Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Rabu, 08 Februari 2012

Kembalinya Pemberi Fatwa Kepada Yang Benar, Peminta Fatwa Tidak Dipersalahkan Sehingga Jelas

KEMBALINYA PEMBERI FATWA KEPADA YANG BENAR


Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seseorang ditanya tentang sesuatu, lalu ia memberi fatwa mengenai hal tersebut, lalu setelah beberapa waktu tampak baginya bahwa yang telah difatwakannya itu tidak benar, apa yang harus diperbuatnya?

Jawaban
Hendaknya ia kembali kepada yang benar dan memberi fatwa dengan kebenaran serta mengatakan bahwa ia telah salah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar, "Kebenaran itu telah pasti." Dari itu, hendaknya ia kembali kepada yang benar dan memberi fatwa yang benar serta mengatakan, "Saya telah salah dalam masalah terdahulu, saya menfatwakan begini dan begini, lalu ternyata hal itu salah, adapun yang benar adalah begini, begini." Tidak apa-apa begitu, bahkan seharusnya memang begitu.

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemimpin para pemberi fatwa, ketika orang-orang bertanya kepada beliau tentang mengawinkan tanaman, yaitu pada pohon korma, beliau mengatakan,

"Aku pikir itu tidak perlu."

Lalu orang-orang itu memberitahu beliau, bahwa jika tidak demikian maka akan gagal. Selanjutnya beliau mengatakan,

"Sesungguhnya aku hanya menduga. Jadi, jangan kalian salahkan aku karena dugaan, tapi jika aku sampaikan sesuatu dari Allah, hendaklah kalian menerimanya, karena sesungguhnya aku tidak akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala."[HR. Muslim dalam Al-Fadha’il (2361} senada dengan itu]

Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk kembali mengawinkan tanaman tersebut.

Demikian juga Umar Radiyallahu ‘anhu, pernah menfatwakan bahwa saudara tidak mendapatkan warisan dalam kondisi musyarakah (bila kakek orang yang meninggal masih hidup). Kemudian menfatwakan kembali berdasarkan dalil yang dianggap rajih dalam hal itu, bahwa saudara tetap mendapatkan warisan.

Jadi, kembali kepada sesuatu yang diyakini oleh seorang ulama, bahwa hal itu benar dan haq, adalah sesuatu yang tidak diketahui, karena itulah jalannya para ahli ilmu dan iman. Tidak ada dosa dalam hal ini, tidak pula ada kekurangan, bahkan menunjukkan keutamaan dan kekuatan imannya, karena ia mau kembali kepada yang benar dan meninggalkan yang salah.

Jika ada seseorang, atau ada orang bodoh yang mengatakan, "Sungguh ini suatu aib" itu bukan apa-apa, yang benar bahwa itu adalah keutamaan dan itulah kelebihan, bukan kekurangan.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 47, hal. 172-173, Syaikh Ibnu Baz]


FATWA DI ZAMAN INI


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa pendapat Syaikh tentang ungkapan yang menyebutkan, "Sesungguhnya perkara-perkara kontemporer sangat kompleks ruwet, karena itu, fatwa-fatwa yang dikeluarkan harus dari kelompok yang universal, yang terdiri dari berbagai kalangan spesialis yang membidangi berbagai problema atau kondisi, yang mana di antara mereka ada ahli fikihnya?"

Jawaban
Sesungguhnya fatwa itu harus berotasi pada dalil-dalil syari'at Jika fatwa itu dikeluarkan dari kelompok yang lebih lengkap, tentu akan lebih lengkap dan lebih utama untuk mencapai kebenaran, tapi hal ini tidak menghalangi seorang alim untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan syari'at nan suci yang diketahuinya.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 32, hal. 117, Syaikh Ibnu Baz]


PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN JIKA BERTINDAK SESUAI FATWA ORANG LAIN


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Mengenai orang awam yang bukan mujtahid, jika ia melakukan suatu perbuatan dengan berpedoman pada fatwa salah seorang ulama yang mu'tabar di negerinya, apakah ia turut bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut, atau apakah ia tidak ikut bertanggung jawab karena mengikuti pemberi fatwanya?

Jawaban
Jika pemberi fatwa itu seorang yang diakui di kalangan para ahli ilmu, yaitu dalam segi keilmuan, keimanan dan kewara'annya serta telah mengemban tugas syar'i yang perannya memang demikian, seperti; qadhi (hakim), guru, pengajar, khathib, pendidik, jika memberi fatwa, maka fatwanya boleh dipegang bila memang tidak ada yang lebih alim darinya. Juga bila tidak mengelishi nash-nash syari'at yang jelas dan tidak ada perbedaan pendapat dengan para ahlul ilmi atau sebagian ahlul ilmi. Orang yang melaksanakan fatwa itu tidak dipersalahkan karena perbuatan tersebut, baik berupa akibat maupun tanggung jawab, karena dosanya ditanggung oleh pemberi fatwa jika ia tergesa-gesa dan memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu.

[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]


PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN SEHINGGA PERKARANYA JELAS


Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Jika seorang awam mengikuti fatwa seorang ulama yang mu'tabar di negerinya dan melaksanakan petunjuk yang terkandung di dalamnya, lalu tampak kesalahan pada perbuatan tersebut, apakah hakim boleh menghukumnya akibat perbuatan tersebut yang sebenarnya berpatokan pada fatwa seorang ulama?

Jawaban:
Perlu diperhatikan perkara yang menimbulkan kesalahan itu, jika hal itu membahayakan atau merugikan orang lain, maka kesalahan dilimpahkan kepada pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan tergesa-gesa tanpa berdasarkan ilmu sehingga mengakibatkan lahirnya bahaya tersebut. Sang hakim hendaknya menghukum pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan cara yang tidak seksama, lalu hakim memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa karena bisa menimbulkan bahaya, walaupun pemberi fatwa itu tidak mengharuskan pelaksanaan fatwanya tersebut. Jika penerima fatwa itu salah dalam bertindak dan bertentangan dengan fatwa tersebut lalu menimbulkan bahaya terhadap orang lain, maka kesalahan tersebut ditimpakan kepada penerima fatwa, karena ia telah merubah fatwa dan menyelisihi apa yang diucapkan oleh pemberi fatwa. Jika hal tersebut tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain, tapi sekedar menggugurkan perbuatan tersebut, maka tidak ada yang dipersalahkan, baik pemberi fatwa maupun penerima fatwa, hanya saja perbuatan tersebut digugurkan dan diharuskan untuk diulang jika itu suatu kewajiban.

[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI