Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Jumat, 01 April 2011

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAG I)

Muqaddimah
Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua….
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan AlQur’an dan mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk ke jalan yang lurus. Sesungguhnya Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar telah mewariskan ilmu Dien yang jelas, terang benderang, sebagai pedoman bagi kita. Beliau bersabda :

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

” Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas (cahaya) yang putih, malamnya bagaikan siangnya, tidaklah ada yang menyimpang darinya sepeninggalku, kecuali ia akan binasa” (H.R Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Haakim).

Semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat dan salam-Nya untuk beliau yang telah membimbing kita dengan kasih sayang dan semangat beliau yang tinggi agar hidayah dan segenap kebaikan sampai kepada kita. Beliau adalah sebagaimana yang Allah nyatakan :

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (Q.S AtTaubah:128).

Alhamdulillah, sepeninggal para Nabi, Allah bangkitkan para Ulama’ sebagai pewarisnya. Para Ulama’ tersebut menyebarkan ilmunya, membimbing umat untuk mengetahui mana yang haq dan mana yang batil, agar tidak tersamarkan.

Melalui tinta-tinta yang menggoreskan ilmu mereka, umat setelahnya menjadi terbimbing dalam melangkah dan meniti jalan menuju shirothol mustaqiim..

Namun, sebagai suatu sunnatullah, akan selalu ada para penentang Tauhid dan Sunnah, serta penyebar kebencian terhadap para Ulama’ Ahlussunnah. Dalam berbagai media, mereka berusaha menjauhkan kaum muslimin dari Ulama’ Ahlussunnah yang sesungguhnya. Mereka berusaha mendiskreditkan para Ulama’, memfitnah mereka, dan tidak segan-segan menukilkan kisah-kisah dusta dan tidak berdasar untuk mencapai tujuan tersebut.
Saat ini, telah mulai tumbuh situs-situs maupun blog di internet yang memusuhi Ulama’ Ahlussunnah dan memusuhi dakwah kepada Tauhid dan Sunnah Nabi di atas pemahaman Salafus Sholeh. Semoga Allah memberikan hidayah kepada para pengelola maupun penulis di situs-situs tersebut agar kembali ke jalan yang lurus.

Secara bertahap, InsyaAllah akan dituliskan bantahan terhadap tulisan-tulisan penentang Sunnah tersebut. Semoga Allah memberikan kemudahan. Ada banyak situs/ blog yang menyimpang dari Manhajus Salaf Ahlussunnah. Di antaranya, yang akan sedikit dikupas pada tulisan kali ini adalah blog : ### tobat. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan kemudahan untuk terbitnya tulisan-tulisan bantahan bagi situs-situs sejenis (baik merupakan tulisan penulis yang sama, ataupun dari sebagian asatidzah Ahlussunnah yang lain). Hanya kepada Allah-lah kita berharap dan memohon pertolongan.

Bantahan terhadap blog ### tobat.

Blog ### tobat adalah salah satu blog yang menyimpang dan merupakan penentang Sunnah. Bisa mudah ditemui di beberapa tulisan dalam blog itu hadits-hadits yang lemah atau bahkan palsu (maudlu’), serta penentangan terhadap hadits yang shohih dengan alasan bahwa itu adalah hadits ahad. Untuk tulisan kali ini akan diangkat 4 poin utama yang menunjukkan penyimpangan aqidah di blog tersebut :

1) Keyakinan Bahwa Nur Muhammad adalah Makhluq Pertama

Pada artikel di blog tersebut dengan judul : Nur Muhammad Menurut Al-qur’an & Hadits

Pada bagian tersebut dinyatakan suatu kalimat yang dianggap sebagai hadits :
Daripada Ka’ab al-Ahbar: ” Tatkala Allah ta’ala berkehendak untuk menciptakan Nabi Muhammad s.a.w., Dia memerintahkan Jibril a.s. untuk membawakan segenggam tanah putih yang merupakan tanah tempat Junjungan Nabi s.a.w. dimakamkan nanti. Maka diulilah tanah tersebut dengan air Tasniim (air syurga) lalu dicelupkan ke dalam sungai-sungai syurga. Setelah itu, dibawakan dia berkeliling ke serata langit dan bumi. Para malaikat pun mengenali Junjungan Nabi s.a.w. dan keutamaan baginda sebelum mereka mengenali Nabi Adam a.s. Ketika nur Junjungan Nabi s.a.w. kelihatan di kening dahi Nabi Adam a.s., dikatakan kepadanya: “Wahai Adam, inilah sayyid (penghulu) keturunanmu daripada para anbiya’ dan mursalin.
Tatkala Siti Hawa mengandungkan Nabi Syits berpindahlah Nur Muhammad tersebut kepada Siti Hawa. Siti Hawa yang biasanya melahirkan anak kembar setiap kali hamil, tetapi pada hamilnya ini dia hanya melahirkan seorang anak sahaja iaitu Nabi Syits kerana kemuliaan Junjungan Nabi s.a.w. Maka sentiasalah berpindah-pindah Nur Muhammad daripada seorang yang suci kepada orang suci yang lain sehinggalah baginda dilahirkan.

Sekilas penulis mengesankan hadits itu adalah shahih, namun tidak dijelaskan diriwayatkan dalam kitab apa dengan sanad yang bagaimana. Setelah kita kaji lagi, sebenarnya hadits itu adalah maudlu” (palsu), tidak ada asalnya.Sebagaimana dijelaskan oleh Imam as-Suyuthy ( seorang ‘alim yang sebenarnya dijadikan panutan oleh mereka juga) dalam kitab al-Haawi fil Fatwa juz 1 hal 325 : ‘ Hadits tersebut tidak memiliki sanad yang bisa dijadikan sandaran’ . Di dalam kitab Kasyful Khofa” hanya diisyaratkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Abdurrozzaq, namun jika ditelusuri, hadits tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab yang disusun Abdurrozzaq, baik di dalam kitab Mushonnaf-nya, al-Jaami’, atau Tafsir.

Justru hadits tersebut bertentangan dengan hadits shohih yang lainnya yang menunjukkan bahwa yang diciptakan Allah pertama kali adalah al-Qolam (pena) bukan Nur Muhammad, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

” Sesungguhnya yang pertama Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Allah berfirman padanya : ‘Tulislah!’ Pena bertanya : ‘Apa yang aku tulis wahai Tuhanku?’. Allah menyatakan : Tulislah taqdir segala sesuatu sampai hari kiamat ” (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, dan Ahmad dari Ubadah bin As-Shoomit).

Sesungguhnya yang tercipta dari ‘nur’ (cahaya) adalah Malaikat, bukan manusia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :

خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

” Malaikat diciptakan dari nuur (cahaya) dan Jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan pada kalian “(H.R Muslim dari ‘Aisyah).

2) Tidak Boleh Menanyakan : Di Mana Allah ?

Pada artikel di blog tersebut dengan judul :Kitab al-Farq baina al-Firaq (Abu Manshur Al-baghdadi) : Allah Ada Tanpa Tempat

Pada bagian ini dinukilkan atsar yang dianggap bersumber dari Sahabat Ali bin Abi Tholib :
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Cukuplah hal tersebut bertentangan dengan hadits Nabi yang shohih, yang justru Nabi sendiri bertanya ” Di mana Allah ? ” sebagai bentuk ujian keimanan seorang budak wanita” :

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ اْلحَكَمِ أَنَّهُ لَمَّا جَاءَ بِتِلْكَ اْلجَارِيَةِ السَّوْدَاءَ قاَلَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْنَ اللهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Dari Mu’awiyah bin al-Hakam bahwasanya dia mendatangi Rasulullah dengan membawa seorang budak wanita hitam. Kemudian Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bertanya pada budak wanita tersebut:’ Di mana Allah?’ Budak itu menjawab,’Di atas langit’ . Rasul bertanya lagi,’Siapakah aku?’ Budak itu menjawab,’Engkau adalah utusan Allah’. Maka Rasul berkata:’Merdekakanlah ia karena ia adalah mukminah (wanita beriman)’ (H.R Ahmad, Muslim, Abu Dawud, AnNasaai, Malik, dan AsySyafi’i)

3) Keyakinan bahwa Ayah dan Ibu Nabi Muhammad masuk surga

Pada artikel di blog tersebut dengan judul : Ayah dan Ibu Nabi Muhammad SAW Masuk Sorga

Panjang lebar penulis blog tersebut menjelaskan bahwa ayah dan ibunda Nabi masuk surga. Padahal itu bertentangan dengan hadits yang shahih :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

” dari Anas bin Malik bahwasanya seorang laki-laki berkata : Wahai Rasulullah di mana ayahku ? Nabi bersabda : ‘ di neraka’ . Ketika orang tersebut berpaling, Nabi memanggilnya lagi dan bersabda : ‘Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di an-naar (neraka) (H.R Muslim).

Penulis blog tersebut berusaha mati-matian menolak hadits ini dengan alasan bahwa hadits ini adalah ahad. Subhaanallah, dia menolak hadits yang shohih dengan alasan hanya hadits ahad, karena bertentangan dengan hawa nafsunya, namun di saat lain ia berdalil dengan hadits yang bukan sekedar ahad, namun justru tidak memiliki sanad yang jelas (seperti pada poin ke-1 di atas dan akan dikemukakan pada poin ke-4, Insya Allah). Padahal, keyakinan Ahlusunnah adalah hadits shohih bisa digunakan sebagai hujjah dalam masalah hukum maupun akidah. (Untuk melihat penjelasan lebih lanjut tentang ini bisa dilihat pada blog albashirah.wordpress.com pada tulisan : Hadits Ahad Hujjah dalam Masalah Aqidah dan Hukum bag ke-1 sampai ke-4).
Imam AnNawawi menjelaskan dalam Syarh Shohih Muslim tentang hadits di atas :
(dalam hadits ini terkandung faidah) : ” Bahwasanya barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir, maka dia masuk anNaar, dan tidaklah bermanfaat baginya kedekatan hubungan kekeluargaan dengan orang-orang yang dekat (dengan Allah). Di dalamnya juga terkandung faidah bahwa orang yang meninggal dalam masa fatrah, yang berada di atas kebiasaan orang Arab berupa penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni annaar. Dan tidaklah dianggap bahwa dakwah belum sampai pada mereka, karena sesungguhnya telah sampai pada mereka dakwah Nabi Ibrahim, dan Nabi yang lainnya -semoga sholawat dan keselamatan dari Allah tercurah untuk mereka

Sedangkan berkaitan dengan ibunda Nabi, terdapat penjelasan dalam hadits yang shohih, Nabi bersabda :

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي

“Aku memohon ijin kepada Tuhanku untuk memohon ampunan bagi ibuku, tetapi tidaklah diijinkan untukku, dan aku mohon ijin untuk berziarah ke kuburannya, dan diijinkan”(H.R Muslim dari Abu Hurairah)

dalam riwayat Ahmad :

إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya aku meminta kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla untuk memohon ampunan bagi ibuku, namun tidak diijinkan, maka akupun menangis sebagai bentuk belas kasihan baginya dari adzab anNaar” (hadits riwayat Ahmad dari Buraidah, al-Haitsamy menyatakan bahwa rijaal hadits ini adalah rijaalus shohiih).

Dalam riwayat lain :

عَنْ أبِي رَزِينٍ، قَالَ: قُلْتَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أُمِّي؟، قَالَ:”أُمُّكَ فِي النَّارِ”، قَالَ: فَأَيْنَ مَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِكَ؟، قَالَ:”أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ أُمُّكَ مَعَ أُمِّي

” dari Abu Roziin beliau berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, di mana ibuku? Nabi menjawab : ‘Ibumu di an-Naar’. Ia berkata : Maka di mana ornag-orang terdahulu dari keluargamu? Nabi bersabda : Tidakkah engkau ridla bahwa ibumu bersama ibuku” (H.R Ahmad dan atThobarony, dan al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini terpercaya (tsiqoot)).

Nabi tidak diijinkan untuk memohon ampunan bagi ibunya, disebabkan alasan yang disebutkan dalam AlQur’an :

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (Q.S atTaubah :113).

Maka saudaraku kaum muslimin, telah jelas khabar dari hadits-hadits Nabi yang shohih bahwa sebenarnya ayah dan ibunda Nabi di an-Naar. Kita sebagai orang yang beriman merasa sedih dengan hal-hal yang membuat Nabi bersedih. Bukankah Nabi menangis sedih ketika beliau memintakan ampunan bagi ibundanya, namun Allah tidak ijinkan. Akan tetapi, dalil-dalil yang shohih di atas memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa kedekatan kekerabatan dengan orang Sholih, bahkan seorang Nabi, tidak menjamin seseorang untuk ikut-ikutan masuk surga. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam AnNawawi di atas. Sebagaimana juga Nabi mewasiatkan kepada keluarga-keluarga dekatnya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرَيْشًا فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ فَقَالَ يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبَلَالِهَا

” Dari Abu Hurairah beliau berkata : Ketika turun firman Allah –QS Asy-Syuaroo’:213-(yang artinya) : ‘Dan berikanlah peringatan kepada kerabat dekatmu’, Nabi memanggil orang-orang Quraisy sehingga mereka berkumpul –secara umum dan khusus-Nabi bersabda : ‘Wahai Bani Ka’ab bin Lu-ay, selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Murroh bin Ka’ab selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdi Syams selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdi Manaaf selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Hasyim selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdil Muththolib selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Fathimah selamatkan dirimu dari anNaar, sesungguhnya aku tidak memiliki kekuasaan melindungi kalian dari (adzab) Allah sedikitpun, hanyalah saja kalian memiliki hubungan rahim denganku yang akan aku sambung (dalam bentuk silaturrahmi)(H.R Muslim)

Hanya kepada Allahlah kita berharap Jannah-Nya dan hanya kepadaNya kita memohon perlindungan dari an-Naar.

4) Keyakinan adanya Ilmu Ladunni

Pada artikel di blog tersebut dengan judul : Cara Mendapatkan Ilmu Laduni Menurut Alqur’an dan Sunnah

Pada bagian ini disebutkan : Ilmu ini adalah karunia khusus dari Allah swt.

“man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”

Artinya : Nabi SAW bersabda :” BARANGSIAPA YANG MENGAMALKAN ILMU YANG IA KETAHUI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA ILMU YANG BELUM IA KETAHUI”

Dengan tegas penulis blog tersebut menyatakan : ‘Nabi SAW bersabda ‘, padahal jika dikaji lebih lanjut ucapan tersebut bukanlah hadits Nabi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad dan dinukil oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Awliyaa’ juz 10 hal 15.

Demikianlah secara ringkas pada bagian tulisan ini kami tunjukkan beberapa penyimpangan-penyimpangan pada blog ### tobat. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua….

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk situs www.darussalaf.or.id.

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAG II)


BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAG II)

الحمد لله , والصلاة والسلام على رسول الله …….

SYUBHAT :
Telah terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat. Pada tulisan itu mereka menjelaskan bukti (menurut versi mereka) bahwa Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany telah bertaubat dalam aqidah tentang Asma’ Was Sifat menjadi seorang Asy-‘ari.
Di dalam tulisan tersebut mereka menukil tulisan Ibnu Hajar dalam kitab ad-Durar al-Kaminah fi a’yaan mi-ah ats-tsaaminah cetakan 1414 H Daarul Jiel Juz 1 hal 148. Beberapa kutipan yang mereka terjemahkan di antaranya :
“Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.

Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”

…berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.

BANTAHAN :
Benarkah Ibnu Taimiyyah Bertaubat dan Menjadi Seorang Asy’ari?
Kalau kita merujuk pada kitab Ibnu Hajar al-‘Asqolaany tersebut, akan terlihat bahwa kisah bertaubatnya Ibnu Taimiyyah di hadapan majelis para “Ulama’” waktu itu terjadi di tahun 707 H. Sedangkan Ibnu Taimiyyah meninggal pada tahun 728 H. Sehingga, -kalaupun kisah ini benar- berarti selama kurang lebih 21 tahun Ibnu Taimiyyah berpemahaman Asy’ari. Benarkah demikian?
Pada tulisan ini akan dipaparkan bukti –bukti yang menunjukkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak pernah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Penjelasan tentang hal tersebut akan dibagi menjadi:
1. Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
2. Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.

1). Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
Rujukan kita adalah kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang ditulis setelah 707 H atau setelah Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa kitab-kitab tertentu ditulis pada kurun waktu tertentu? Bisa dilihat pada penjelasan di muqoddimah pentahqiq kitab-kitab tersebut, keterangan yang menunjukkan bahwa kitab tersebut diikhtisar (diringkas) oleh ulama’-ulama’ setelahnya, kitab-kitab lain yang menjelaskan tentang tarjamah (biografi) beliau, ataupun indikasi-indikasi lain yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara kitab-kitab yang beliau tulis setelah tahun 707 H adalah kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah sebagai bantahan terhadap kaum Syi’ah Rafidlah. Pada kitab tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah meluruskan pemahaman Asy-ari yang salah tentang masalah ru’yatullah (kaum mu’minin melihat Allah di akhirat) maupun penetapan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi Allah, dalam konteks membantah Syi’ah Rafidlah (bisa dilihat salah satu contohnya adalah pada bagian ‘Kalaamur Roofidly ‘alaa Itsbaati al-Asyaa-iroh liru’yatillah hal 340-352 maupun bagian ‘Kalaamur Raafidly ‘ala maqoolatil Asyaa-iroh fi Kalaamillaah’ hal 352-400. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sendiri menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukan dalam kitab Fathul Bari. Beliau menyebutkan dalam 3 tempat di kitab Fathul Baari (1/182 bab Kitaabatul ‘Ilm,11/209 bab Qishshotu Abi Tholib, dan 21/154 bab Qoulullaahi Ta’ala Wallaahu Kholaqokum wamaa ta’maluun) dengan mengisyaratkan kitab tersebut sebagai ‘a-Radd ‘ala ar-Rafidhy’.
Demikian juga kitab-kitab setelah 707 H yang ditulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang lain di antaranya : ar-Raddu ‘alal Manthiqiyyiin, al-Jawabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih, dan alFurqaan Bayna Awaliyaa-ir Rahmaan wa Awliyaaisy-Syaithan. Di dalam kitab ‘alFurqaan’, pada halaman 12 Syaikhul Ibnu Taimiyyah menyebutkan Sifat Allah yang mencintai wali-Nya dengan kecintaan yang sempurna. Beliau tidaklah mentahrif Sifat ‘mencintai’ tersebut seperti tahrif yang biasa dilakukan oleh Asy-‘ari dengan memalingkannya pada makna-makna yang lain.
Dalam kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih juz 4 halaman 6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membantah keyakinan Nashara yang menyimpang, dengan menjelaskan Sifat al-Kalaam (berbicara) bagi Allah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah. Beliau juga tidak memalingkan makna al-Kalaam tersebut pada makna yang lain, tetapi memaknakannya secara hakiki. Perlu diketahui bahwa kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih adalah salah satu kitab yang dijadikan rujukan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam Fathul Baari (21/151).
Lebih telak lagi, kitab yang bisa membungkam syubuhat bahwa Ibnu Taimiyyah berubah pemahaman menjadi Asy-ari adalah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql yang ditulis beliau. Di dalamnya beliau membantah kelompok – kelompok yang mengedepankan akal seperti Mu’tazilah, al-Jahmiyyah, al-Maaturidiyyah, dan juga termasuk al-‘Asyaa-iroh (Asy-‘ari). Pada juz 1 halaman 15, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan kesesatan orang-orang yang mengingkari: ru’yatullah (bahwa Allah bisa dilihat oleh orang beriman di akhirat) dan ketinggian Allah di atas ‘Arsynya. Jika timbul pertanyaan : Kapankah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql tersebut ditulis? Jawabannya : kitab tersebut ditulis setelah beliau kembali ke Syam. Dr. Muhammad Rosyad Salim menyatakan bahwa kitab itu ditulis sekitar tahun 713-717 H. Kitab-kitab lain yang dikemukakan di atas sebagai bukti bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak berubah pemahaman menjadi Asy-‘ari semuanya ditulis setelah kitab Dar-u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql ini. Sebagai contoh, di dalam kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah beberapa kali beliau mengisyaratkan rujukan pada kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql.

2) Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
Imam Adz-Dzahaby sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitabnya alMu’jamul Mukhtash :
قد سجن غير مرة ليفتر عن خصومه ويقصر عن بسط لسانه وقلمه وهو لا يرجع ولا يلوي على ناصح إلى أن توفي
“Beliau telah dipenjara berkali-kali untuk memutuskan permusuhannya (terhadap ahlul bid’ah,pent) dan mengurangi ‘tajamnya’ lisan dan pena beliau,tetapi beliau tidaklah rujuk (mundur) maupun melunak sampai beliau meninggal”
Pada bagian lain Imam AdzDzahaby juga menyatakan di dalam kitab tersebut:
حتى قام عليه خلق من علما مصروالشام قياما … وهو ثابت لا يداهن ولا يحابي ، بل يقول الحق المرّ الذي أداه إليه إجتهاده وحِدّة ذهنه وسعة دائرته في السنن و الأقوال
“ Sampai bangkitlah sekelompok Ulama dari Mesir dan Syam…dalam keadaan beliau tetap kokoh, tidak mencari muka ataupun berbasa-basi, akan tetapi beliau tetaplah mengucapkan kebenaran yang pahit berdasarkan ijtihadnya, tajamnya pikiran, dan luasnya wawasan tentang Sunnah – sunnah dan ucapan-ucapan”
Imam Ibnu Katsir yang juga merupakan murid Ibnu Taimiyyah menyatakan :
وفي ليلة عيد الفطر أحضر الامير سيف الدين سلار نائب مصر القضاة الثلاثة وجماعة من الفقهاء فالقضاة الشافعي والمالكي والحنفي، والفقهاء الباجي والجزري والنمراوي، وتكلموا في إخراج الشيخ تقي الدين بن تيمية من الحبس، فاشترط بعض الحاضرين عليه شروطا بذلك، منها أنه يلتزم بالرجوع عن بعض العقيدة وأرسلوا إليه ليحضر ليتكلموا معه في ذلك، فامتنع من الحضور وصمم، وتكررت الرسل إليه ست مرات، فصمم على عدم الحضور، ولم يلتفت إليهم ولم يعدهم شيئا، فطال عليهم المجلس فتفرقوا وانصرفوا غير مأجورين
“ dan pada malam Iedul Fithri al-Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah al-Baaji, al-Jazarii, dan anNamrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di antaranya : beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir). Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majelis itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan” (al-Bidayah wan Nihaayah juz 14 hal 47)
Dari penjelasan di atas nampaklah secara gamblang bahwa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tidaklah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Pemahaman beliau terhadap Asma’ Was Sifaat tetap tidak berubah sebagaimana yang dipahami Salafus Sholih, yaitu meyakininya tanpa tahriif ( meyimpangkan lafadz atau maknanya pada makna yang hakiki), tidak juga ta’thiil (menolak), atau takyiif (menentukan/ menanyakan kaifiyatnya), dan tamtsiil (menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk). Pemahaman tersebut tidaklah berubah sebagaimana yang beliau nyatakan dalam al-‘Aqiidah al- Waasithiyyah yang terus dikaji oleh kaum muslimin sampai saat ini.
Pembelaan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Al-Hafidz as-Sakhowy menukil perkataan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam kitabnya al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736. Di antara perkataan Ibnu Hajar tersebut adalah :
…ولقد قام على الشيخ تقي الدين جماعة من العلماء مراراً ، بسبب أشياء أنكروها عليه من الأصول والفروع ، وعقدت له بسبب ذلك عدة مجالس بالقاهرة ، وبدمشق ، ولا يحفظ عن أحد منهم أنه أفتى بزندقته ، ولا حكم بسفك دمه مع شدة المتعصبين عليه حينئذ من أهل الدولة ، حتى حبس بالقاهرة ، ثم بالإسكندرية ، ومع ذلك فكلهم معترف بسعة علمه ، وكثرة ورعه ، وزهده ، ووصفه بالسخاء ، والشجاعة ، وغير ذلك من قيامه في نصر الإسلام ، والدعوة إلى الله تعالى في السر والعلانية ، فكيف لا يُنكر على مَن أطلق ” أنه كافر “
“…dan sungguh para Ulama’ telah bangkit terhadap Syaikh Taqiyuddin berkali-kali dengan sebab-sebab yang mereka ingkari dari permasalahan ushul dan furu’, dan beberapa kali mengadakan majelis di Kairo maupun Damaskus. Dan tidaklah ada ternukil sedikitpun dari mereka yang memfatwakan bahwa beliau adalah zindiq, dan tidak ada yang menghukumi halalnya darah beliau padahal pada waktu itu banyak yang fanatik terhadap beliau dari kalangan penduduk negeri. Sampai beliau dipenjara di Mesir kemudian di alIskandariyah. Bersamaan dengan itu semuanya mengakui luasnya ilmu beliau, banyaknya sikap wara’ dan zuhud beliau, dan mereka mensifati beliau dengan dermawan (pemurah), keberanian, dan yang selain itu berupa pembelaan terhadap Islam, dakwah kepada Allah secara sembunyi-sembunyi maupun terang terangan. Maka, bagaimana tidak diingkari orang-orang yang menyebut beliau sebagai ‘kafir’ ”
فإنه شيخ في الإسلام بلا ريب
“…beliau adalah Syaikhul Islam tanpa diragukan lagi”
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه ، بل هو معذور ؛ لأن أئمة عصره شهدوا له بأن أدوات الاجتهاد اجتمعت فيه ، حتى كان أشد المتعصبين عليه ، والقائمين في إيصال الشر إليه ، وهو الشيخ كمال الدين الزملكاني ، يشهد له بذلك ، وكذلك الشيخ صدر الدين بن الوكيل
“…bersamaan dengan itu beliau adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar. Pendapat beliau yang benar – yang ini sangat banyak- bisa diambil faedah, dan didoakan agar beliau mendapat rahmat dari Allah dengan sebab tersebut, sedangkan pendapat beliau yang salah tidak diikuti, bahkan dimaafkan. Karena ulama’ yang sejaman dengan beliau mempersaksikan bahwa perangkat untuk berijtihad telah terkumpul pada beliau, sampai-sampai orang yang sangat fanatik permusuhannya terhadap beliau dan yang selalu berusaha menyampaikan keburukan terhadap beliau : Syaikh Kamaluddin az-Zamlakaany mempersaksikan hal itu, demikian juga dengan Syaikh Shodruddin bin alWakiil”
ولو لم يكن للشيخ تقي الدين من المناقب إلا تلميذه الشهير الشيخ شمس الدين بن قيم الجوزية صاحب التصانيف النافعة السائرة التي انتفع بها الموافق والمخالف : لكان غاية في الدلالة على عظم منزلته ، فكيف وقد شهد له بالتقدم في العلوم ، والتميز في المنطوق والمفهوم أئمة عصره من الشافعية وغيرهم ، فضلاً عن الحنابلة
“ Kalaulah tidak ada keutamaan lain dari Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah) kecuali muridnya yang terkenal Syamsuddin Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, yang memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat bagi pendukung maupun penentangnya, niscaya cukuplah sebagai bukti agungnya kedudukan beliau. Maka bagaimana (tidak), padahal para Ulama’ pada zaman beliau dari kalangan Syafiiyah dan selainnya, apalagi dari Hanabilah telah mempersaksikan keunggulan beliau dalam ilmu, dan keistimewaan beliau dalam ucapan dan pemahaman”. (al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736).
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany Banyak Menjadikan Pendapat Ibnu Taimiyyah sebagai Rujukan
Di dalam kitabnya Fathul Baari Syarh Shohih al-Bukhari al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan pendapat Ibnu Taimiyyah tidak kurang dari 25 kali. Beberapa yang bisa dinukil di sini :
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang makna siksaan bagi mayit karena sebab ratapan yang dilakukan keluarganya, beliau menyatakan :
مَعْنَى التَّعْذِيب تَأَلُّم الْمَيِّت بِمَا يَقَع مِنْ أَهْله مِنْ النِّيَاحَة وَغَيْرهَا ، وَهَذَا اِخْتِيَار أَبِي جَعْفَر الطَّبَرِيّ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ ، وَرَجَّحَهُ اِبْن الْمُرَابِط وَعِيَاض وَمَنْ تَبِعَهُ وَنَصَرَهُ اِبْن تَيْمِيَة وَجَمَاعَة مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَاسْتَشْهَدُوا لَهُ بِحَدِيثِ قَيْلَة بِنْت مَخْرَمَة
“ Makna ‘penyiksaan’ adalah perasaan sakit si mayit karena apa yang terjadi dari keluarganya berupa ratapan atau semisalnya. Ini adalah pendapat dari Abu Ja’far atThobary dari kalangan mutaqoddimin, dan dirajihkan oleh Ibnul Muqoobith dan ‘Iyaadl, dan pengikutnya, pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah dan para Ulama dari kalangan mutaakhkhirin, dan mereka berdalil dengan hadits Qoylah binti Makhromah “ (Fathul Baari juz 4 halaman 327).
Pada saat menjelaskan pendapat para Ulama’ tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia, Ibnu Hajar menyatakan :
سَادِسهَا هُمْ فِي النَّار حَكَاهُ عِيَاض عَنْ أَحْمَد ، وَغَلَّطَهُ اِبْن تَيْمِيَة بِأَنَّهُ قَوْل لِبَعْضِ أَصْحَابه وَلَا يُحْفَظ عَنْ الْإِمَام أَصْلًا
“Pendapat yang ke-enam : mereka berada di anNaar (neraka). Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyaadl dari Imam Ahmad. Tetapi (hikayat) ini disalahkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwasanya itu adalah perkataan sebagian sahabat (Imam Ahmad), dan tidaklah terjaga (ternukil) dari Imam (Ahmad) sama sekali”(Fathul Baari juz 4 halaman 462).
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang manakah yang lebih utama antara 2 Ummul Mu’minin Khadijah dan ‘Aisyah :
وَقَالَ اِبْن تَيْمِيَة : جِهَات الْفَضْل بَيْن خَدِيجَة وَعَائِشَة مُتَقَارِبَة . وَكَأَنَّهُ رَأَى التَّوَقُّف
“ dan berkata Ibnu Taimiyyah : ‘ Sisi-sisi keutamaan antara Khadijah dan Aisyah sangat berdekatan’. Seakan-akan beliau berpendapat tawaqquf (tidak merajihkan) “ (Fathul Baari juz 11 halaman 78)
Pada saat menjelaskan tentang nama asli dari Abu Thalib :
قَوْله : ( بَاب قِصَّة أَبِي طَالِب )
وَاسْمه عِنْد الْجَمِيع عَبْد مَنَافٍ ، وَشَذَّ مَنْ قَالَ عِمْرَان ، بَلْ هُوَ قَوْل بَاطِل نَقَلَهُ اِبْن تَيْمِيَة فِي كِتَاب الرَّدّ عَلَى الرَّافِضِيّ أَنَّ بَعْض الرَّوَافِض زَعَمَ أَنَّ قَوْله تَعَالَى : ( إِنَّ اللَّه اِصْطَفَى آدَم وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيم وَآلَ عِمْرَان ) أَنَّ آلَ عِمْرَان هُمْ آلُ أَبِي طَالِب وَأَنَّ اِسْم أَبِي طَالِب عِمْرَان وَاشْتُهِرَ بِكُنْيَتِهِ
“ Perkataan beliau (Imam al-Bukhari) : Bab Kisah Abu Thalib. Namanya (Abu Tholib) berdasarkan pendapat seluruh Ulama’ adalah Abdu Manaf. Pendapat yang ganjil (aneh) bagi yang berpendapat bahwa namanya adalah ‘Imran. Bahkan itu adalah pendapat yang batil, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya arRadd alar Raafidli bahwa sebagian orang Syiah Rafidlah menyangka bahwa firman Allah (Q.S Ali Imran :33,pent) : “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran” , bahwa yang dimaksud dengan keluarga Imran adalah keluarga Abu Thalib dan bahwasanya nama Abu Thalib adalah Imran dan terkenal dengan kunyah (gelar)nya”(Fathul Baari juz 11 halaman 209).
Contoh nukilan di atas hanyalah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Ibnu Hajar al-‘Asqolaany banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah sebagai rujukan dalam kitabnya Fathul Baari. Di dalam kitab atTalkhiisul Habiir, Ibnu Hajar juga banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah. Di antaranya adalah :
Ketika menyebutkan hadits :
الْفَقْرُ فَخْرِي وَبِهِ أَفْتَخِرُ
“ Kefakiran adalah kebanggaanku, dan dengannya aku berbangga”.
Ibnu Hajar menyatakan :
وَهَذَا الْحَدِيثُ سُئِلَ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ؟ فَقَالَ : إنَّهُ كَذِبٌ لَا يُعْرَفُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْمُسْلِمِينَ الْمَرْوِيَّةِ ، وَجَزَمَ الصَّنْعَانِيُّ بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ
“ Hadits ini ditanyakan kepada al-Hafidz Ibnu Taimiyyah : maka beliau berkata : ‘Sesungguhnya itu adalah dusta, dan tidaklah diketahui sedikitpun (terdapat) dalam kitab-kitab yang diriwayatkan kaum muslimin’. Dan As-Shon’aany memastikan bahwa hadits tersebut palsu” (atTalkhiisul Habiir juz 4 halaman 156).
Demikianlah, saudaraku kaum muslimin, semoga Allah merahmati kita semua. Dari paparan di atas jelaslah bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah pernah berubah pemahaman menjadi seorang ‘Asy-ari. Jika ada orang yang meragukan ketokohan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai seorang Ulama’ Ahlussunnah, maka cukuplah kita telah sebutkan pengakuan dari Ibnu Hajar al-‘Asqolaany berupa pujian-pujian terhadap beliau. Sangat banyak pujian para Ulama’ terhadap beliau, tak terhitung. Namun dalam tulisan ini kami cukupkan pada penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany, karena juga banyak saudara kita yang terpengaruh membenci Ibnu Taimiyyah (tanpa tahu keadaan sebenarnya tentang beliau) namun mereka masih memulyakan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sebagai salah satu Ulama’ panutan. Belum lagi kami paparkan pujian Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap murid-murid Ibnu Taimiyyah dan menjadikan pendapat mereka sebagai rujukan.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan limpahan rahmatNya kepada seluruh kaum muslimin……
Wallaahu Ta’ala A’lam BisShowaab .

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk www.darussalaf.or.id

Rujukan :
1.http://www.islam-qa.com/ar/ref/96323
2.http://saaid.net/monawein/taimiah/27.htm
3.Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah (terkemas dalam software : maowsoat_ibntaimia_01.
4.Fathul Baari (Maktabah AsySyaamilah)
5.Al-Bidaayah wan Nihaayah (Maktabah AsySyaamilah)
6.At-Talkhiisul Habiir (Maktabah AsySyaamilah)

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (Bag III) : AQIDAH ASMA’ WASSHIFAT ALLAH YANG DIANUT IBNU KATSIR DALAM TAFSIRNYA


AQIDAH ASMA’ WASSHIFAT ALLAH YANG DIANUT IBNU KATSIR DALAM TAFSIRNYA
(BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (bagian ke-3))

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada teladan yang mulya, manusia terbaik, Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam….

Pada bagian ke-3 ini, akan dijelaskan tentang ‘aqidah Asma’ Was Shifat Ibnu Katsir ( Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir alQurasyi adDimasyqi) – salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- dalam kitab tafsirnya : Tafsir al-Qur’aanil ‘Adzhiim yang dikenal luas dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir. Sesungguhnya Ibnu Katsir memiliki pemahaman yang sama dengan gurunya, Ibnu Taimiyyah tentang Asma’ Was Sifat Allah. Pemahaman tersebut bukanlah pemahaman baru. Namun, pemahaman yang sama dengan aqidah Ahlussunnah dari sejak para Sahabat Nabi, tabi’in, dan seterusnya diwariskan oleh para Imam Ahlussunnah.

Syubhat

Terdapat dalam salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah suatu tulisan sebagai berikut :

[[ Aqidah Ibnu Katsir tidak sama dengan Ibnu Taimiyyah Dan Ibnu Qayyim

lihat Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan kitab Lainnya :

Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir Ibnu Katsir:

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan tanpa kaifiat (bentuk) dan penyamaan

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy yaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. sebenarnya memahami makna istiwa ini sebenarnya ]]

Bantahan

Tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat Al-A’raaf ayat 54

Benarkah aqidah Ibnu Katsir tidak sama dengan Ibnu Taimiyyah? Mari kita kaji tulisan Ibnu Katsir dalam tafsirnya tersebut. Ketika menafsirkan AlQur’an surat al-A’raaf ayat 54, akan terlihat jelas bagaimana pemahaman beliau tersebut. Beliau menyatakan :

وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } [ الشورى:11 ] بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”. وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل

” Adapun makna firman Allah Ta’ala : (yang artinya) : ‘Kemudian Dia (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy’. Maka manusia dalam hal ini terbagi dalam (perbedaan) pendapat yang sangat banyak. Bukanlah di sini tempat menjabarkannya. Sesungguhnya (jalan yang seharusnya ditempuh) adalah madzhab as-Salafus Sholih : Maalik, al-’Auzaa-i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syaafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahuyah, dan yang selain mereka dari para Imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yaitu : menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menetukan/menanyakan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil). Pemikiran yang tergambar dalam benak orang-orang yang menyerupakan Allah (dengan makhluk) ditiadakan dari Allah. Karena sesungguhnya tidak ada suatu makhlukpun yang serupa dengan Allah, dan : { Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah, dan Dialah (Allah) Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S Asy-Syuura:11) }. Bahkan, seperti yang diucapkan oleh para Imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad -salah seorang guru Imam al-Bukhari- berkata : “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya maka dia telah kafir, barangsiapa yang mengingkari segala yang telah Allah Sifatkan untuk diri-Nya maka dia kafir”, dan segala yang telah Allah Sifatkan diriNya maupun yang disifatkan oleh Rasulullah (untuk Allah) bukanlah penyerupaan (tasybih), barangsiapa yang menetapkan untuk Allah Ta’ala berdasarkan ayat – ayat yang jelas dan khabar-khabar (hadits) yang shohih, sesuai dengan Keagungan Allah Ta’ala, dan meniadakan kekurangan dari-Nya, maka dia telah menempuh jalan petunjuk”

(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal 426).

Dari penjelasan Ibnu Katsir tersebut jelaslah bahwa :

1. ‘Aqidah Ibnu Katsir sama dengan aqidah Ibnu Taimiyyah.
Dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu Katsir menyatakan bahwa Aqidah Salafus Sholeh (yang seharusnya diikuti) dalam Asma’ WasSifat Allah adalah :

menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menanyakan/menentukan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil)

sedangkan Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab arRisaalah atTadmuriyah halaman 4:

فالأصل في هذا الباب أن يوصف الله بما وصف به نفسه، وبما وصفته به رسله، نفيا وإثباتا، فيثبت لله ما أثبته لنفسه، وينفي عنه ما نفاه عن نفسه وقد علم أن طريقة سلف الأمة وأئمتها إثبات ما أثبته من الصفات من غير تكييف ولا تمثيل ومن غير تحريف ولا تعطيل وكذلك ينفون عنه ما نفاه عن نفسه

” Landasan utama dalam pembahasan ini adalah mensifatkan Allah sesuai dengan yang Allah sifatkan Dirinya dengan Sifat tersebut, dan dengan yang disifatkan oleh Rasul-Nya, baik dalam bentuk peniadaan ataupun penetapan. Maka ditetapkan untuk Allah sesuatu yang Allah tetapkan untuk DiriNya, dan meniadakan dari Allah sesuatu yang Allah tiadakan dari DiriNya. Telah diketahui bahwa metode Salaful Ummah dan para Imamnya adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan, tanpa takyiif, tidak pula tamtsiil, tanpa tahriif (menyimpangkan lafadz/maknanya), dan tidak pula menolak (ta’thiil). Demikian juga (para Imam tersebut) meniadakan apa yang Allah tiadakan terhadap DiriNya”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan dalam kitab al-Fatwa al-Hamawiyyah al-Kubro halaman 16 :

ومذهب السلف: أنهم يصفون الله بما وصف به نفسه وبما وصفه به رسوله من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل

” dan madzhab Salaf bahwasanya mereka mensifatkan Allah dengan apa yang Allah Sifatkan Dirinya, dan dengan apa yang RasulNya sifatkan tanpa tahrif (menyimpangkan lafadz/makna), tidak pula menolak, tanpa takyiif, dan tidak pula menyerupakan (dengan makhluk).

Pernyataan Ibnu Taimiyyah semacam ini bisa dilihat dalam kitab-kitab beliau yang lain semisal al-Aqiidah al-Wasithiyyah, Minhaajus Sunnah anNabawiyyah juz 3 halaman 129, Bayaanu Talbiis al-Jahmiyyah juz 2 halaman 40.

2. Aqidah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir tersebut adalah aqidah para Ulama’ Salaf.

Dalam penjelasan surat Al A’raaf ayat 54 tersebut, Ibnu Katsir menyatakan beberapa contoh Ulama’ terdahulu yang dijadikan sebagai rujukan, di antaranya :Imam Malik dan Ishaq bin Raahuyah. Kita akan lihat bagaimana penjelasan Imam Maalik dan Ishaq bin Raahuyah tersebut.

Imam Maalik menyatakan :

الإستواء معلوم والكيف مجهول والايمان به واجب والسؤال عنه بدعة

“al-Istiwaa’ sudah diketahui (dipahami maknanya secara bahasa Arab), kaifiyatnya tidak diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib, dan menanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah (Lihat Tadzkirotul Huffadz juz 1 halaman 209).

Ishaaq bin Raahuyah (dikenal juga sebagai Ishaaq bin Ibrahim) –salah seorang guru Imam al-Bukhari- menyatakan :

إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ

{ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

“Hanyalah dikatakan sebagai sikap penyerupaan (Allah dengan makhluk,pent) adalah jika seseorang menyatakan tangan (Allah) bagaikan tangan (makhluk), atau seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti (pendengaran) makhluk. Jika menyatakan bahwa pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka itu adalah sikap penyerupaan. Adapun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah : Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan tidak menyatakan ‘bagaimana’ (kaifiyatnya), dan tidak mengatakan seperti pendengaran (makhluk), maka yang demikian ini bukanlah penyerupaan. Yang demikian ini adalah sebagaimana yang Allah nyatakan dalam KitabNya :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada yang semisal denganNya suatu apapun, dan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Lihat Sunan AtTirmidzi bab Maa Jaa-a fi fadhli as-Shodaqoh juz 3 halaman 71).

Tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat AlBaqoroh ayat 210

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلَائِكَةُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ

“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan”(Q.S al-Baqoroh:210).

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya :

وقال أبو جعفر الرازي، عن الربيع بن أنس، عن أبي العالية: { هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ } يقول: والملائكة يجيئون في ظلل من الغمام، والله تعالى يجيء فيما يشاء

” dan berkata Abu Ja’far arRaazi dari arRabii’ bin Anas dari Abul ‘Aliyah : ( Q.S al-Baqoroh : 210 tsb) ” dan para Malaikat datang dalam naungan awan, dan Allah Ta’ala datang sesuai dengan kehendakNya”

Di dalam tafsir ayat tersebut Ibnu Katsir menukil pendapat Abul ‘Aliyah. Abul ‘Aliyah (nama aslinya adalah Rufai’ bin Mihran) adalah seorang Tabi’in murid dari beberapa Sahabat Nabi di antaranya : Umar bin alKhottob, Ali bin Abi Tholib, Ubay bin Ka’ab, Abu Dzar al-Ghiffary, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, Abu Musa, Abu Ayyub, Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 4 halaman 207). Perhatikanlah bahwa Abul ‘Aliyah menetapkan sifat ‘datang’ bagi Allah pada hari kiamat nanti sebagaimana yang Allah tetapkan dalam ayatNya tersebut tanpa melakukan tahrif (memalingkan) makna atau lafadznya seperti yang dilakukan golongan al-Asya-iroh (Asy-‘ariyyah). Pendapat Abul ‘Aliyah inilah yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sekaligus sebagai pemahaman beliau terhadap Asma’ WasSifat Allah.

Tafsir Ibnu Katsir Surat ArRahmaan ayat 26-27

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27)

Ibnu Katsir menyatakan :

وقد نعت تعالى وجهه الكريم في هذه الآية الكريمة بأنه ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ

” dan sungguh Allah Ta’ala telah mensifatkan WajahNya Yang Mulya di dalam ayat yang mulya ini sebagai ‘yang memiliki keagungan dan kemulyaan’

Di dalam tafsirnya tentang ayat ini Ibnu Katsir telah menetapkan Wajah bagi Allah, karena memang Allah sendiri yang menetapkannya dalam AlQur’an. Beliau tidak menolak, memalingkan maknanya, melakukan takyiif (menentukan/menayakan kaifiyatnya), ataupun menyamakannya dengan makhluk.

Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Fajr ayat 22

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر:22)

” dan datanglah TuhanMu sedang malaikat berbaris-baris”

Ibnu Katsir menyatakan :

وَجَاءَ رَبُّكَ يعني: لفصل القضاء بين خلقه

” dan datanglah Tuhanmu, yaitu : untuk mengadili para makhlukNya”

Dalam tafsir ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah datang secara hakikat. Beliau tidak melakukan tahrif, tidak pula takyiif, ta’thiil, dan tasybiih.

Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47

Sebagian orang menganggap Ibnu Katsir berpemahaman Asy’ariyyah karena menafsirkan ayat ini berdasarkan penjelasan Sahabat Nabi Ibnu Abbas. Dalam ayat ini Allah berfirman :

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya Kami benar-benar memperluasnya”

Ibnu Katsir menyatakan di dalam tafsirnya bahwa makna بِأَيْدٍ artinya adalah ‘dengan kekuatan’ sebagaimana perkataan Ibnu Abbas, Mujahid, Qotadah, atsTsaury dan selainnya.

Penafsiran ini dianggap sebagai pembenaran terhadap metode al-Asyaa-iroh (Asy’ariyyah) yang mentakwil ayat-ayat tentang Sifat Allah. Mereka menganggap kata بِأَيْدٍ adalah bentuk jamak dari kata يَدٌ yang berarti ‘tangan’. Padahal persangkaan itu adalah keliru.

Syaikh AsySyinqithy menjelaskan di dalam kitab tafsirnya Adl-waaul Bayaan:

قوله تعالى في هذه الآية الكريمة { بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } ، ليس من آيات الصفات المعروفة بهذا الاسم ، لأن قوله { بِأَيْدٍ } ليس جمع يد : وإنما الأيد القوة ، فوزن قوله هنا بأيد فعل ، ووزن الأيدي أفعل ، فالهمزة في قوله { بأَيْدٍ } في مكان الفاء والياء في مكان العين ، والدال في مكان اللام . ولو كان قوله تعالى : { بأَيْدٍ } جمع يد لكان وزنه أفعلاً ، فتكون الهمزة زائدة والياء في مكان الفاء ، والدال في مكان العين والياء المحذوفة لكونه منقوصاً هي اللام . والأيد ، والآد في لغة العرب بمعنى القوة ، ورجل أيد قوي ، ومنه قوله تعالى { وَأَيَّدْنَاهُ بروح القدس } [ البقرة : 87 و 253 ] أي قويناه به ، فمن ظن أنها جمع يد في هذه الآية فقد غلط غلطاً فاشحاً

” Firman Allah di dalam ayat yang mulya ini : { بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } bukanlah termasuk ayat-ayat tentang Sifat yang dikenal dengan isim (kata benda) ini. Karena kata بِأَيْدٍ bukanlah bentuk jamak dari يد (tangan). Sesungguhnya ia adalah (dari kata) الأيد yang berarti kekuatan. Maka wazan بِأَيْد di sini adalah فَعَلَ dan wazan الأيدي adalah أَفْعَلَ . Sehingga huruf hamzah dalam kata بِأَيْد menempati posisi fa’, ya’ pada posisi ‘ain, dan dal pada posisi lam. Kalau seandainya بِأَيْد jama’ dari يد maka wazannya adalah أفعلاً sehingga hamzah tambahan dan ya’ pada posisi fa’, dal pada posisi ‘ain, dan ya’ dibuang karena keberadaannya manqush pada posisi lam. Dalam bahasa Arab الأيد dan الآد bermakna kekuatan. (Seperti ucapan seseorang) ورجل أيد قوي, di antara (penggunaan kata ini) adalah dalam firman Allah :

وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ

” dan Kami kuatkan ia dengan Ruhul Qudus” (Q.S AlBaqoroh ayat 87 dan 253).

Maknanya adalah ‘Kami kuatkan ia dengannya’. Barangsiapa yang menyangka bahwa kata tersebut adalah bentuk jamak dari ‘tangan’ pada ayat ini, maka ia telah salah dengan kesalahan yang melampaui batas ( Lihat Tafsir Adlwaa-ul Bayaan juz 8 halaman 11).

Dari sini nampak jelaslah kesalahan dari tulisan yang ada di salah satu blog penentang Ahlussunnah pada tulisannya :

[[ Kemudian mengenai lafadz mutasyabihat biaidin (dengan tangan)

Artinya : " Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(bi aidin = Kekuasaan) Kami…." (Qs adzariyat ayat 47) ]]

sehingga penulis dalam blog penentang Ahlussunnah tersebut mengira Ibnu Katsir telah melakukan takwil terhadap ayat Sifat.

Demikianlah saudaraku kaum muslimin, dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpedoman dengan manhaj Salafus Sholeh dalam memahami ayat-ayat tentang Nama dan Sifat-Sifat Allah. Pemahaman beliau ini sama dengan pemahaman gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang sebenarnya pemahaman tersebut bukanlah manhaj baru. Bukanlah pemahaman yang diada-adakan oleh Ibnu Taimiyyah, namun pemahaman para Imam Ahlussunnah. Telah dikemukakan di atas ucapan-ucapan dari para Imam tersebut di antaranya Abul ‘Aliyah (seorang tabi’i murid para Sahabat Nabi), Imam Maalik (guru Imam AsySyaafi’i), Ishaq bin Raahuyah dan Nu’aim bin Hammad (dua-duanya adalah guru Imam al-Bukhari).

Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua………………..

Ditulis Oleh : Abu Utsman Kharisman untuk situs www.darussalaf.or.id

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN KE-IV) MELURUSKAN PEMAHAMAN TERHADAP HADITS – HADITS TENTANG TAWASSUL


MELURUSKAN PEMAHAMAN TERHADAP HADITS – HADITS
TENTANG TAWASSUL

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN KE-4 )

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang hanya kepadaNya segenap ibadah seharusnya dipersembahkan. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada teladan yang mulya, manusia terpilih, Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua…
Di salah satu blog penentang Ahlussunnah, terdapat tulisan yang berjudul :
Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah dan Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah. Di dalam tulisan tersebut, penulis berusaha memaparkan hadits-hadits yang dianggapnya sebagai dalil bolehnya bertawassul dengan ‘kedudukan’ (jah) para Nabi dan orang – orang Sholeh baik yang masih hidup maupun sudah meninggal. Sesungguhnya hadits-hadits yang disampaikan oleh penulis blog tersebut berkisar pada hadits shahih yang dipahami salah (ditempatkan tidak pada tempatnya) ataupun hadits lemah yang tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Pada bagian ini, InsyaAllah akan dipaparkan bantahan terhadap kesalahan pemahaman terhadap hadits-hadits yang shohih. Secara bertahap –biidznillah-, akan disingkap pula syubhat-syubhat lain terkait tawassul yaitu tentang hadits-hadits lemah dan palsu, maupun kisah-kisah dengan riwayat yang lemah dan dusta tentang tawassulnya para Salafus Sholih dengan orang yang sudah meninggal.
Mari kita simak kajian berikut ini untuk menyingkap syubhat-syubhat para penentang dakwah Ahlussunnah terkait hadits-hadits shohih tentang tawassul. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan hidayah kepada kita dan para pengelola blog penentang dakwah Ahlussunnah tersebut.

Syubhat ke-1: Hadits Utsman bin Hunaif

(Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah)
Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah :
[[
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadis yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jamaah akan dapat kita temui beberapa hadis yang menjelaskan tentang legalitas hal tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai contoh apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:
1- Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:

اللهم إني أسئلك و أتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلي ربي في حاجتي هذه لتُقضي اللهم فشفعه فيٍَ
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)

]]

Bantahan :

Hadits Utsman bin Hunaif (bukan ‘Hanif’, seperti yang disebutkan di blog penentang dakwah Ahlussunnah tsb) dijadikan dalil oleh mereka untuk melegalkan tawassul dengan ‘kedudukan’ (jah) Nabi atau orang sholih, baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Kalau kita kaji dengan seksama hadits tersebut dengan penjelasan para Ulama’ Ahlusunnah, disertai rujukan perbuatan para Sahabat Nabi, maka sama sekali pendalilan tersebut tidak benar.
Sebelumnya, perlu kita simak secara lengkap hadits tersebut :

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

“ dari Utsman bin Hunaif bahwasanya seorang laki-laki yang lemah penglihatan/ buta mendatangi Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan aku. Nabi menyatakan : Jika engkau mau, aku akan mendoakan kepadamu, (atau) jika engkau mau (sebaiknya) bersabar, maka itu adalah lebih baik bagimu. Orang itu berkata : Doakanlah. Maka kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk berwudlu dan membaguskan wudlu’nya dan berdoa dengan doa ini : ‘ Ya Allah, sesungguhnya aku menghadapkan diri kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi (yang diutus sebagai) rahmat, sesungguhnya aku meminta syafaat denganmu (Nabi Muhammad) kepada Tuhanku dalam kebutuhanku ini agar dipenuhi untukku. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku” (diriwayatkan oleh atTirmidzi,anNasaa-i, Ibnu Majah, Ahmad, al-Haakim).
Rujukan penerjemahan hadits tersebut kami ambilkan dari kitab Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan atTirmidzi yang disusun oleh Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarokfury.
Saudaraku kaum muslimin….
Alhamdulillah, para Ulama’ Ahlussunnah telah banyak yang menjelaskan makna hadits ini. Semoga Allah merahmati mereka….
Hadits ini bukanlah dalil yang menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kedudukan (jah) Nabi Muhammad atau orang sholih baik masih hidup, terlebih lagi sudah meninggal. Namun, hadits tersebut justru menunjukkan bolehnya seseorang bertawassul meminta agar seorang sholih yang masih hidup mendoakannya. Hadits ini juga menunjukkan disyariatkannya seseorang bertawassul dengan amal sholih yang dilakukannya sendiri.
Hal tersebut bisa dijelaskan dengan beberapa alasan berikut :
1. Orang tersebut datang langsung kepada Nabi minta didoakan. Sebagaimana ucapannya : : “Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan aku”.
2. Nabi Muhammad kemudian mendoakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut bahwa Nabi bersabda : Jika engkau mau, aku akan mendoakan kepadamu. Kemudian orang tersebut minta didoakan oleh Nabi dengan menyatakan : Doakanlah.
3. Orang tersebut diperintahkan oleh Nabi untuk berwudlu’, kemudian sholat 2 rokaat (sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah dan al-Haakim), kemudian berdoa. Dalam doanya itu ia meminta kepada Allah : “Ya Allah, terimalah syafaatnya (doanya) untukku”.
Dalam riwayat Ahmad dari jalur periwayatan : Rouh dari Syu’bah dari Abu Ja’far al-Madiini dari ‘Umaaroh bin Khuzaimah bin Tsabit terdapat lafadz :

وَتُشَفِّعُنِي فِيهِ وَتُشَفِّعُهُ فِيَّ
“…dan Engkau (Ya Allah) mengabulkan doaku untuknya (Nabi Muhammad) dan mengabulkan doanya (Nabi Muhammad) untukku” (Lihat Musnad Ahmad juz 35 halaman 110).
Demikian juga dalam riwayat al-Haakim disebutkan lafadz :
اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِيْهِ
“ Ya Allah, kabulkanlah doa (syafaatnya) untukku dan kabulkanlah doaku untuknya” (Lihat Mustadrak juz 3 halaman 202).
Dalam 2 lafadz riwayat Ahmad dan al-Hakim tersebut nampak jelas bahwa untuk tercapainya keinginan sembuhnya laki-laki tersebut terdapat 2 hal penguat : doa Nabi terhadap laki-laki itu, kemudian sholat dan doa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut. Dua hal itu dilakukan secara sinergis dan saling menguatkan. Terkumpullah padanya 2 tawassul masyru’ (sesuai syar’i) yang tidak dilarang maupun dituntunkan Nabi, yaitu meminta kepada orang sholih yang masih hidup untuk mendoakannya, dan tawassul dengan amal sholih yang dilakukan.
Jika timbul pertanyaan : ‘ Apakah tidak cukup doa Nabi saja?’ Bukankah doa Nabi mustajabah? Maka jawabannya : benar, tidak diragukan lagi, doa Nabi adalah mustajabah. Namun, dengan tingginya kemurnian tauhid Nabi kepada Allah, tawadlu’nya Nabi, serta kasih sayangnya pada ummat, Nabi membimbing agar seseorang yang ingin tercapai keinginannya tersebut juga mendukung doa Nabi dengan amal sholih. Contoh yang mirip dengan kondisi ini adalah yang terjadi pada Sahabat Rabi’ah bin Ka’ab yang setia membantu Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَبِيعَةَ بْنَ كَعْبٍ الْأَسْلَمِيَّ قَالَ كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“ dari Abu Salamah beliau berkata : ‘Saya mendengar Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslamy berkata : ‘Aku pernah menginap bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka aku membawakan untuk beliau air wudlu’ dan keperluan beliau. Maka Rasul bersabda kepadaku : ‘Mintalah’. Aku berkata : ‘ Aku meminta menjadi orang yang dekat denganmu di Jannah (surga). Nabi menyatakan : ‘apa lagi’. Aku mengatakan : itu saja. Nabi bersabda : Bantulah aku untuk dirimu dengan memperbanyak sujud (sholat)( diriwayatkan Muslim).
Dalam riwayat Ahmad dari jalur periwayatan Ya’qub dari ayahnya dari Ibnu Ishaq dari Muhammad bin ‘Amr bin Atho’ dari Nu’aim al-Mujmir disebutkan bahwa Rabi’ah bin Ka’ab ketika ditawari oleh Rasulullah, beliau meminta tangguh dulu untuk berpikir. Setelah berpikir, beliau memutuskan permintaan yang terkait dengan kehidupan akhirat. Rabi’ah bin Ka’ab menyatakan :
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَسْأَلُكَ أَنْ تَشْفَعَ لِي إِلَى رَبِّكَ فَيُعْتِقَنِي مِنْ النَّارِ
“Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu untuk memberi syafaat (berdoa) untukku kepada Tuhanku sehingga menyelamatkanku dari anNaar (neraka)”.
Kemudian, disebutkan juga dalam hadits tersebut :
فَصَمَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ لِي إِنِّي فَاعِلٌ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ
بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“ maka Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam terdiam lama kemudian berkata kepadaku : ‘Aku akan melakukannya’, maka tolonglah aku terhadap dirimu dengan memperbanyak sujud (sholat) “ (Lihat Musnad Ahmad juz 33 halaman 351).
Dalam riwayat Ahmad tersebut nampak jelas bahwa Nabi mendoakannya, sekaligus meminta kepada Rabi’ah bin Ka’ab untuk menunjang terkabulnya doa itu dengan memperbanyak amal sholih yaitu sholat. Dari sini, terbantahlah anggapan bahwa hadits ‘Utsman bin Hunaif adalah dalil bolehnya bertawassul dengan ‘kedudukan’ (jah) orang sholih.
Jika timbul pertanyaan : bukankah dalam doa yang dibaca oleh orang yang buta/ lemah penglihatan itu terdapat lafadz :

وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
“ dan aku menghadapkan diri kepadaMu (Ya Allah) dengan NabiMu Muhammad Nabi (yang diutus dengan membawa) rahmat”
yang menunjukkan bolehnya bertawassul dengan ‘kedudukan’(jah)/dzat Nabi, karena lafadz ‘dengan NabiMu’ ?
Maka jawabannya adalah : tidak. Lafadz tersebut tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan dzat/kedudukan Nabi. Hal ini disebabkan adanya bagian kata yang sebenarnya tersirat, tidak terlafadzkan, dan bisa diperkirakan. Atau dalam bahasa Arab disebut sebagai sesuatu yang mahdzuf. Sehingga sebenarnya jika kata yang tersirat tersebut juga diikutkan, maka lafadznya adalah sebagai berikut :
وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِِ (دُعَاءِ) نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
“dan aku menghadapkan diri kepadaMu (Ya Allah) dengan <> NabiMu Muhammad Nabi (yang diutus dengan membawa) rahmat”.
Mengapa demikian? Karena banyak lafadz dalam al-Qur’an yang memiliki struktur seperti itu, dalam arti ada bagian kata yang tersirat dan tidak dilafadzkan, namun bisa diperkirakan. Sebagai contoh, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan :
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (يوسف:82)
Secara lafadz, jika diterjemahkan ayat tersebut berarti :
“Dan <> yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”(Q.S Yusuf:82)
sebenarnya, ada bagian kata yang tersirat yang tidak terlafadzkan, yaitu ‘penduduk’. Sehingga, semestinya terjemahannya adalah :
“Dan <> yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”
(Lihat Tafsir Zaadul Masiir karya Ibnul Jauzi tentang ayat ini).
Kalau ada pertanyaan : ‘mengapa bagian kata yang diperkirakan dalam hadits itu adalah : ‘doa’, bukan kata yang lain? Maka jawabannya adalah :
1. Karena adanya qoriinah (indikasi) kuat yang terlihat dalam lafadz hadits itu maupun pada lafadz dalam riwayat yang lain. Sudah dijelaskan di atas bahwa seorang laki-laki itu datang minta didoakan Nabi, kemudian Nabi memberi pilihan : didoakan atau bersabar. Selain itu, kalimat akhir dari doa itu, laki-laki tersebut menyatakan : ‘Yaa Allah terimalah syafaatnya (doanya) untukku’. Hal ini semakin dikuatkan dengan riwayat Ahmad dan al-Hakim.
2. Struktur kalimat doa laki-laki yang mendatangi Nabi tersebut sama dengan struktur kalimat yang dibaca oleh Umar bin al-Khottob ketika bertawassul dengan doa Abbas paman Nabi. Sepintas secara lafadz orang akan mengira bahwa Umar bertawassul dengan dzat Nabi dan dzat Abbas, padahal tidaklah demikian. Umar bertawassul dengan doa Abbas, bukan dzat/ kedudukannya. InsyaAllah akan dikaji lebih lanjut pada bantahan terhadap syubhat yang ke-2.
Dari penjelasan tersebut terbantahlah sisi pendalilan hadits ini untuk membolehkan bertawassul dengan kedudukan (jah) Nabi ataupun orang sholih. Perlu dipahami, bahwa ketika kita mengingkari tawassul dengan kedudukan (jah) Nabi, tidaklah berarti bahwa kita mengingkari tingginya kedudukan Nabi di sisi Allah. Tidak diragukan lagi, dan keyakinan ini harus ada pada setiap muslim, bahwa Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Kedudukan dan keutamaan Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam lebih tinggi di sisi Allah dibandingkan Nabi Musa’ ‘alaihissalaam yang Allah nyatakan :
…وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا
“…Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah”(Q.S al-Ahzaab: 69).
Selain itu, terbantah pula sisi pendalilan dari tulisan di blog penentang Ahlussunnah tersebut yang menyatakan bolehnya bersumpah atas Nabi. Tertulis dalam blog tersebut :
[[

Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi (بمحمد) adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut syariat Islam)

]]
Perlu dipahami, bahwa tidak boleh bagi seorang muslim untuk bersumpah atas nama selain Allah. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“ Barangsiapa yang bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau diam” (Muttafaqun ‘alaih).
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“ Barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah maka sungguh dia telah kafir atau syirik” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, atTirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar).
Penjelasan di atas juga merupakan bantahan terhadap anggapan atau tuduhan bahwa Ahlussunnah mengingkari orang yang meminta didoakan oleh orang sholih yang masih hidup. Terbukti secara dalil dari hadits Utsman bin Hunaif tersebut dan masih banyak lagi hadits shahih yang lain yang menunjukkan bahwa meminta kepada orang sholih yang masih hidup untuk didoakan adalah suatu hal yang diperbolehkan.

Syubhat ke-2: Hadits Umar bin al-Khottob bertawassul dengan doa Abbas
Di dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah, pada tulisan yang berjudul :
Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah terdapat pernyataan :
[[

2- Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:

للهم كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا و إنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا. قال: فيسقون”
(Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat Rasul- melakukan hal yang pernah diajarkan Rasul kepada para sahabat mulia beliau. Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah mati adalah ‘haram’ (entah karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada konsekuensi di situ

]]

Bantahan :
Sama dengan penjelasan terhadap hadits Utsman bin Hunaif di atas, sesungguhnya Umar bin al-Khottob tidaklah bertawassul dengan dzat/ kedudukan Nabi maupun Abbas. Coba kita simak ucapan ‘Umar bin al-Khottob tersebut :
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“ Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami sehingga kemudian Engkau turunkan hujan, dan sesungguhnya kami (kini) bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”

Kalimat :
بِنَبِيِّنَا
“ dengan Nabi kami”
mengandung kata tersirat yang sebenarnya adalah ‘doa’, sehingga diartikan sebagai
بِ ( دُعَاءِ ) نَبِيِّناَ
“ dengan (doa) Nabi kami “
Mengapa demikian? Karena memang telah jelas bahwa dulunya para Sahabat bertawassul agar turun hujan dengan meminta kepada Nabi untuk berdoa, bukannya berdoa kepada Allah dengan menyebutkan jah atau dzat Nabi. Bukankah telah terdapat dalam hadits :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ جُمُعَةٍ مِنْ بَابٍ كَانَ نَحْوَ دَارِ الْقَضَاءِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ فَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعْتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“ dari Anas bin Malik bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari Jumat dari pintu arah Daarul Qodho’ sedangkan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sedang berdiri berkhutbah, kemudian laki-laki itu menghadap Rasul dalam keadan berdiri kemudian berkata : Wahai Rasulullah telah binasa harta-harta dan telah terputus jalan-jalan. Doakanlah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kita. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya, kemudian berdoa : Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami” (Muttafaqun ‘alaih: disepakati oleh AlBukhari dan Muslim).
Tidaklah ternukil sedikitpun dalam hadits yang shohih ataupun hasan yang menunjukkan bahwa para Sahabat bertawassul dengan dzat Nabi, baik saat beliau masih hidup, terlebih lagi saat beliau sudah meninggal dunia.
Demikian juga, kalimat dalam ucapan Umar :
بِعَمِّ نَبِيِّنَا
“ dengan paman Nabi kami”
mengandung kata tersirat yang sebenarnya adalah ‘doa’, sehingga diartikan sebagai :
بِ ( دُعَاءِ ) عَمِّ نَبِيِّنَا
“dengan (doa) paman Nabi kami”
karena tidaklah disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa Umar sendiri yang kemudian berdoa dan bertawassul dengan menyebut dzat Abbas, tapi justru Abbas yang kemudian berdoa. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dengan menukil penjelasan az-Zubair bin Bakkar, bahwa Abbas kemudian berdoa :
اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِل بَلَاء إِلَّا بِذَنْبٍ ، وَلَمْ يُكْشَف إِلَّا بِتَوْبَةٍ ، وَقَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْم بِي إِلَيْك لِمَكَانِي مِنْ نَبِيّك ، وَهَذِهِ أَيْدِينَا إِلَيْك بِالذُّنُوبِ وَنَوَاصِينَا إِلَيْك بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا الْغَيْث
“ Ya Allah sesungguhnya tidaklah turun bala’ kecuali karena dosa, dan tidaklah disingkap (bala’ tersebut) kecuali dengan taubat. Dan sungguh kaum ini telah menghadapkan diri mereka kepadaMu denganku karena kedudukanku dari NabiMu, dan tangan-tangan kami itu (berlumur) dosa, sedangkan ubun-ubun kami menghadap (menuju) Engkau dengan taubat, maka turunkanlah hujan kepada kami” (Lihat Fathul Baari juz 3 halaman 443).
Perhatikanlah saudaraku kaum muslimin….
Umar tidaklah bertawassul kepada Nabi setelah beliau meninggal karena memang dengan ketinggian ilmunya, Umar tahu bahwa hal itu dilarang. Sehingga kemudian beliau bertawassul dengan doa Abbas yang masih hidup. Tidaklah ternukil sedikitpun dalam hadits yang shohih ataupun hasan bahwa para Sahabat pernah bertawassul dengan Nabi setelah Nabi meninggal.
Siapakah yang berani meragukan kecintaan dan pengagungan para Sahabat terhadap Nabi? Demikian besarnya pengagungan dan kecintaan tersebut, sampai – sampai para Sahabat merasa sangat tidak pantas jika mereka menjadi Imam sholat dalam keadaan Rasul menjadi makmum. Sungguh indah pelajaran yang bisa diambil dari hadits Muttafaqun ‘alaih dari Sahl bin Sa’ad as-Saa’idy ketika Rasulullah pergi ke Bani ‘Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan perselisihan di sana. Pada saat sudah masuk waktu sholat dan Rasul belum datang, para Sahabat meminta Abu Bakar menjadi Imam. Abu Bakar pun maju menjadi Imam. Ketika Rasul datang dan masuk dalam shof, para Sahabat yang menjadi makmum memberi isyarat kepada Abu Bakar agar mundur dan memberikan peluang kepada Rasul untuk maju menjadi Imam. Ketika banyak Sahabat yang memberi isyarat dengan bunyi tepukan tangan, Abu Bakr menoleh dan beliau melihat Rasul ada pada shof. Rasul sebenarnya memerintahkan kepada Abu Bakr untuk tetap menjadi Imam, tapi Abu Bakar tidak mau. Beliau mundur, agar Rasul bisa maju menggantikannya sebagai Imam. Selepas sholat, Abu Bakr ditanya oleh Nabi : ‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau tidak tetap saja di tempatmu (sebagai Imam) ketika aku perintahkan?’ Abu Bakar menjawab :

مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ tidak sepantasnya bagi Ibnu Abi Quhaafah (Abu Bakr) untuk sholat di depan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam” ( faidah hadits ini disampaikan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albaany dalam kitab at-Tawassul Anwaa-‘uhu wa Ahkaamuhu).
Sehingga, terbantahlah persangkaan orang yang mengatakan : Sesungguhnya para Sahabat tidaklah bertawassul kepada Nabi setelah meninggalnya Nabi sekedar berpindah dari suatu hal yang utama menuju suatu hal yang boleh (tidak lebih utama). Bukankah tidak mengapa bagi Abu Bakr untuk menjadi Imam bagi Rasul karena beliau sendiri yang memerintahkan untuk tetap pada tempatnya? Tapi Abu Bakr merasa tidak pantas. Sebagaimana jika bertawassul kepada Nabi adalah disyariatkan meskipun beliau sudah meninggal, maka para Sahabat tidaklah akan berpindah menuju tawassul ke orang yang lain, karena demikian mulyanya kedudukan Nabi bagi para Sahabatnya.
Jika belum cukup contoh dari Umar (yang tidak bertawassul kepada orang yang meninggal namun meminta didoakan orang Sholih yang masih hidup), maka bagaimana dengan tawassulnya Sahabat Nabi Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada seorang Tabi’i Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi agar mau berdoa memintakan turunnya hujan. Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam kitab Karomaatul Awliyaa’ karya Al-Laalikaa-i juz 1 halaman 191, juga disebutkan dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya al-Hafidz AdzDzahaby juz 4 halaman 137 :

عن سليم بن عامر قال: خرج معاوية يستسقي، فلما قعد على المنبر، قال: أين يزيد بن الأسود ؟ فناداه الناس، فأقبل يتخطاهم. فأمره معاوية، فصعد المنبر، فقال معاوية: اللهم إنا نستشفع إليك بخيرنا وأفضلنا يزيد بن الاسود، يا يزيد، ارفع يديك إلى الله.فرفع يديه ورفع الناس فما كان بأوشك من أن ثارت سحابة كالترس، وهبت ريح، فسقينا حتى كاد الناس أن لا يبلغوا منازلهم

“ dari Sulaim bin ‘Amir beliau berkata : Mu’awiyah keluar untuk istisqa’, ketika telah naik ke atas mimbar beliau berkata : Mana Yazid bin al-Aswad ? Maka manusiapun memanggilnya, sehingga Yazid bin al-Aswad datang menghadap, maka Mu’awiyah memerintahkan kepadanya maka ia naik mimbar. Mu’awiyah berkata : Ya Allah sesungguhnya kami meminta syafaat kepadaMu dengan manusia yang terbaik dan paling utama di antara kami Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkat tanganmu kepada Allah. Maka Yazid mengangkat tangannya (berdoa) dan manusiapun mengangkat tangannya (berdoa). Tidak berapa lama menjadi basahlah awan bagaikan at-tirs, dan angin bertiup kencang. Maka turunlah hujan kepada kami, sampai-sampai manusia hampir-hampir tidak bisa mencapai tempat tinggalnya”.
Lihatlah, bagaimana Sahabat Nabi Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidaklah bertawassul kepada Nabi yang sudah meninggal, tidak pula bertawassul kepada para Sahabat Nabi lain yang juga sudah banyak meninggal. Tapi justru beliau meminta Yazid bin al-Aswad seorang sholih yang masih hidup pada saat itu untuk berdoa.
Kalau kita menyebutkan contoh dari Sahabat Mu’awiyah ini, akan ada yang mencibir : ‘kok pakai contoh Mu’awiyah?’ Kemudian dia akan mencela dan mencemooh Sahabat Nabi Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Demikian jauhnya umat dari bimbingan Ulama’ Ahlussunnah sehingga demikian mudah kaum muslimin termakan syubhat kaum syiah yang menjelek-jelekkan para Sahabat Nabi, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Maka pada kesempatan kali ini sedikit kami akan uraikan beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang kita mencerca para Sahabatnya :
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“ Janganlah kalian mencela Sahabatku, demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, kalau seandainya kalian berinfaq emas sebesar Uhud, niscaya tidak akan bisa menyamai infaq satu mud mereka tidak juga setengahnya” (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَعَنَ اللهُ مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ
“ dari ‘Aisyah beliau berkata : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian mencela para sahabatku’. Allah melaknat orang yang mencela para sahabatku’ (diriwayatkan atThobaroony).
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sekertaris Nabi, penulis wahyu. Dalil yang menunjukkan bahwa Mu’awiyah adalah penulis wahyu yang mendampingi Nabi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan meminta 3 hal kepada Nabi, di antaranya agar Nabi menjadikannya sebagai penulisnya dan Nabi menyanggupinya (Lihat Shahih Muslim pada Bab min Fadhaaili Abi Sufyan bin Harb radliyallahu ‘anhu’)
Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berdoa untuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan :
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya Allah jadikanlah ia sebagai pemberi petunjuk yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ia hidayah dengannya” (H.R atTirmidzi).
اللَّهُمَّ عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“ Ya Allah ajarkanlah kepada Mu’awiyah al-Kitab, perhitungan, dan lindungilah ia dari adzab” (H.R Ahmad).
Demikianlah saudaraku kaum muslimin….
Penjelasan di atas menunjukkan 2 hadits shohih yang digunakan sebagai argumen untuk membolehkannya tawassul dengan jah orang yang sholih adalah tidak pada tempatnya. Justru hal itu merupakan bantahan terhadap mereka. Dalil-dalil tersebut diarahkan untuk membolehkan tawassul dengan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Pada tulisan selanjutnya, InsyaAllah akan dijelaskan hadits-hadits lemah dan palsu yang mereka jadikan sandaran, dilanjutkan dengan bantahan terhadap kisah-kisah dengan riwayat yang lemah atau palsu bahwa para Salafus Sholih bertawassul dengan orang-orang yang meninggal dunia.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua…..

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk situs www.darussalaf.or.id.

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN V ) HADITS / ATSAR LEMAH DAN PALSU TENTANG TAWASSUL (I)


Alhamdulillah, segenap puji hanya untuk Allah. Dialah satu-satunya Yang Maha Berkuasa, dan hanya kepadaNyalah seharusnya segenap doa dihaturkan. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada teladan mulia, manusia paling taqwa, Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Saudaraku kaum muslimin….
Pada tulisan ini insyaAllah akan disajikan kajian ilmiah tentang hadits ataupun atsar yang lemah dan palsu yang dijadikan dalil oleh penulis blog yang menentang dakwah Ahlussunnah dalam tulisannya yang berjudul: Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah dan Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah. Istilah ‘hadits’ dalam kajian kita ini adalah untuk khabar yang dinisbatkan kepada Nabi (berupa perbuatan, perkataan, atau persetujuan beliau), sedangkan ‘atsar’ adalah untuk yang dinisbatkan kepada para Sahabat Nabi.
Perlu dipahami bahwa Ahlussunnah tidaklah menentang tawassul secara mutlak. Ahlussunnah meyakini adanya tawassul yang disyariatkan, seperti tawassul dengan menyebut Asma’ dan Sifat Allah, tawassul dengan menyebutkan kelemahan dirinya, tawassul dengan melakukan amal sholih, atau meminta kepada orang sholih yang masih hidup untuk mendoakannya. Sehingga salahlah anggapan penulis blog lain yang juga menentang Ahlussunnah dalam tulisannya berjudul ‘Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul’. (Blog ini juga banyak menyebutkan riwayat yang lemah atau palsu, dan akan kita kaji juga dalam tulisan ini, InsyaAllah).
Hal yang diingkari oleh Ahlussunnah adalah tawassul yang tidak disyariatkan seperti tawassul terhadap kedudukan (jah) orang-orang sholih ataupun tawassul terhadap orang yang sudah meninggal. Penulis blog penentang dakwah Ahlussunnah tersebut menggiring opini pembaca untuk menyetujui bahwa tawassul dengan orang yang sudah meninggal adalah boleh. Padahal, sebenarnya tidak ada hadits maupun atsar yang shohih yang menunjukkan hal itu..

(Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah)

Syubhat ke-1 : Hadits Anas bin Malik saat Fathimah binti Asad Meninggal Dunia

Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah :
[[

3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:

لله الذي يحي و يميت و هو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي”

(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.

]]

Bantahan :

Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Thobaroony dalam Mu’jamul Kabiir dan Mu’jamul Awsath, juga oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’ dari jalur Rouh bin Sholaah dari Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim al-Ahwal dari Anas bin Maalik. Perawi yang bernama Rouh bin Sholaah dilemahkan oleh banyak Ulama’. Di antaranya adalah Ad-Daaruquthny, Ibnu ‘Adi (lihat ‘al-Kaamil’(3/1005)), Ibnu Maakuula. Ibnu Yunus menyatakan di dalam Taarikh al-Ghurbaa’ : ‘dia meriwayatkan riwayat-riwayat yang munkar’.
Ulama’ yang menganggapnya tsiqoh (terpercaya) hanyalah Ibnu Hibban dan al-Haakim. Namun penilaian ke-tsiqohan tersebut dalam hadits ini tidak bisa diterima karena :
1. Pendapat Ibnu Hibban dan al-Haakim menyelisihi banyak ulama’ lain yang telah disebutkan di atas.
2. Ibnu Hibban dan al-Haakim dikenal sebagai mutasaahil (terlalu bermudah-mudahan) dalam penilaian tsiqah. Ibnu Hibban banyak meletakkan perawi dalam kitabnya ats-Tsiqaat yang sebenarnya majhuul (tidak dikenal).
As-Sakhowy –murid al-Hafidz Ibnu Hajar- menyatakan dalam Fathul Mughits juz 1 halaman 35 :
وابن حبان يداني الحاكم في التساهل
“ dan Ibnu Hibban mendekati al-Haakim dalam hal ‘tasaahul’ (menggampangkan)
بل ربما يخرج للمجهولين
“ bahkan kadang-kadang mengeluarkan (perawi) yang (masuk kategori) tidak dikenal”
3. Ibnu Hibban menyatakan dalam kitabnya ats-Tsiqoot tentang Rouh bin Sholaah :
روح بن صلاح: من أهل مصر، يروي عن يحيى بن أيوب، وأهل بلده، روى عنه محمد بن إبراهيم البوشنجي، وأهل مصر
“Rouh bin Sholaah termasuk penduduk Mesir. Meriwayatkan dari Yahya bin Ayyub dan penduduk negerinya. Orang yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Ibrahim al-Buusyinji dan penduduk Mesir” (Lihat Ats-Tsiqoot juz 8 halaman 244).
Perhatikanlah, bahwa sebenarnya Rouh bin Sholaah menurut biografi yang ditulis Ibnu Hibban seharusnya meriwayatkan hadits dari Yahya bin Ayyub atau penduduk negerinya yaitu Mesir. Sedangkan dalam hadits tentang tawassul tersebut Rouh bin Sholaah meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury yang sebenarnya adalah penduduk Iraq, bukan Mesir. Sehingga hadits ini termasuk riwayat munkar dari Rouh bin Sholaah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil.

Syubhat ke-2 : Pujian Sawaad bin Qoorib

[[

Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan:
و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)

]]

Bantahan :
Sebelum kita mengkaji periwayatan dari kisah ini, perlu kita pahami bahwa sebenarnya pujian dari Sawad bin Qoorib tersebut tidaklah bisa dijadikan dalil untuk membolehkan tawassul terhadap orang yang sudah meninggal. Hal ini disebabkan karena :
1. Pujian itu dilontarkan langsung di hadapan Nabi saat beliau masih hidup.
2. Isi dari pujian tersebut di antaranya :
وكن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة
“ Jadilah pemberi syafaatku pada hari di mana tidak ada pemberi syafaat”
Tentunya tidak ada permasalahan dengan ungkapan ini karena memang pemberian syafaat Nabi bagi umatnya di hari kiamat tidaklah diingkari oleh Ahlussunnah. Tidak ada kaitannya dengan tawassul terhadap orang yang sudah meninggal.
Apalagi ternyata riwayat tersebut sangat lemah, meskipun jalur periwayatannya lebih dari satu. Kita akan simak satu persatu.
a) Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqy dalam Dalaailun Nubuwwah (2/34).
Di dalam perawinya terdapat Ziyaad bin Yaziid bin Baadawaih dan Muhammad bin Turos al-Kuufi. Al-Hafidz Adz-Dzahaby menyatakan di dalam ‘at-Taarikh’ (1/206):
هذا حديث منكر
“ ini adalah hadits yang munkar”
ومحمد بن تراس وزياد مجهولان لاتقبل روايتهما وأخاف أن يكون موضوعا على أبي بكر بن عياش
“ dan Muhammad bin Turos dan Ziyad adalah tidak dikenal, tidak diterima periwayatannya, dan aku khawatir ini termasuk kepalsuan atas Ali Abu Bakr bin ‘Ayyasy”
b) Riwayat Abu Ya’la yang diriwayatkan Ibnu Katsir dalam ‘as-Sirah al-Muthowaalah’ . Ibnu Katsir berkata :
هذا منقطع من هذا الوجه
“(jalur) ini terputus dari sisi ini”
وقد أوضح الذهبي في تاريخ الإسلام (1/207-208) علة هذه الطريق فقال:” أبو عبد الرحمن اسمه عثمان بن عبد الرحمن الوقاصي متفق على تركه وعلي بن منصور فيه جهالة مع أن الحديث منقطع
“ dan AdzDzahaby telah menjelaskan dalam Tarikh al-Islam (1/207-208) cacat jalur ini. Beliau berkata : Abu Abdurrahman namanya adalah Utsman bin Abdirrahman alWaqqoshi, disepakati untuk ditinggalkan. Sedangkan Ali bin Manshur tidak dikenal. Selain itu (sanad) hadits ini terputus”
c) Riwayat Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (2/628) :
Adz-Dzahaby menyatakan dalam Taarikhul Islam (1/208) :
فيه سعيد يقول أخبرني سواد بن قاربة وبينهما انقطاع وعباد ليس بثقة يأتي بالطامات
“ di dalamnya ada Sa’id yang berkata : telah mengabarkan kepadaku ‘Sawaad bin Qooribah’ padahal di antara keduanya terputus. Sedangkan ‘Abbad bin Abdis Shomad tidak terpercaya, biasa datang dengan bencana-bencana”
d) Riwayat Muhammad bin as-Saaib al-Kalby.
Muhammad bin as-Saaib al-Kalby dinyatakan oleh al-Bukhari : “ia ditinggalkan oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu Mahdi. Al-Jauzaqoony menyatakan : ia pendusta. Ad-Daaruquthny menyatakan : matruk (ditinggalkan) (Lihat atTaqriib (hal 415)).
e) Riwayat Abu Bakr Muhammad bin Ja’far bin Sahl al-Khoro-ithy.
Terdapat syair tersebut, tapi tidak ada kata-kata :
“ Jadilah pemberi syafaatku pada hari di mana tidak ada pemberi syafaat”
f) Riwayat al-Fadhl bin ‘Isa al-Qurosyi dari al-Alaa’ bin Yazid.
As-Suyuthy menyatakan di dalam Syarh Syawaahidul Mughni (2/255):
والعلاء بن يزيد المديني كان يضع الحديث وقال البخاري وغيره: ” منكر الحديث “
“ dan al-Alaa’ bin Yaziid al-Madiini suka memalsukan hadits. AlBukhari dan yang selainnya berkata : ‘munkarul hadits’ .
g) Riwayat al-Hasan bin Sufyan di dalam Musnadnya dari jalur al-Hasan bin Umaaroh.
As-Suyuuthy di dalam Syarh Syawaahidul Mughni (2/255) menyatakan : al-Hasan bin ‘Umaaroh sangat lemah. Ahmad menyatakan : matruk (ditinggalkan), Ibnul Madiini berpendapat bahwa ia suka memalsukan hadits.

Syubhat ke-3 : Tawassul Nabi Adam ‘alaihissalaam terhadap Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam

Syubhat ini disampaikan dalam tulisan berjudul ‘Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul’

Dalam tulisan itu dinyatakan :

[[
3. Dalam Surat Al-Baqarah :37, mengenai Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Keterangan :
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.. Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) diatas. Menurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
]]
Bantahan :
Penulis di blog tersebut mengisyaratkan adanya perbedaan pendapat Ulama’ tentang hadits ini ada yang menshohihkan, mendhaifkan, bahkan menyatakan maudlu’. Tapi pembaca tidak diarahkan pada tarjih pendapat yang benar, untuk menggiring opini bahwa pada perbedaan pendapat yang semacam ini, sikap toleranlah yang mesti ditanamkan. Padahal pendapat Ulama’ menshohihkannya adalah pendapat yang sangat lemah dan tidak bisa dianggap. Berikut penjelasannya:
Hadits tersebut memang dishahihkan oleh al-Haakim, namun Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu), karena di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Perawi ini dikatakan oleh Imam al-Bukhari sebagai munkarul hadits. Perawi ini juga dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, Abu Haatim, An-Nasaa-i, Ad-Daaruquthni, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ibnul Jauzy (lebih lengkap bisa disimak dalam kitab Ad-Dlu-afaa’ wal matrukiin karya Imam AnNasaai (1/66) dan Ibnul Jauzy (2/95), Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal karya AdzDzahabi (3/155)). Ternyata, Imam al-Haakim dalam kitab al-Mustadrak itu sendiri ketika menyebutkan hadits yang lain dan di dalamnya ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tidak menshahihkannya, bahkan menyatakan : “Dua syaikh (alBukhari dan Muslim ) tidak pernah menggunakan hadits sebagai hujjah jika di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid”( Lihat Mustadrak (3/332)). Di dalamnya juga ada perawi Abdullah bin Aslam al-Fihry yang tidak dikenal di kalangan ahlul hadits.
Hal yang semakin menguatkan hujjah bahwa hadits itu palsu (bukan sabda Rasulullah) adalah ketidaksesuaiannya dengan ayat AlQuran dan tafsir ayat tersebut dari Sahabat Nabi yang mulya. Dalam AlQuran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Baqoroh: 37). Ibnu Abbas – sahabat Nabi yang mulya – menafsirkan ayat ini dalam atsar yang diriwayatkan oleh al-Haakim (3/545): (Nabi Adam berkata) : “ Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan aku dengan TanganMu? Allah berfirman : Ya, benar. Adam menyatakan : ‘Bukankah Engkau tiupkan ruh kepadaku (yang termasuk ciptaanMu)?Allah berfirman : Ya, benar. Adam mengatakan : ‘Wahai Tuhanku, bukankah Engkau (sebelumnya) telah menjadikan aku menghuni surga?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Bukankah RahmatMu mendahului kemurkaanMu ?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Apakah kalau aku bertaubat dan memperbaiki perbuatanku aku akan kembali ke surga?’ Allah. Allah menyatakan : ‘Ya, benar’ “. (Ibnu Abbas berkata ) : (Ucapan-ucapan tersebut) adalah sebagaimana yang Allah firmankan : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya…”(Q.S AlBaqoroh : 37). Al-Haakim menyatakan : “sanad riwayat ini shohih, dan disepakati keshahihannya oleh Adz-Dzahabi.). Maka dengan penjelasan tafsir dari Sahabat Nabi Ibnu Abbas tersebut, tertolak pulalah riwayat-riwayat lemah maupun maudlu’ lainnya tentang bertawassulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad ketika bertaubat atas kesalahannya. Para Ulama’ ahlut tafsir yang lain menjelaskan bahwa yang diucapkan oleh Nabi Adam ketika bertaubat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang lain (yang artinya): “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”(Q.S Al-A’raaf:23). Para Ahlut Tafsir yang berpendapat demikian di antaranya adalah : Mujaahid, Sai’id bin Jubair, Abul ‘A-aliyah, ar-Rabi’ bin Anas, al-Hasan al-Bashri, Qotaadah
Syubhat ke-4 : Kisah Seseorang yang Bertawassul Karena Memiliki Keperluan terhadap Utsman bin Affan
Terdapat dalam tulisan berjudul Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah :

[[
6- Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:

“اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي

(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
]]
Bantahan :
Perlu dipahami bahwa dalam masalah ini ada 2 kisah yang saling berkaitan dengan riwayat yang berbeda. Kisah yang pertama adalah hadits tentang seorang buta yang datang kepada Nabi untuk minta didoakan, kemudian Nabi mendoakan dan menyuruh orang tersebut untuk berwudlu’, sholat, kemudian berdoa. Hadits tersebut memang shohih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Utsman bin Hunaif. Pembahasan tentang hadits ini telah kami kupas pada tulisan bantahan yang berjudul ‘Meluruskan Pemahaman terhadap Hadits-hadits tentang Tawassul ’ (BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN KE-4 ). Hadits yang shohih tersebut tidak ada kaitannya dengan tawassul dengan jah /kedudukan Nabi atau orang yang sholih baik yang masih hidup maupun sudah meninggal, karena yang terkandung dalam hadits shohih tersebut adalah tawassul dengan amal sholih dan doa orang yang masih hidup (Silakan disimak kembali tulisan kami sebelumnya).
Sedangkan kisah kedua tentang orang yang memiliki keperluan kepada Utsman bin Affan, pada awalnya ia tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya dari Utsman bin Affan. Kemudian, pada saat orang tersebut pergi, di tengah jalan bertemu dengan Utsman bin Hunaif, yang kemudian mengajarkan kepadanya tawassul sebagaimana tawassulnya orang buta yang pernah bertemu dengan Nabi tersebut.
Penulis blog tersebut mengesankan pada pembaca bahwa kisah lelaki yang memiliki keperluan terhadap Utsman bin Affan tersebut adalah shohih, dengan mengaitkan hadits Utsman bin Hunaif tentang lelaki buta yang mendatangi Nabi. Padahal 2 hal itu sangat berbeda dari segi kekuatan sanad/ periwayatannya.
Kisah kedua yang melibatkan Utsman bin Affan adalah kisah dengan periwayatan yang lemah. Kelemahannya dapat dijabarkan sebagai berikut :
Urut-urutan sanad yang ada pada kisah tersebut adalah : Abdullah bin Wahb meriwayatkan dari Syabiib bin Sa’iid al-Makki dari Rouh bin al-Qoosim dari Abi Ja’far al-Khuthomy al-Madini dari Abi Umaamah bin Sahl bin Hunaif dari pamannya, Usman bin Hunaif . Pokok permasalahannya terdapat pada perawi Syabiib bin Sa’iid al-Makki. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaani menyatakan di dalam Muqaddimah Fath al-Baari (hal 133) bahwa periwayatan yang di dalamnya ada Syabiib bin Sa’iid al-Makki bisa diterima hanya jika melalui Yunus (bin Yaziid al-Aylii). Namun, di dalam hadits tersebut perawi yang menerima khabar dari Syabiib adalah Abdullah bin Wahb, sehingga lemahlah periwayatannya. Selain itu, sekalipun jalan periwayatan hadits tersebut ditunjang oleh perawi yang bernama Ahmad bin Syabiib, hadits ini semakin menunjukkan kelemahannya, karena sedemikian banyaknya perbedaan padanya. Terbukti, ketika Ibnus Sunni meriwayatkan hadits dalam kitab Amalul Yaum wal-Lailah (hal 202) dan al-Haakim (1/526) dari 3 jalan melalui Ahmad bin Syabiib tanpa menyebutkan kisah tersebut.
Syubhat ke-5 : Tawassul dalam Doa Keluar Rumah untuk Menuju Masjid
Pada tulisan di sebuah blog penentang Ahlussunnah yang berjudul Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah :
[[
Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan:

“اللهم إني أسئلك بحق السائلين عليك ”و أسئلك بحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا و لا بطرا و لا ريائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعيذني من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت”
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “بحق السائلين عليك”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “بحق دعاء السائلين عليك” (demi doa para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.
]]
Bantahan :
Sebelum kita kaji periwayatan hadits tersebut, perlu dipahami bahwa hadits tersebut tidaklah merupakan hujjah atas perbuatan tawassul terhadap ‘diri’/dzat seseorang, tetapi yang disebutkan di situ adalah ‘hak orang yang berdoa’. Sedangkan hak orang yang berdoa adalah Allah kabulkan doanya, sebagaimana dalam al-Qur’an :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“ dan telah berkata Tuhan kalian : berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan untukmu “ (Q.S Ghaafir: 60)
Demikian juga sebagai ‘hak hamba’ adalah Allah tidak mengadzabnya jika beribadah kepada Allah dan tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“ dan hak hamba terhadap Allah adalah Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik kepadaNya sedikitpun”(Muttafaqun ‘alaih).
Sedangkan dari sisi riwayat, hadits ini lemah. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama ‘Athiyyah. Imam an-Nawawi menyatakan dalam al-Adzkaar bahwa perawi ini lemah. AdzDzahaby menyatakan dalam kitab adDhu’afaa’ (1/88) bahwa perawi ini disepakati kelemahannya. AlBushiry menyebutkan dalam Misbahuz Zujaajah (2/52) :
هذا إسناد مسلسل بالضعفاء: عطية وفضيل بن مرزوق والفضل بن الموفق كلهم ضعفاء
“sanad hadits ini adalah mata rantai para perawi lemah : ‘Athiyyah, Fudhail bin Marzuq, dan al-Fadhl bin al-Muwaffiq seluruhnya lemah”.
Syubhat ke-6 : ‘Aisyah Memerintahkan Bertawassul kepada Kuburan Nabi saat Paceklik
Terdapat dalam tulisan berjudul Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah :
[[
Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)
]]
Syubhat :
Kalau kita simak riwayat tersebut dalam Sunan AdDaarimi, nash lengkapnya adalah sebagai berikut :
قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَحْطاً شَدِيداً ، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ : انْظُرُوا قَبْرَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ : فَفَعَلُوا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّىَ عَامَ الْفَتْقِ
Dari sisi penerjemahan, penulis blog penentang Ahlussunnah tersebut sudah salah. Kalimat berikut ini :
فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ
diterjemahkan dengan : Jadikanlah ia (kuburan) sebagai <> menuju langit sehingga tidak ada lagi <> dengan langit.
Padahal seharusnya terjemahan yang benar adalah :
Hendaknya kalian membuat <> yang menghadap ke langit sehingga antara kubur dengan langit tidak ada <>.
Sebelum kita mengkaji riwayatnya, sebenarnya terlihat dengan jelas bahwa hadits ini telah bertentangan dengan hadits yang shahih. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab ArRadd ‘alal Bakri, dengan kedalaman ilmunya, beliau menunjukkan sisi kelemahan hadits ini karena pertentangannya dengan hadits lain yang jelas lebih shohih. Selama Aisyah hidup, tidak perlu dibuatkan lubang yang menghadap ke langit, karena bagian rumah itu ada yang beratap dan ada yang tidak, sehingga sinar matahari sudah bisa langsung masuk. Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ فِي حُجْرَتِهَا لَمْ يَظْهَرْ الْفَيْءُ مِنْ حُجْرَتِهَا
“dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sholat Ashr sedangkan matahari masuk ke dalam kamarnya, tidak nampak bayangan dari kamarnya” (Muttafaqun ‘alaih).
Keadaan kamar ‘Aisyah tetap seperti itu terus sampai pada saat Walid bin Abdil Malik memasukkan kamar tersebut ke dalam masjid, sehingga kemudian dibuatkanlah dinding yang tinggi, kemudian dibuatkan lubang agar orang yang akan menyapu atau membersihkannya bisa turun.
Hadits ini diriwayatkan oleh AdDaarimi melalui jalur Abu AnNu’maan dari Sa’id bin Zaid dari ‘Amr bin Maalik anNukri dari Abul Jauzaa’ (Aus bin Abdillah). Dari sisi periwayatan, hadits ini mengandung 3 kelemahan :
1. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama Said bin Zaid yang merupakan saudara Hammad bin Zaid. AnNasaa-i menyatakan : ia tidaklah kuat, Yahya bin Sa’id sangat melemahkannya, As-Sa’di menyatakan : ‘mereka melemahkannya’ dan dia tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Yahya bin Ma’in melemahkannya (Lihat Dhu’afaa’ al-‘Uqaily juz 2 halaman 105).
2. ‘Amr bin Maalik anNukri
Ibnu ‘Adi di dalam kitabnya ‘Al-Kaamil’ (5/1799) menyatakan bahwa perawi ini suka meriwayatkan hadits munkar dari perawi yang terpercaya. Abu Ya’la menyatakan bahwa ‘Amr bin Maalik anNukri adalah lemah.
3. Abu Nu’man.
Abu Nu’man adalah Muhammad bin al-Fadhl, walaupun dia tsiqah, namun ia tercampur aduk hafalannya (pikun) menjelang akhir usianya. Perawi semacam ini, jika didengar periwayatannya sebelum hafalannya tercampur, maka bisa diterima, jika setelah itu tidak bisa diterima. Dalam hadits ini tidak ada qoriinah yang bisa memastikan bahwa AdDaarimi meriwayatkan sebelum pikirannya tercampur. Sehingga hadits ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
(Bersambung, Insya Allah……)

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk Situs www.darussalaf.or.id


Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI