajar : awalnya, permulaan.

8. Tadribur Rawi (1/262).

9. Al Mushannaf (4/153).

10. Mizanul I'tidal (1/181).

11. Mizanul I'tidal (1/181).

12. Mizanul I'tidal (1/181).

13. Lih: Tahdzibut Tahdzib (6310) dan Mizanul I'tidal (1/181)

14. Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dan syubhat ini, maka lihatlah:

1. Al Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
2. Al Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, Cet. Dar 'Ammar.

Sifat Puasa Nabi (bag 20) - I'tikaf






1. Hikmahnya

Al Allamah Ibnul Qayyim berkata,
Manakala hadir dalam keadaann sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta'ala tergantung pada berkumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta'ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta'ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan menceraiberikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalagi dan menghentikannya.

Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyari'atkan bagi mereka puasa yang bsia menyebabkan hilangnya kelebihan makanan dan minuman pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta'ala, dan disyari'atkannya (i'tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.

Dan disyari'atkannya i'tikaf bagi merek yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta'ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuannya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i'tikaf yang agung itu.1

2. Makna I'tikaf

Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu'takif dan 'akif.2

3. Disyari'atkannya I'tikaf

Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal.3 Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernazar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri'tikaf pada malam hari di Masjidil Haram. Beliau bersabda, Tunaikanlah nazarmu. Maka ia (Umar Radhiyallahu 'anhu) pun beri'tikaf pada malam harinya.4

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sering beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana baliau diwafatkan, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari.5

Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam seringkali beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allan Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau.6

4. Syarat-Syarat I'tikaf

a. Tidak disyari'atkan kecuali Masjid, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu7, sedangkan kamu beri'tikaf di Masjid. (Al Baqarah : 187)

b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu) sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, Tidak ada i'tikaf kecuali pada tiga masjid.8

Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) 'Aisyah Radhiyallahu 'anha yang telah disebutkan.9

5. Perkara-perkara yang Boleh Dilakukan:

a. Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). 'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang i'tikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau ada pintu][dan waktu itu aku sedang haidh] dan Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang i'tikaf.10

b. Orang yang sedang i'tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan.11

c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang i'tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian dibelakan masjid sebagai tempat dia beri'tikaf, karena 'Aisyah Radhiyallahu 'anhu (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri'tikaf12 dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.13

d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri'tikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam jika i'tikaf dihamparkan kasur dan diletakkan ranjang untuknya dibelakang tiang At Taubah.14

6. I'tikafnya Wanita dan Kunjungannya ke Masjid

a. Diperbolehkan bagi seorang istri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i'tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar istri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu 'anha berkata:

Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam (tatkala beliau sedang) i'tikaf (pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan) aku datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu disisinya ada beberapa istri beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usama bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam maka keduanyapun bergegas. Kemudian Nabi pun bersabda, Tenanglah15, ini adalah Shafiyyah bintu Huyai. Kemudian keduanya berkata, Subhanallah ya Rasulullah. Beliaupun bersabda, Sesungguhnya syaitan itu menjalar anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarang kejelekan di hati kalian -atau beliau berkata sesuatu-.16

b. Seorang wanita boleh i'tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyyallahu 'anha, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliaum kemudian istri-istri beliau i'tikaf setelah itu17

Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah, Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita beri'tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) ada izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah: Menolah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.

------------------

1. Zaadul Ma'ad (2/86-87).

2. Al Mishbahul Munir (3/424) oleh Al Fayumi dan Lisanul Arab (9/252) oleh Ibnu Mandhur.

3. Riwayat Bukhari (4/226) dan Muslim (1173).

4. Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656).

5. Riwayat Bukhari (4/245).

6. Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari 'Aisyah.

7. yakni 'janganlah kamu menjima'i mereka', pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lih: Zaadul Masir (1/193) oleh Ibnul Jauzi.

8. Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat hasil takhrijnya serta pembicaraan mengenai hal ini pada kitab yang berjudul Al Inshaf fi Ahkamil I'tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid.

9. Dikeluarkan oleh Abdur Razak di dalam Al Mushannaf (8037) dan riwayat (8033) dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhum.

10. HR. Bukhari (1/342) dan Muslim (297) dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no. 167 oleh Syaikh Al Albani dan Jami'ul Ushul (1/3451) oleh Ibnu Ashir.

11. Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih.

12. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari (4/226).

13. Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173).

14. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) dan Al Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bushairi dari dua jalan. Dan sanadnya hasan.

15. janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.

16. Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu Dawud (7/142-143 di dalam Aunul Ma'bud).

17. Telah lewat Takhrijnya.

Sifat Puasa Nabi (bag 17) - Kafarat








1. Kafarat Bagi Laki-Laki yang Menjama'i Istrinya

Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i istrinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus meng-qadha puasanya dan membayar kafarat, yaitu membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.

Ada yang mengatakan kalimat kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih, karena perawinya lebih banyak jumlah dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.

2. Gugurnya Kafarat

Barangsiapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman:

Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya. (Al Baqarah : 286)

Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah kurma untuk diberikan keluarganya.

3. Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki

Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, kaena ketika dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja, Wallahu a'lam.

Sifat Puasa Nabi (bag 19) - Malam Lailatul Qadar





Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Qur-an Al Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkat ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menacapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berlomba-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur-aniyah dan hadits-hadits Nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.

1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar

Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman:

Sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur'an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Rabb mereka (untuk membawa) segala urusan, Selamatlah malam itu hingga terbit fajar. (Al Qadar : 1-5)

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yagn penuh hikmah:

Sesungguhnya Kami menurunkan pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Ad Dukhan : 3 - 6)

2. Waktunya

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan.1

Imam Syafi'i berkata, Menurut pemahamanku, wallahu a'lam, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau, 'Apakah kami mencarinya di malam ini?' Beliau menjawab, 'Carilah di malam tersebut.'2

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda:

Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.3

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka janganlah sampai terluput tujuh hari sisanya.4

Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh nari terakhir.5

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdabat, beliau bersabda:

Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya, mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29, 27, 25 (dan dalam riwayat lain, tujuh, sembilan dan lima).6

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa amalan Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan dimalam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits keuda adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum. Dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.

Kesimpulannya, jika seorang muslim mencari malam Lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a'lam.

3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.7

Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa dia bertanya, Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan? Beliau menjawab

Ucapkanlah, Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan Mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.8

Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu utu ktu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:

Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya9 menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.10

Juga dari 'Aisyah, dia berkata:

Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.11

4. Tanda-Tandanya

Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari 'Ubai Radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.12

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau bersabda:

Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah.13

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.14

---------------------

1. Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Iraqi telah mengaran suatu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bi Dzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini.

2. Sebagaimana dinukil Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).

3. Bukhari (4/225) dan Muslim (1169).

4. HR. Bukhari (4/221) dan Muslim (1165).

5. Lihat maraji' tadi.

6. HR. Bukhari (4/232).

7. HR. Bukhari (4/217) dan Muslim (759).

8. HR. Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850) dari 'Aisyah, sanadnya shahih. Lih: syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan (55-57) karya Ibnu Rajab Al Hambali.

9. Menjauhi wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar.

10. HR. Bukhari (4/233) dan Muslim (1174).

11. Muslim (1174).

12. Muslim (762)

13. Muslim (1170)
Perkataan, syiqi jafnah, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadhi 'Iyadh berkata, Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.

14. Thayalisi (394), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan.

Sifat Puasa Nabi (bag 18) - Fidyah





1. Bagi Siapa Fidyah Itu?

Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah:

Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin. (Al Baqarah : 184)

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaiman akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Rhadiyallahu anhuma

Engkau telah mengetahui wahai saudarakau seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansuhk berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya memberi makan setiap hari seorang miskin.1

Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan):

Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya bebuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha

Kemudian dimansukh oleh ayat:

Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al Baqarah : 185).

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin.2

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, sehingga mereka menyangka Hibarul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh mereka menyangka adanya saling pertentangan.

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah : 185) Mansukh

Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafus shalih Ridhwanullahu 'alaihim menggunakan kata naskh untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlaj kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istitsna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar.3

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh maslah tersebut, sehingga akan hilanglau musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum

Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup oran yang biasa berpuasa atau tidak berpuasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat:

Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al Baqarah : 185).

Mungkin adanya masalah itu karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa ruskhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnua, dalil untuk memahami hal ini tersepat pada hadits itu sendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhshah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan?

JIka engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al Qur-an adapun hukum yang kedua dengan dalil dari sunnah dari tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh, Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya.

Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu'anhu, Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat:

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa... (Al Baqarah : 183)

Kemudian Allah menurunkan ayat:

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Qur-an... (Al Baqarah : 185).

Allah menetapkan puasa bagi orang mukmin yang sehat, dan memberi rukhshah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya...4

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya yaitu hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya 'tidak mansukh' ditafsirkan oleh perkataannya: itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan. Dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikian diisyaratkan oleh Al Qurtubi dalam tafsirnya.5

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad?

Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim bahwa hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadits marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al Qur-an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global. Jawabannya sebagai berikut:

a. Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur-an, bahwa turunnya begini, maka ia adalah hadits yang musnad.6

b. Ibnu Abbas menetapkan hukum inbi bagi wanita yang menyusui dan hamil. Dari mana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragunak lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.

Dari Malik bin Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika ia mengkhawatirkan anaknya. Beliau berkata, Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.7

Daruquthni meriwayatkan (1/270) dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata, Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak meng-qadha. Dari jalan lain beliau meriwayatkan bahwa seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab, Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu meng-qadha. sanadnya jayyid Dan dari jalan yang ketiga, yaitu anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.8

6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Kewajiban Puasanya

Keterangan ini menjelaskan makna, Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi 'kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya', dia bayar fidyah tidak meng-qadha.

7. Musafir Gugur Kewajiban Puasanya dan Wajinb Meng-qadha

Barangsiapa menyangka gugurnya kewajiban puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena Al Qur-an menjelaskan makna gugurnya kewajiban puasa dari musafir:

Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah : 184)

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya kewajiban puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya:

Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al Baqarah : 184).

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah kusus untuk mereka.

--------------------------------

1. HR Bukhari (8/135).

2. Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Dawud (2318) sanadnya shahih.

3. Lihat I'lamul Muwaqi'in (1/35) karya Ibnul Qayyim dan Al Muwaqafat (3/118) karya Imam Syatibi.

4. HR. Abu Dawud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam Sunannya (4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih.

5. Al Jami' li Ahkamil Qur-an (2/288).

6. Lih: Tadribur Rawi (1/192-193) karya Suyuthi, 'Ulumul Hadits (24) karya Ibnu Shalah.

7. Al Baihaqi dalam As Sunnan (4/230) dari jalan Imam Syafi'i, sanadnya shahih.

8. Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (3/21).

Sifat Puasa Nabi (bag 16) - Qadha





1. Qadha Tidak Wajib Segera Dilakukan

Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahanman agama kepada kita- bahwasanya meng-qadha puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajiban dengan jangka waku yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu'anha:

Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tidak bisa meng-qadhanya kecuali di bulan Sya'ban.1

Berkata Al Hafidz di dalam Al Fath (4/191): Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak.

Sudah dikatahui dengan jelas bahwa bersegera dalam meng-qadha lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak mendunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al Qur-an:

Bersegeralah kalian utuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian. (Ali Imran : 133)

Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (Al Mu'minun : 61)

2. Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Meng-qadha Karena Ingin Menyamakan Sifat Penunaiannya

Berdasarkan firman Allah pada surah Al Baqarah 185:

Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.

Dan Ibnu Abbas berkata:

Tidak mengapa dipisah-pisahkan (tidak berturut-turut).2

Abu Hurairah berkata, Diseling-selingi kalau mau.3

Adapun yang diriwayatkan Al Baihaqi (4/259), Daruquthni (2/191-192) dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al 'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu:

Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya di qadha secara berturut-turut tidak boleh memisahnya.

ini adalah riwayat yang dhaif. Daruquthni berkata: Abdurrahman bin Ibrahin dhaif.

Al Baihaqi berkata, Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) didhaifkan oleh Ma'in, Nasa-i dan Daruquthni.

Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir (2/206) dari Ibnu Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.

Syaikh kami Al Albani rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dlam Irwa-ul Ghalil (943)

Adapun yang terdapat dalam Silsilah hadits dhaif (2/137) yang terkesan bahwa beliau menghasankannya, dia ruju' dari pendapat ini.

Peringatan: Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang menjelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam meng-qadha, namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Masail-nya (95), Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha Ramadhan, beliau menjawab kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut. Wallahu'alam.

Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.

3. Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apalagi Orang Lain Tidak Bisa Meng-qadhanya

Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh diuasakan oleh ahaknya selama dia hidup, tetapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya utuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.

namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nazar puasa, harus dipuasakan oleh walinya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,

Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nazar hendaknyanya diganti oleh walinya.4

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, Datang seorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.5

Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).

Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nazar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masail Imam Ahmad riwayat Abu Dawud (96) dia berkata, Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata bahwa tidak berpuasa mayit kecuali puasa nazar. Abu Dawud berkata, (Sedangkan) Puasa Ramadhan? Beliau (Imam Ahmad) menjawab, Memberi makan.

Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. 'Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Amarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramdhan kemudian dia berkata kepada 'Aisyah, Apakah aku harus meng-qadha puasanya? 'Aisyah menjawab, Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim.

Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilal Atsar (3/142), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (7/4), ini lafadz dalam Al Muhalla, dengan sanad shahih.

Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhum, beliau berkata, Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha, kalau punya hutang nazar diqadha oleh walinya. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al Muhallah (7/7), beliau menshahihkan sanadnya.

Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma adalah periwayat hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nazar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nazar. Baliau bersabda, Qadha-lah untuknya. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.

Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibndul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud (3/279-282). (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nazar dibolehkan diqadha oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.

Al Hasan berkata, Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan.6 Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

-------------------

1. HR. Bukhari (4/166), Muslim (1146)
Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minah (422) setelah membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwasanya beliau (yakni 'Aisyah) tidak mempu dan tidak dapat meng-qadha pada bulan sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak akan mengakhirkan qadha.

2. Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq (4/189), di maushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih. Lih: Taghliqut Ta'liq (3/186).

3. Lih: Irwa-ul Ghalil (4/95).

4. Bukhari (4/168), Muslim (1147).

5. Bukhari (4/169), Muslim (1148).

6. Bukhari (4/112) secara mu'allaq, di maushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari (1/58).

Sifat Puasa Nabi (bag 15) - Pembatal-Pembatal Puasa




Perkara-Perkara Yang Merusak Puasa

Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah:

1. Makan dan Minum Dengan Sengaja

Allah 'Azza Sya'nuhu berfirman:

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datangnya) malam. (Al Baqarah : 187)

Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil:

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.1

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:

Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa.2

2. Muntah Dengan Sengaja

Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk meng-qadha puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya meng-qadha puasanya.3

3. Haidh dan Nifas

Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan meng-qadha kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Bukankah jika haidh dia tidak shalat dan puasa? Kami katakan, Ya. Beliau berkata, Itulah (bukti) kurang agamanya.4

Dalam riwayat lain:

Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya.

Perintah meng-qadha puasa terdapat dalam riwayat Mu'adzah, dia berkata:

Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah, Mengapa orang haidh meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha sholat? 'Aisyah berkata, Apakah engkau wanita Haruri5 Aku menjawab, Aku bukan Haruri, tetapi hanya (sekedar) bertanya. 'Aisyah berkata, Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk meng-qadha puasa, tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.6

4. Suntikan Yang Mengandung Makanan

Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makanan bagi orang yang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa.7 Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka inipun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalkan puasa.

5. Jima'

Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22): Jima' dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapun jika jima' tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja.

Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma'ad 2/66), Al Qur-an menunjukkan bahwa jima' membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini.

Dalilnya adalah firman Allah:

Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al Baqarah : 187)

Diizinkan bergaul (dengan istrinya) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima'. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima' harus meng-qadha dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, (dia berkata):

Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata, Ya Rasulullah, binasalah aku! Rasulullah bertanya, Apakah yang membuatmu binasa? Orang itu menjawab, Aku menjima'i istriku di bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda, Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak? Orang itu menjawab, Tidak. Rasulullah bersabda, Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin? Orang itu menjawab, Tidak. Rasulullah bersabda, Duduklah. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah kurma kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah bersabda, Bersedekahlah. Orang itu berkata Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, Ambilah, berilah makanan keluargamu.8

---------------

1. HR. Bukhari (4/135) dan Muslim (1155)

2. HR. Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Atsar (2/56), Al Hakim (2/198), Ibnu Hazm dalam Al Ihkam (5/149), Ad Daruquthni (4/171) dari dua jalan, yaitu dari Al Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umair, dari Ibnu Abbas, sanadnya shahih.

3. HR. Abu Dawud (3/310), Tirmidzi (3/79), Ibnu Majah (1/536), Ahmad (2/489) dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, sanadnya shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Haqiqatus Shiyam halaman 14.

4. HR. Muslim (79) dan (80) dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah.

5. Al Haruri nisbat kepada Harura' (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruri karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Ali ada di negeri tersebut, demikian dikatakan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari (4/424) dan lihat A Lubab (1/359) karya Ibnu Atsir.
Mereka, orang-orang Haruriyah mewajibkan wanita-wanita yang telah suci dari haidh untuk meng-qadha shalat yang terluput semasa haidhnya. 'Aisyah khawatir Mu'adzah menerima pertanyaan dari khawarij, yang mempunyai kebiasaan menentang sunnah dengan pikiran mereka. Orang-orang seperti mereka pada zaman ini banyak. Lihat pasal At Tautsiq 'anillah wa Rasulihi dari risalah Dirasat Manhajiyat fii Aqidah As Salafiyah karya Alim Al Hilali.

6. HR. Bukhari (4/429) dan Muslim (335).

7. Lihat Haqiqatus Shiyam hal 15, Karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.

8. Hadits shahih dengan berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari (11/516), Muslim (1111), Tirmidzi (724), Baghawi (6/288), Abu Dawud (2390), Ad Darimi (2/11), Ibnu Majah (1671), Ibnu Abi Syaibah (2/183-184), Ibnu Khuzaimah (3/216), Ibnul Jarud (139), Syafi'i (199), Malik (1/297), Abdur Razak (4/196), sebagian memursalkan, sebagian riwayat mereka ada tambahan: Qadha-lah satu hari sebagai gantinya. Dishahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari (11/516), memang demikian.

Sifat Puasa Nabi (bag 14) - Berbuka Puasa






1. Kapan Orang yang Puasa Berbuka?

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam. (Al Baqarah : 187)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembahasan yang telah lalu) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.

wahai hamba Allah inilah perkataan-perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada di hadapanmu dapatlah engkau mambacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya Radhiyallahu'anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.

Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari (4/199) dan al Haitsami dalam Majma' Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi:

Para sahabat Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur.

2. Menyegerakan Berbuka

Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan menyelisihi Yahudi dan Nashrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu, yakni hingga terbitnya bintang. maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul di atasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.

a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.1

b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam

Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama 'berpegang dengan sunnah Rasul mereka dan menolak semua yang merubah sunnah'.

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa).2

c. Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani

Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak mejadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin itu bertiup.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka3, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya.4

Kami katakan:

Hadits-hadit di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut:

1) Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Isalm, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Karmelin atau mencari makan di Gedung Putih -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al Qur-an dan As Sunnah dalam masalah aqidah dan manhaj.

2) Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara Kaffah. (Al Baqarah : 208)

Atas dasar inilah, maika ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian lainnya; kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh kita mengetahui bahwa buah dari menyelisihi Yahudi dan Nashrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.

3) Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkaran baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyakan dari mereka, Ini perkara-perkara kecil, furu', khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita!

Perhatikan wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas bashirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung kepada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatakala lingkaran matahari telah terbenam. Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenambya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam ini dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit, walaa haula walaa quwwata illa billah.

d. Berbuka sebelum Shalat Maghrib

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbuka sebelum shalat Maghrib5 karena menyegerakan berbuka adalah termasuk akhlaqnya para nabi. Dari Abu Darda' Radhiyallahu'anhu:

Tiga perkara yang merupakan akhlaq para nabi: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan kiri dalam shalat.6

3. Berbuka Dengan Apa?

Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berbuka dengan kurma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At Taubah : 128)

Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (kurma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.

Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya kurma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahui kecuali orang yang beritiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu'anhu, (ia berkata):

Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbuka dengan kurma basah (ruthtah), jika tidak ada ruthtah maka berbuka dengan kurma kering (tamar), jika tidak ada tamar maka minum dengan satu tegukan air.7

4. Yang Diucapkan Ketika Berbuka

Ketahuilah wahai saudaraku yang berupasa -mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam- sesungguhnya engkau mempunyai do'a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dengan keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati yang lalai- Berdo'alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

Tiga do'a yang dikabulkan: do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir.8

Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam:

Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya: orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi.9

Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki do'a yang tidak akan ditolak.10

Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan

(yang artinya): Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala, Insya Allah.11

5. Memberi Makan Orang Yang Puasa

Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa, akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.12

Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wasallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyiakan-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.

Orang yang diundang disunnahkan mendo'kan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'kan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian.13

Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum.14

Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan.15

-------------

1. HR. Bukhari (4/173) dan Muslim (1093)

2. HR Ibnu Hibban (891) dengan sanad shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- kami katakan: Syiah Rafidhah telah mencocoki Yahudi dan Nashrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.

3. Hal ini bukan berarti, jika manusia telah terlena dengan dunianya hingga mereka mengakhirkan buka mengikuti Yahudi dan Nashrani, kemudian agama ini menjadi kalah, tidak demikian keadaannya, Islam senantiasa akan menang kapanpun juga, dan dimanapun tempatnya. Wallahu a'lam

4. HR. Abu Dawud (2/305), Ibnu Hibban (223), sanadnya hasan.

5. HR. Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad hasan.

6. HR Thabrani dalam Al Kabir sebagaimana dalam Al Majma' (2/105), dia berkata: ...marfu' dan mauquf, mauquf shahih adapun yang marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya. Aku katakan: Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu'.

7. HR. Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277. 278), Tirmidzi (3/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih.

8. HR. Uqaili dalam Adh Dhu'afa (1/72), Abu Muslim Al Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari sanadnya hasan kalau tidak ada 'an'anah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid, yaitu hadits selanjutnya.

9. HR. Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407). Ada jalalah Abu Mudilah.

10. HR. Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan. Al Bushari berkata (2/81): ini sanad yang shahih, perawi-perawi tsiqat.

11. HR. Abu Dawud (2/306), Baihaqi (4/239), Al Hakim(1/422), Ibnu Sunni (128), Nasa-i dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata: Sanadnya hasan. Aku katakan: memang seperti ucapannya.

12. HR. Ahmad (4/144, 115, 116, 5/192), Tirmidzi (804), Ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.

13. HR. Ibnu Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa-i dalam 'Amalul Yaum (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sanadnya shahih.
Peringatan: Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini, yaitu Allah menyebutkan di majelis-Nya adalah tidak ada asanya.

14. HR. Muslim (2055) dari Miqdad.

15. HR. Muslim (2042) dari Abdullah bin Busrin.

Sifat Puasa Nabi (bag 13) - Allah Menginginkan Kemudahan Bagi Kalian





ALLAH MENGINGINKAN KEMUDAHAN BAGI KALIAN DAN TIDAK MENGINGINKAN KESULITAN

1. Musafir

Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, Kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah kitab yang mulia, Allah berfirman: (yang artinya): Barangsiapa yang sakit atau dalam safar gantilah pada hari yang lain, Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan. (QS. Al Baqarah:185)

Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam : Apakah boleh aku berpuasa dalam safar? -dia banyak melakukan puasa- maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): Puasalah jika kamu mau dan berbukalah kalau mau. 1)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu berkata: Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di bulan Ramaadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa. 2)

Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita nyatakan juga afdhal adalah berbuka dengan hadits-hadits yang umum; seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya): Sesungguhnya Allah senang didatangi rukhsah yang ia berikan, sebagaimana membenci orang yang melakukan maksiat. 3)

Dalam satu riwayat yang lain: Sebagaimana Allah senang diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan. 4)

Tapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melencengkan dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan segamblang-gamblangnya, dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiallahu 'anhu : Para shahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa itu baik, dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka juga bagus. 5)

Ketahuilah saudaraku seiman mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman dalam agama- sesungguhnya puasa dalam safar jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tapi berbuka lebih utama dan lebih disenangi Allah, yang menjelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang shahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda (yang artinya): Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar. 6)

Peringatan

Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang tidak diperbolehkan berbuka, hingga mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini, orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya): Rabmu tidak pernah lupa. (QS. Al-Maryam:64)

dan firman-Nya (yang artinya): Allah telah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah:232)

Dan perkataan-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya): Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan. (QS. Al- Baqarah:185)

Yakni: Kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syariat, cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyariatkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia, Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang maslahat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya): Tidakkah kalian tahu siapa yang mencipta Dialah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui. (QS. Al-Mulk:14)

Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mu'min yang tidak mendahulukan perkataaan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya:

Wahai Rabb kami mendengar dan taat, ampunilah kami, wahai Rabb kepada-Mu-lah kami kembali. (Al-Baqarah:285)

2. Sakit

Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, kemudahan bagi orang yang sakit, sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang bila dibawa berpuasa akan menyebabkan satu madharat atau semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu A'lam.

3. Haid dan Nifas

Ahlul Ilmi telah ijma bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan puasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha kalaupun keduanya puasa tidaklah sah, akan datang penjelasannya. Insya Allah

4. Kakek dan Nenek yang sudah tua

Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma berkata: Kakek dan nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin. 7)

Diriwayatkan dari Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca: (yang artinya): Orang-orang yang ridak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makanan bagi orang miskin. (QS. Al-Baqarah:184)

Kemudian beliau berkata: Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya ½ sha gandum. 8)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu: Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya 1 mud gandum. 9)

Dari Anas bin Malik: Beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid, dan mengundang 30 orang miskin hingga mereka kenyang. 10)

5. Orang hamil dan menyusui

Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah, Allah memberi rukhshah pada mereka untuk berbuka, dan di antara mereka adalah orang hamil dan menyusui.

Dari Anas bin Malik 11): Kudanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , aku temukan dia sedang makan pagi, beliau bersabda: mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnyaa Allah Tabaroka wa Ta'ala menggugurkan ½ shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa. Demi Allah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, aduhai lahfa jiwaku kenapa tidak makan makanan nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . 12)

----------------

1) HR Bukhari (4/156), Muslim (1121)

2) HR Bukhari (4/163), Muslim (1118)

3) HR Ahmad (2/108), Ibnu Hibban (2742) dari Ibnu Umar dengan sanad yang SHAHIH

4) HR Ibnu Hibban (354), Bazzar (990), Thabrani di (Al-Kabir) (11881) dari Ibnu Abbas, dengan sanad yang SHAHIH. Dalam hadits –dengan dua lafadznya ini- ada pembicaraan yang panjang bukan di sini tempat menjelaskannya.

5) HR Tirmidzi (713), Al-Baghawi (1763) dari Abu Said, sanadnya SHAHIH, walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abdul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-ijili dan lainnya.

6) HR Bukhari (4/161), Muslim (1110) dari Jabir

7) HR Bukhari (4505), lihat Syarhus Sunnah (6/316), Fathul Bari (8/180), Nailul Authar (4/315), Irwaul Ghalil (4/22-25), Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma (no.129). Akan adanya ijma dalam maslah ini.

8) Lihat ta'liq barusan

9) HR Daruquthni (2/208) dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih, dia dhaif, tapi punya syahid.

10) HR Daruquthni (2/207), sanadnya SHAHIH

11) Dia adalah Al Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshori, pembantu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , tapi ini adalah seorang pria dari Bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan 1 hadits saja dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , yakni hadits di atas. Lihat Al-Ishabah (1/114-115) karya Ibnu Hajar, Tajridu Asmais Shahabah (1/13) karya Adz Dzahabi, gandengkan bersama Fathul Qadiir (2/268) keduanya da perbedaan yang halus.

12) HR Tirmidzi (715), Nasai (4/180), Abu Dawud (3408), Ibnu Majah (16687). Sanadnya HASAN sebagimana pernyataan Tirmidzi.

Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI