Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Jumat, 07 Oktober 2011

PENGERTIAN BID’AH MENURUT SYARI’AT

PENGERTIAN BID’AH MENURUT SYARI’AT


Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]



Banyak sekali hadits-hadits nabawi yang mengisyaratkan makna syar'i dari kata bid'ah, di antaranya:

[1]. Hadits Al Irbadh Ibnu Sariyah, di dalam hadits ini ada perkataan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam:

"Jauhilah hal-hal yang baru (muhdatsat), karena setiap yang baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat." [Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan teksnya milik Abu Dawud 4/201 no. 4608, Rmu Majah 1/15 No. 42, At-Tirmidzi 5/44 no. 2676 dan beliau berkata bahwa ini hadits hasan shahih dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albaniy dalam Dhilaalul Jannah fii Takhriijissunnah karya lbnu Abi Ashim: no. 27]

[2]. Hadits Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkata dalam khuthbahnya:

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebagus-bagusnya tuntunan adalah tuntunan Mnbammad dan urusan yang paling jelek adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setap kesesatan itu (tempatnya) di neraka." [Dikeluarkan dengan lafadz ini oleh An- Nasa'i dalam As-Sunan 3/188 dan asal hadits dalam Shahih Muslim 3/153. Untuk menambah wawasan coba lihat kitab Khutbat Al-Haajah, karya Al-Albany]

Dan jika telah jelas dengan kedua hadits ini, bahwa bid'ah itu adalah al-mubdatsah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama), maka hal ini menuntut (kita) untuk meneliti makna ibda' (mengada-adakan dalam agama) di dalam sunnah, dan ini akan dijelaskan dalam hadits-badits berikut:

[3]. Hadits Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

"Barangsiapa mengada-ada (sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini, padahal bukan termasuk bagian di dalamnya, maka dia itu tertolak." [Hadits Riwayat Al-Bukhari 5/301 no. 2697, Muslim 12/61 dan lafadz ini milik Muslim]

[4]. Dalam Riwayat Lain:

"Barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan(agama) kami, maka dia akan tertolak." [Hadits Riwayat. Muslim 12/16]

Keempat hadits di atas, jika diteliti secara seksama, maka kita akan mendapatkan bahwa semuanya menunjukkan batasan dan hakikat bid'ah menurut syari'at. Maka dari itu bid'ah syar'iyyah memiliki tiga batasan (syarat) yang khusus. Dan sesuatu tidak bisa dikatakan bid'ah menurut syari'at, kecuali jika memenuhi tiga syarat, yaitu:

[a]. Al-Ihdaats (mengada-adakan)
[b]. Mengada-adakan ini disandarkan kepada agama
[c]. Hal yang diada-adakan ini tidak berpijak pada dasar syari'at, baik secara khusus maupun umum.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjmeah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]

PENGERTIAN BID’AH MENURUT SYARI’AT

PENGERTIAN BID’AH MENURUT SYARI’AT


Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]



[A]. Al-Ihdats (Mengada-ada) Sesuatu Yang Baru

Dalil syarat ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam

"Artinya : Barang siapa mengada-ada (sesuatu yang baru)."

Dan sabdanya:

"Artinya : Dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah."

Jadi yang dimaksud al-ihdaats adalah mendatangkan sesuatu yang baru, dibuat-buat, dan tidak ada contoh sebelumnya. [1]

Maka masuk di dalamnya: segala sesuatu yang diada-adakan, baik yang
tercela maupun yang terpuji, baik dalam agama atau bukan.

Dan dengan batasan ini maka yang tidak diada-adakan tidak dapat disebut bid'ah misalnya melaksanakan semua syi'ar agama seperti shalat fardlu, puasa ramadlan, dan melakukan hal-hal yang sifatnya duniawi seperti makan, pakaian dan lain-lain. Karena hal yang baru itu bisa terjadi dalam urusan duniawi dan urusan agama (dien) untuk itu perlu adanya pembatasan dalam dua batasan berikut ini:

[B]. Sesuatu Yang Baru Itu Disandarkan Kepada Agama

Dalil batasan ini adalah sabda Rasuhdlah Shalallahu 'Alaihi Wasallam:

"Artinya : Dalam urusan (agama) kami ini."

Dan yang dimaksud dengan urusan nabi di sini adalah agama dan syari'atnya. [Lihat Jami'ul Uluum wal Hikam 1/177]

Maka makna yang dimaksud dalam bid'ah itu adalah bahwa sesuatu yang baru itu disandarkan kepada syari'at dan dihubungkan dengan agama dalam satu sisi dari sisi-sisi yang ada, dan makna ini bisa tercapai bila mengandung salah satu dari tiga unsur berikut ini:

Pertama : Mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan.

Kedua : Keluar menentang (aturan) agama.

Ketiga : Yaitu hal-hal yang bisa menggiring kepada bid'ah.

Dengan batasan (syarat) yang ke dua ini, maka hal-hal yang baru dalam masalah-masalah materi dan urusan-urusan dunia tidak termasuk dalam pengertian bid'ah, begitu juga perbuatan-perbuatan maksiat dan kemungkaran yang baru, yang belum pernah terjadi pada masa dahulu, semua itu bukan termasuk bid'ah, kecuali jika hal-hal itu dilakukan dengan cara yang menyerupai taqarrub (kepada Allah) atau ketika melakukannya bisa menyebabkan adanya anggapan bahwa hal itu termasuk bagian agama.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]
_________
Foote Note
[1] Sama saja dalam hal ini sesuatu yang diada-adakan untuk pertama kali, karena tidak ada contoh sekelumnya, seperti menyembah patung berhala tatkala awal munculnya, ini adalah mengada-adakan yang mutlak ataupun sesuatu yang diada-adakan untuk kedua kalinya dan telah pernah ada contohnya, kemudian dihidupkan lagi setelah tidak ada dan tenggelam, seperti penyembahan berhala di Makkah, karena sesungguhnya Amr Ibn Luhayy-lah yang pertama kali mengada-adakannya di sana. Ini adalah mengada-adakan yang sifatnya relatif (nisbiy). Di antara hal ini juga segala sesuatu yang disandarkan kepada agama padahal bukan bagian dari agama itu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hadits:

"Artinya : Barangsiapa mengada-ada sesuatu yang baru dalam urusan -agama- kami ini, padahal bukan bagian darinya, maka dia itu tertolak".

Dinamakan sesuatu yang diada-adakan ditinjau dari segi agama saja dan hal ini terkadang tidak disebut sesuatu yang diada-adakan jika ditinjau dari selain agama.

PENGERTIAN BID’AH MENURUT SYARI’AT

PENGERTIAN BID’AH MENURUT SYARI’AT


Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]




[C]. Hal Yang Baru Ini Tidak Berlandaskan Syari'at, Baik Secara Khusus Maupun Umum.

Dalil batasan (syarat) ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam:

"Artinya : Sesuatu yang bukan darinya."

Dan sabdanya:

"Artinya : Yang tidak ada dasarnya dalam urusan kami."

Dengan batasan ini, maka keluar dari pengertian bid'ah hal-hal baru yang berhubungan dengan agama, tapi mempunyai landasan syar'i yang umum ataupun khusus.

Di antara sesuatu yang baru dalam agama ini tapi masih berlandaskan pada dalil syar'i yang umum adalah hal-hal yang ditetapkan melalui al-mashalih al-mursalah, seperti pengumpulan Al Qur'an oleh para sahabat, adapun contoh yang khusus adalah pelaksanaan shalat tarawih secara berjama'ah pada zaman Umar bin Khaththab.

Dengan melihat makna lughawi (bahasa) untuk kata al-ihdats, maka hal-hal yang berlandaskan kepada dalil syar'i dapat dinamakan muhdatsat, karena hal-hal syar'i ini dilakukan kedua kalinya setelah ditinggalkan dan dilupakan (orang), ini adalah ihdats nisbiy (pengada-adaan yang relatif).

Sudah dimaklumi bahwa setiap hal yang baru keabsahannya telah ditunjukan oleh dalil syar'i, maka hal ini tidak dinamakan -dalam kacamata syariat- sebagai bentuk ibtida' (mendatangkan bid'ah), karena ibtida' menurut pandangan syariat- hanya dikaitkan dengan sesuatu yang tidak mempunyai dalil.

Supaya lebih jelas dan lebih yakin tentang tiga batasan itu, berikut kita simak ungkapan para ulama berikut ini:

Ibnu Rajab berkata: "Setiap orang yang mengada-ada sesuatu yang baru dan menisbatkannya kepada agama, padahal tidak ada landasan yang bisa dijadikan rujukan, maka hal semacam ini adalah sesat dan agama lepas
darinya." [Jamiul Ulum wal Hikam 2/128]

Beliau juga berkata : "Dan yang dimaksud dengan bid'ah adalah sesuatu yaug diada-ada yang sama sekali tidak mempunyai dasar tujukan dalam syariat”.

Adapun sesuatu yang mempunyai dasar rujukan dari syariat, maka tidak dinamai bid'ah, meskipun secara bahasa masih dikatakan bid'ah." [Jamiul Ulum wal Hikam 2/128]

Ibnu Hajar berkata: "Dan yang dimaksud sabda nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat", yaitu sesuatu yang diada-adakan, sedangkan dia tidak mempunyai dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum." [Fathul Bari 13/253]

Beliau juga berkata: "Dan hadits ini (yaitu hadits : Barangsiapa mengada-ada sesuatu dalam urusan agama kami ini yang padahal bukan termasuk bagian di dalamnya, maka di tertolak) termasuk kaidah yang utama dalam agama Islam, karena sesungguhnya orang yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam agama ini, padahal tidak termasuk dalam salah satu pokok (ajaran Islam), maka dia akan tertolak." [Fathul Bari 5/302, lihat juga Ma'arijul Qabuul 2/426 dan Syarhu Lu'matul I'tiqad 23]

Definisi Bid'ah dalam Syari'at

Dari uraian di atas, maka kita bisa menentukan pengertian bid'ah secara syari'at, yaitu hal-hal yang memenuhi tiga batasan di atas, oleh sebab itu definisi bid'ab syar'iyyah secara komprehensif adalah:

"Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah yang sama sekali tidak mempunyai landasan dalil, baik dalil yang umum ataupun yang khusus."

Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas:

"Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah tanpa landasan dalil."

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd rahman, Penerbit Pustaka Azzam, cetakan Juni 2001]

KOMPARASI MAKNA BID’AH SECARA LUGHAWI DAN SYAR’I

KOMPARASI MAKNA BID’AH SECARA LUGHAWI DAN SYAR’I


Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani




Ini bisa diketahui dari dua sisi, yaitu:

1. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]

2. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.


[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]

HUKUM UPACARA PERINGATAN MALAM NISFI SYA'BAN





Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.

Amma ba'du:

Sesungguhnya Allah telah berfirman:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu." [Al-Maidah :3]

"Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih." [Asy-Syura' : 21]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dalam lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak."

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat."

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu'.

Dalam hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif" mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama' telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa':

"Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [An-Nisaa': 59]

"Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." [Asy-Syuraa: 10]

"Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya." [An-Nisaa' : 65]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur'an dan Hadits).

Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya'ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha' dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid'ah. Adapun pendapat ulama' ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:

[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya'ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid'ah." Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.

[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya'ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban ini,tidak diketahui."

Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya'ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya'ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza'iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:

"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak."

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya'ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.

Al-'Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, sebagai berikut: Hadits:

"Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya."

Hadits ini adalah maudhu', pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pergi ke Baqi' dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka'at dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu 'anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an di bawah:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu."[Al-Maidah : 3]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu." [Hadits Riwayat. Muslim]

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum'at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.

Tatkala Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

"Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat." [Muttafaqun 'alaih]

Jika seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid'ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama' yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra' dan Mi'raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;

"Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid'ah-bid'ah."

Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid�ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]

HUBUNGAN ANTARA IBTIDA’ DENGAN IHDAATS

HUBUNGAN ANTARA IBTIDA’ DENGAN IHDAATS


Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani




Ibtida’ dan Ihdats dalam asal bahasa mempunyai kesamaan makna, yaitu mendatangkan sesuatu yang baru yang belum ada sebelumnya.

Adapun dalam makna syar’i, maka ke-empat hadits yang lalu telah menunjukkan bahwa bid’ah itu menurut syari’at mempunyai dua nama, yaitu “bid’ah dan muhdatsat”. Hanya saja kata bid’ah banyak dipergunakan dan diungkapkan pada urusan (sesuatu) yang diada-adakan dan tercela dalam agama saja. Adapun kata muhdatsat banyak diungkapkan pada sesuatu yang diada-adakan lagi tercela, baik dalam masalah agama ataupun yang lainnya.

Oleh sebab itu bisa diketahui, bahwa ihdats lebih umum dan lebih luas daripada ibtida’, karena kata ihdats mencakup segala sesuatu yang diada-adakan dan tercela, baik dalam urusan agama ataupun yang lainnya, maka semua perbuatan dosa dan maksiat masuk dalam pengertian ihdats, seperti apa yang ada dalam sabda Rasulullah.

“Artinya : Barangsiapa yang berbuat maksiat di dalamnya atau melindungi orang yang berbuat maksiat” [Hadits Riwayat Bukhari 3/81 no. 1870, Muslim 9/140]

Ibnu Hajar berkata : “Yaitu berbuat maksiat” [Lihat Fathul Bari 13/281]

Ini arti dari : Man Ahdatsa Fiiha Hadatsan [-pent]

Dengan uraian ini jelaslah bahwa lafazh muhdatsat -ditinjau dari segi ini- berada di tengah antara makna bid’ah menurut bahasa dan menurut syari’at. Itu lebih khusus dari makna bid’ah secara bahasa, tapi lebih umum (luas) dari maknanya menurut syari’at.

Maka terkumpullah di hadapan kita tiga makna, yaitu :

[1]. Sesuatu yang diada-adakan, baik secara tercela ataupun terpuji, baik dalam agama atau bukan.
[2]. Sesuatu yang diada-adakan dan tercela, baik dalam agama atau bukan.
[3]. Sesuatu yang diada-adakan dan tercela khusus dalam agama.

Makna yang pertama bersifat umum, yaitu makna lughawi (bahasa) untuk bid’ah dan muhdatsat. Makna yang kedua bersifat khusus, dan ini biasanya makna syar’i bagi muhdatsat, sedang yang ketiga lebih khusus, yaitu makna syar’i bagi bid’ah dan juga makna syar’i yang lain bagi muhdatsat.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]

PENGERTIAN BID'AH MACAM-MACAM BID'AH DAN HUKUM-HUKUMNYA




Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan









PENGERTIAN BID'AH

Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.

Badiiu' as-samaawaati wal ardli
"Artinya : Allah pencipta langit dan bumi" [Al-Baqarah : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah.

Qul maa kuntu bid'an min ar-rusuli
"Artinya : Katakanlah : 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". [Al-Ahqaf : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid'ah itu ada dua bagian :

[1] Perbuatan bid'ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

[2] Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)". Dan di dalam riwayat lain disebutkan : "Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak".

MACAM-MACAM BID'AH

Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

[1] Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

[2] Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

[a]. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

[b]. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

[c]. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

[d]. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID'AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak".

Dan dalam riwayat lain disebutkan :

"Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak".

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.

Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid'ah yang merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima' (bersetubuh).

Catatan :
Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid'ah adalah sesat".

Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah yang baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat", merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : "Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata : "Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya".

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu 'anhu : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", maksudnya adalah bid'ah menurut bahasa dan bukan bid'ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan "itu bid'ah" maksudnya adalah bid'ah menurut arti bahasa bukan menurut syari'at, karena bid'ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.

Dan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama'ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan mereka satu jama'ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid'ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur'an. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur'an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta'ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.


[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

LATAR BELAKANG YANG MENYEBABKAN MUNCULNYA BID'AH





Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan





Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid'ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : "Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut".

Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid'ah.

Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid'ah-bid'ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir. Perinciannya sebagai berikut.

[1]. Bodoh Terhadap Hukum-Hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :

"Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan". [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].

Dan dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam juga :
"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan".

Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid'ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.

[2]. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :

"Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun". [Al-Qashshash : 50].

Dan Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)". [Al-Jatsiyah : 23].

Dan bid'ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.

[3]. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-Orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.

Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka : 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'. Mereka menajwab : '(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". [Al-Baqarah : 170].

Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.

[4]. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid'ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.

"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :" Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa 'Alaihi Sallam :

"Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". [Al-A'raf : 138]

Lalu Musa bersabda : "Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu".

Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta'ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid'ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid'ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.

[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan hal. 59 - 65, penerjemah Endang Saefuddin]

SIKAP TERHADAP PELAKU BID’AH DAN MANHAJ AHLUS SUNNAH DALAM MENYANGGAH PELAKU BID’AH



Oleh Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan




[A]. Sikap Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Terhadap Pelaku Bid’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa membantah dan menentang para pelaku bid’ah dan selalu mencegah mereka untuk melakukannya. Perhatikanlah beberapa conoth dibawah ini.

[1]. Dari Ummu Darda’ Rahiyallahu ‘anha, Dia berkata : “Abu Darda datang menemuiku dalam keadaan jengkel. Lalu aku bertanya : “Ada apa denganmu!” Dia menjawab : “Demi Allah, aku tidak melihat mereka –sedikitpun- berada pada ajaran Muhammad, hanya saja mereka semua melakukan shalat” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

[2]. Dari Umar bin Yahya, dia berkata : “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata : ‘Adalah kami sedang duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu sebelum shalat Dzuhur –(biasanya) bila dia keluar (dari rumahnya) kami pun pergi bersamanya ke masjid-, tiba-tiba datang Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu dan berkata : “Adakah Abu Abdir Rahman (Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu) telah keluar dari kalian ? Kami menjawab : “Belum”. Lalu diapun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa Al-Asy’ari berkata : “Wahai Abu Abdir Rahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkari, dan alhamdulillah, aku tidak melihatnya kecuali kebaikan”. Dia bertanya : “Apa itu?” Abu Musa menjawab :”Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri” Abu Musa lalu berkata : “Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk dalam bentuk lingkaran sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang laki-laki dan ditangan-tangan mereka ada batu-batu kecil, orang laki-laki itu berkata :’Bacalah takbir 100 kali’, mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian berkata lagi :’Bacalah Tahlil 100 kali’, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian mereka berkata lagi :’Bacalah Tasbih 100 kali, mereka pun bertasbih 100 kali.

Abdullah bin Mas’ud bertanya : ‘Apa yang katakan kepada mereka !’ Abu Musa menjawab : ‘Aku tidak mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!, Abdullah bin Mas’ud menjawab : ‘Tidaklah kamu perintahkan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja ?’.

Kemudian dia pergi dan kamipun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata : ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab : ‘Ya Abu Abdir Rahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih dan tahmid’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja.

Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, lihat sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak, baju-baju beliau belum rusak dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh, (apakah) kalian ini berada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan’. Mereka menjawab : ‘Demi Allah, wahai Abu Abdir Rahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca Al-Qur’an tapi hanya sampai sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka dari kalian-kalian ini’. Kemudian dia pergi dan Amr bin Maslamah berkata ; ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij” [Hadits Riwayat Ad-Darimy]

[3]. Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram ?” Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”. Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu ?” Dijawab : “Aku tidak setuju itu”. Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?” Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”. Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan ?” Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]

Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

Ini hanya sekedar contoh, dan kita lihat para ulama masih tetap menentang pelaku bid’ah di setiap masa, Alhamdulillah

[B]. Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Menyanggah Para Pelaku Bid’ah.
Manhaj mereka dalam hal ini didasarkan pada Kitab dan Sunnah. Manhaj yang mantap dan tidak terbantah, di mana pertama kali mereka mengungkapkan syubhat-syubhat para pelaku bid’ah kemudian membantahnya (satu persatu). Dan dengan berdasarkan pada Kitab dan Sunnah, mereka mengungkapkan kewajiban berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran syariat dan kewajiban meninggalkan berbagai macam bid’ah serta hal-hal yang diadakan.

Ulama Ahlus Sunnah telah mengeluarkan banyak karya dalam hal ini. Dan di dalam buku-buku aqidah, mereka juga membantah para pelaku bid’ah yang berkaitan dengan iman dan aqidah. Bahkan, ada yang menulis karya-karya khusus untuk hal tersebut. Misalnya, Imam Ahmad yang menulis buku khusus membantah kelompok Jahmiyah, begitu pula para Imam lainnya, seperti Utsman bin Sa’id Ad-Darimi.

Hal semacam ini dapat kita temui pula dalam karya-karya Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, juga karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya. Di mana dalam karya-karya tadi disebutkan sanggahan terhadap banyak aliran, juga sanggahan terhadap orang-orang Quburiyyun dan kelompok Sufiyah. Adapun buku-buku yang khusus membantah para pelaku bid’ah, maka banyak sekali jumlahnya.

Dan alhamdulillah para ulama masih terus menolak praktek-praktek bid’ah dan menulis bantahan-bantahan terhadap para pelaku bid’ah melalui media Koran, majalah, siaran-siaran, khutbah-khutbah jum’at, berbagai macam seminar dan ceramah-ceramah yang mempunyai pengaruh besar dalam menyadarkan kaum muslimin, mengikis bid’ah dan membantah ahli bid’ah.

[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Aliy, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc, hal 148-152, Darul Haq]

BEBERAPA CONTOH BID’AH MASA KINI, Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

BEBERAPA CONTOH BID’AH MASA KINI


Oleh
Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan




Di antaranya adalah :

[a]. Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.

[b].Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan, dan dari orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah meninggal.

[c]. Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring dengan berlalunya zaman, sedikitnya ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan merebaknya tasyabuh (meniru) orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun ritual agama mereka. Hal ini menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian” [Hadits Riwayat At-Turmudzi, dan ia men-shahihkannya]

[1]. Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pada Bulan Rabiul Awwal.

Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan terdahulu. Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke empat Hijriyah.

Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam atau karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang perselisihan.

Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti) melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap perbuatan baik.

Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan dan lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/615]

[2]. Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat Tertentu, Barang-Barang Peninggalan, Dan Dari Orang-Orang Baik, Yang Hidup Ataupun Yang Sudah Meninggal.

Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk (mengharapkan berkah) dari makhluk. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang awam.

Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan mengekalkannya.

Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-barang tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah dan sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut hanya khusus Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka ; dengan dalil bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan kuburan beliau setelah wafat.

Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat duduk untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para wali. Mereka juga tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang mulia. Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya disana terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-ngusap dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat yang pernah di injak kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yan mulia dan juga dipakai untuk shalat, tidak ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau tidur disana ?! Para ulama telah mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam, bahwa menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah termasuk syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim 2/759-802]

[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Aliy, Penulis Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, Penerjemah Ainul Haris Arifin, hal 152-159, Darul Haq]

BEBERAPA CONTOH BID’AH MASA KINI

BEBERAPA CONTOH BID’AH MASA KINI


Oleh Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]



[3] Bid’ah Dalam Hal Ibadah Dan Taqarrub Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat ini cukup banyak. Pada dasarnya ibadah itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan tidak adanya dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu yang disyariatkan dalam hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya termasuk kategori bid’ah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah kami maka dia tertolak” [Hadits Riwayat Muslim]

Ibadah-ibadah yang banyak dipraktekkan pada masa sekarang ini, sungguh banyak sekali, di antaranya ; Mengeraskan niat ketika shalat. Misalnya dengan membaca dengan suara keras.

“Artinya : Aku berniat untuk shalat ini dan itu karena Allah Ta’ala”

Ini termasuk bid’ah, karena tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Hujarat : 16]

Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi dia adalah aktifitas hati bukan aktifitas lisan. Termasuk juga dzikir berjama’ah setelah shalat. Sebab yang disyariatkan yaitu bahwa setiap membaca dzikir yang diajarkan itu sendiri-sendiri, di antara juga adalah meminta membaca surat Al-Fatihah pada kesempatan-kesempatan tertentu dan setelah membaca do’a serta ditujukan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Termasuk juga dalam katagori bid’ah, mengadakan acara duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal, membuatkan makanan, menyewa tukang-tukang baca dengan dugaan bahwa hal tersebut dapat memberikan manfaat kepada si mayyit. Semua itu adalah bid’ah yang tidak mempunyai dasar sama sekali dan termasuk beban dan belenggu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu.

Termasuk bid’ah pula yaitu perayaan-perayaan yang diadakan pada kesempatan-kesempatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj dan hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan-perayaan tersebut sama sekali tidak mempunyai dasar dalam syari’at, termasuk pula hal-hal yang dilakukan khusus pada bulan Rajab, shalat sunnah dan puasa khusus. Sebab tidak ada bedanya dengan keistimewaannya dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, baik dalam pelaksanaan umrah, puasa, shalat, menyembelih kurban dan lain sebagainya.

Yang termasuk bid’ah pula yaitu dzikir-dzikir sufi dengan segala macamnya. Semuanya bid’ah dan diada-adakan karena dia bertentangan dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan baik dari segi redaksinya, bentuk pembacaannya dan waktu-waktunya.

Di antaranya pula adalah mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah tertentu seperti shalat malam dan berpuasa pada siang harinya. Tidak ada keterangan yang pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan khususnya untuk saat itu, termasuk bid’ah pula yaitu membangun di atas kuburan dan mejadikannya seperti masjid serta menziarahinya untuk ber-tabarruk dan bertawasul kepada orang mati dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan lain yang berbau syirik.

Akhirnya, kami ingin mengatakan bahwa bid’ah-bid’ah itu ialah pengantar pada kekafiran. Bid’ah adalah menambah-nambahkan ke dalam agama ini sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Bid’ah lebih jelek dari maksiat besar sekalipun. Syetan akan bergembira dengan terjadinya praktek bid’ah melebihi kegembiraannya terhadap maksiat yang besar. Sebab, orang yang melakukan maksiat, dia tahu apa yang dia lakukannya itu maksiat (pelanggaran) maka (ada kemungkinan) dia akan bertaubat. Sementara orang yang melakukan bid’ah, dia meyakini bahwa perbuatannya itu adalah cara mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak akan bertaubat. Bid’ah-bid’ah itu akan dapat mengikis sunnah-sunnah dan menjadikan pelakunya enggan untuk mengamalkannya.

Bid’ah akan dapat menjauhkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan mendatangkan kemarahan dan siksaanNya serta menjadi penyebab rusak dan melencengnya hati dari kebenaran.

SIKAP TERHADAP AHLI BID’AH
Diharamkanmengunjungi dan duduk-duduk dengan ahli bid’ah kecuali dengan maksud menasehati dan membantah bid’ahnya. Karena bergaul dengan ahli bid’ah akan berpengaruh negatif, dia akan menularkan permusuhannya pada yang lain. Kita wajib memberikan peringatan kepada masyarakat dari mereka dan bahaya mereka. Apabila kita sudah bisa menyelamatkan dan mencegah mereka dari praktek bid’ah. Dan kalau tidak, maka diharuskan kepada para ulama dan pemimpin umat Islam untuk menentang bid’ah-bid’ah dan mencegah para pelakunya serta meredam bahaya mereka. Karena bahaya mereka terhadap Islam sangatlah besar. Suatu hal yang perlu pula untuk diketahui bahwa negara-negara kafir sangat mendukung para pelaku bid’ah dan membantu mereka untuk menyebar luaskan bid’ah-bid’ah mereka dengan berbagai macam cara, sebab didalamnya terdapat proses penghangusan Islam dan pengrusakan terhadap gambaran Islam yang sebenarnya.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia akan menolong agamaNya, meninggikan kalimatNya, serta menghinakan musuh-musuhNya.

Semoga shalawat dan salam tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad Shallallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabat-sahabat beliau.

[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Aliy, Penulis Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, Penerjemah Ainul Haris Arifin, hal 152-159, Darul Haq]

PENGERTIAN BID’AH DALAM SEGI BAHASA[1]





Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani



Kata Bada’a dalam bahasa mempunyai dua makna, yaitu :

Pertama
Berarti sesuatu yang diciptakan (diadakan) tanpa ada contoh sebelumnya. Makna ini sebagaimana dalam firman Allah.

“Artinya : Katakanlah, “Aku bukanlah rasul pertama diantara para rasul” [Al-Ahqaaf : 10]

Makna ini juga terdapat dalam perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Sebaik-baiknya bid’ah” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari 4/250 no.2010]

Juga dalam perkataan para imam lainnya seperti Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang baik dan bid’ah yang tercela, jika sesuai sunnah, maka itu yang baik, tapi kalau bertentangan dengannya, maka itulah yang tercela” [Dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 9/113]

Ibnu Rajab berkata, “Adapun yang terdapat dalam perkataan ulama salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah adalah bid’ah dalam pengertian bahasa. Bukan bid’ah dalam pengertian syari’at. Di antaranya perkataan Umar tatkala memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan di satu tempat dengan dipimpin seorang imam, maka beliau berkata, “Inilah sebaik-baiknya bid’ah” [Jaamiul Uluum wal Hikam 1/129]

Kedua
Berarti lelah dan bosan, dikatakan “Abda’at Al-ibilu” artinya unta bersimpuh di tengah jalan, karena kurus atau (terkena) penyakit atau lelah.

Di antara penggunaan kata bid’ah dalam makna ini adalah perkataan seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah, “Innii ubda’u bii fahmiini” (Sesungguhnya saya kelelahan, tolong berilah saya bekal), maka Rasulullah berkata, ‘Saya tidak punya”. Maka seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan tunjukan dia kepada orang yang bisa membantunya”. Maka Rasulullah berkata :

“Artinya : Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” [Hadits Riwayat Muslim 13/38-39]

Sebenarnya makna ini tetap kembali kepada makna yang pertama, sebab makna ‘unta bersimpuh’ adalah rasa lelah yang mulai merasukinya, padahal sebelumnya tidak.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]
_________
Foote Note
[1] Lihat An-Nihayah Fii Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar 1/106-107, Mukhtar Ash-Shihah 43-44, Al Mishbah Al-Munir 38 dan Al-I’thisham 1/36

HUKUM MERAYAKAN HARI KELAHIRAN NABI DI MASJID






Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah kaum muslimin berkumpul di masjid untuk mengkaji peri kehidupan Nabi pada malam 12 Rabi'ul Awwal dalam rangka hari kelahiran beliau yang mulia tanpa meliburkan siang harinya sebagai hari raya? Kami berselisih pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan bahwa ini bid'ah hasanah dan ada juga yang mengatakan bukan bid'ah hasanah.

Jawaban:
Kaum muslimin tidak boleh menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Nabi pada malam 12 Rabi'ul Awwal atau malam lainnya, dan tidak boleh juga menyelenggarakan perayaan hari kelahiran selain beliau Saw, karena perayaan hari kelahiran termasuk bid'ah dalam agama, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya semasa hidupnya, padahal beliaulah yang mengajarkan agama ini dan menetapkan syari'at-syari'at dari Rabbnya , beliau juga tidak pernah memerintahkannya, Khulafa'ur Rasyidin dan para sahabat serta para tabi'in pun tidak pernah melakukannya. Maka dengan demikian diketahui bahwa perayaan itu merupakan bid'ah, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

"Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."

Dalam riwayat Muslim yang dianggap mu'allaq oleh Al-Bukhari namun menguatkannya, disebutkan,

"Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[1]

Merayakan hari kelahiran ini tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan ini merupakan hal baru yang diada-adakan oleh manusia dalam agama ini pada abad-abad belakangan, maka perubahan ini ditolak. Sementara itu, dalam suatu khutbah Jum'at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

"Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat." [2]

Dikeluarkan pula oleh An-Nasa'i dengan tambahan,

"Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka." [3]

Tidak perlu dengan merayakan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bertujuan untuk mengajarkan berita-berita yang berkaitan dengan kelahiran beliau, sejarah hidupnya pada masa jahiliyah dan masa Islam, karena semua ini bisa diajarkan di sekolah-sekolah dan di masjid-masjid serta lainnya. Jadi tidak perlu dengan menyelenggarakan perayaan yang tidak disyari'atkan Allah dan RasulNya dan tidak ada dalil syar'i yang menunjukkannya. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada semua kaum muslimin agar mereka merasa cukup dengan sunnah dan waspada terhadap bid'ah.

[At-Tahdzir minal Bida’, hal. 58-59, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari kitabAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini Lc, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. HR. An-Nasa’I dalam Al-Idain (1578).

HUBUNGAN ANTARA BID’AH DENGAN SUNNAH




Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani




Pengertian lafazh sunnah dan bid’ah tidak jauh berbeda bila ditinjau dari segi lughawi (bahasa) dan syar’i. Berikut penjelasannya.

[1]. Ditinjau Dari Makna Lughawi
Sunnah menurut bahasa berarti juga bid’ah, karena sunnah secara bahasa berarti ath-thariqah (jalan), apakah itu baik ataupun buruk. Oleh sebab itu setiap orang yang memulai suatu hal yang pada akhirnya dilakukan oleh banyak orang sesudahnya, maka hal itu disebut sunnah. [Lihat Al-Mishbah Al-Munir 292]

Jadi sunnah dan bid’ah dalam makna lughawi adalam sama. Di antara contoh penggunaan lafazh sunnah dalam makna lughawi adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa memberi contoh dalam Islam dengan contoh yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala (seperti) pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barangsiapa memberi contoh yang jelek, maka dia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia, tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka” [Hadits Riwayat Muslim 7/102-103]

[2]. Ditinjau Dari Makna Syar’i
Sunnah dalam makna syar’i merupakan kebalikan dari makna syar’i bid’ah, karena sunnah menurut syari’at adalah jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan bid’ah adalah sesuatu yang berseberangan dengan jalan (petunjuk) beliau beserta para sahabatnya. Jadi sunnah dan bid’ah dalam makna syar’i adalah dua lafazh yang saling berseberangan, seperti dalam perkataan Rasulullah.

“Artinya : Tidaklah suatu kaum mendatangkan bid’ah melainkan diangkat semisal bid’ah itu suatu hal dari sunnah, maka berpegang kepada sunnah itu lebih baik daripada mendatangkan bid’ah” [Hadits Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 4/105]

Dalam hadits lain juga disebutkan.

“Artinya : Sesungguhnya setiap ahli ibadah mempunyai semangat, dan setiap semangat itu ada lemahnya, mungkin pada sunnah atau mungkin pada bid’ah. Barangsiapa masa lemahnya pada sunnah, maka dia itu telah mendapat hidayah dan barangsiapa masa lemahnya pada selain itu, maka dia binasa” [Hadits Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya 2/158]


[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]

HUKUM MENZIARAHI KUBURAN GURU TAREKAT SUFI DAN MEMPERSEMBAHKAN KURBAN





Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di Sudan, ada seorang guru yang banyak pengikutnya, para pengikutnya itu melakukan berbagai cara untuk mengabdi kepadanya, menaatinya dan mengunjunginya dengan berbekal keyakinan bahwa sang guru itu termasuk wali-wali Allah. Mereka mempelajari Tarekat Sufi Samaniyah darinya. Di sana terdapat kubah besar milik orang tua sang guru, dengan kubah itu para pengikutnya memohon berkah, mempersembahkan apa-apa yang dianggap berharga oleh mereka sebagai nadzar. Itu mereka lakukan sambil berdzikir disertai dengan menabuh piring dan genderang. Pada tahun ini, guru mereka memerintahkan untuk menziarahi kuburan guru lainnya, lalu para pengikutnya itu pun berangkat, laki-laki maupun perempuan dengan menggunakan ratusan mobil. Apa arahan Syaikh untuk mereka?

Jawaban
Ini kemungkaran dan kejahatan besar, karena pergi untuk menziarahi kuburan adalah suatu kemungkaran, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

"Artinya : Janganlah kalian mengusahakan perjalanan berat kecuali kepada tiga masjid; Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha."[1]

Lagi pula, mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan dengan nadzar, sembelihan, shalawat, do'a dan memohon pertolongan kepada mereka, semua ini merupakan perbuatan syirik, mempersekutukan Allah. Seorang muslim tidak boleh berdoa kepada penghuni kuburan, walaupun penghuni kuburan itu seorang yang mulia seperti para rasul tidak boleh meminta pertolongan kepada mereka, seperti halnya tidak boleh meminta pertolongan kepada berhala, pepohonan dan bintang-bintang. Adapun permainan piring dan genderang yang mereka maksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , ini merupakan bid'ah yang mungkar. Banyak golongan sufi yang beribadah dengan cara demikian, semua ini mungkar dan bid'ah, tidak termasuk yang disyari'atkan Allah, sebab menabuh piring yang disyari'atkan hanya dikhususkan bagi wanita dalam acara perayaan pernikahan untuk mengumumkan pernikahan agar diketahui masyarakat bahwa itu adalah pernikahan, bukan perzinahan.

Selain itu, yang termasuk bid'ah dan sarana-sarana kesyirikan adalah membuat bangunan dan mendirikan masjid di atas kuburan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memagari kuburan, membuat bangunan di atasnya dan duduk-duduk di atasnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memagari kuburan, duduk-duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya."[2] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Artinya : Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid."[3]

Maka seharusnya kuburan itu tidak ada bangunannya (tidak ditembok), dan tidak boleh meminta berkah pada kuburan atau mengusap-usapnya, serta tidak boleh berdoa dan meminta pertolongan kepada penghuninya, tidak boleh juga mempersembahkan nadzar atau sembelihan untuk mereka. Semua ini termasuk perbuatan jahiliyah.

Kaum muslimin hendaknya mewaspadai ini, dan para ahli ilmu hendaknya menasehati sang guru tersebut, memberitahunya bahwa perbuatan ini batil dan mungkar, dan bahwa menganjurkan manusia untuk memohon pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati dan berdoa kepada mereka di samping Allah adalah merupakan perbuatan syirik akbar. Na 'udzu billah. Hendaknya kaum muslimin tidak mengikutinya dan tidak terpedaya olehnya, karena ibadah itu hak Allah semata, hanya Allah yang pantas diseru dan diharap. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

"Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." [Al-Jin :18]

Dalam ayat lainnya disebutkan,

"Artinya : Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. " [Al-Mukminun : 117]

Allah menyebut mereka kafir karena mereka menyeru selain Allah, yaitu karena mereka menyeru jin, malaikat, para penghuni kuburan (orang-orang yang telah mati), bintang-bintang dan berhala-berhala. Jika menyeru itu di samping Allah, berarti syirik akbar, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." [Yunus : 106]

Yakni orang-orang musyrik (yang mempersekutukan Allah (berbuat syirik). Kepada siapa saja yang mampu mengingkari kemungkaran ini hendaknya turut serta mengingkarinya, kemudian kepada pemerintahnya, jika itu pemerintah Islam, hendaknya melarang hal ini dan mengajarkan kepada masyarakatnya apa-apa yang telah disyari'atkan dan diwajibkan Allah atas mereka dalam urusan agama sehingga kesyirikan ini bisa dihilangkan.

[Majalah Al-Buhuts, edisi 39, hal. 143-145, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Fadlush-Shalah (1197). Muslim dalam Al-Hajj (1397).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jana’iz (970).
[3]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Jana’iz (1330). Muslim dalam Al-Masajid (529).

HUBUNGAN ANTARA BID’AH DENGAN MAKSIAT


Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2



A. Kesamaan Bid’ah Dengan Maksiat.

[1]. Keduanya sama-sama dilarang, tercela dalam syari’at, dan pelakunya mendapat dosa. Maka sesungguhnya bid’ah masuk di dalam kemaksiatan [lihat Al-Itisham 2/60]. Dengan tinjauan ini, setiap bid’ah adalah maksiat, tapi tidak setiap maksiat adalah bid’ah.

[2]. Keduanya bertingkat-tingkart, bukan satu tingkatan saja, karena –menurut kesepakatan ulama- maksiat itu terbagi dalam kemaksiatan yang bisa membuat pelakunya kafir, dan kemaksiatan yang sifatnya kaba’ir (dosa-dosa besar) dan shagha’ir (dosa-dosa kecil) [lihat Al-Jawaabul Kaafi 145-150], begitu juga bid’ah terbagi menjadi.

-Bid’ah yang membuat pelakunya kafir
-Bid’ah yang sifatnya kaba’ir
-Bid’ah yang sifatnya shaga’ir [1]

[3]. Keduanya memberikan indikasi akan lenyapnya syari’at dan hilangnga sunnah. Semakin banyak maksiat dan bid’ah maka makin lemahlah sunnah. Semakin kuat dan tersebarnya sunnah, maka semakin lemahlah maksiat dan bid’ah. Maksiat dan bid’ah -ditinjau dari ini- sama-sama menghempaskan al-hudaa (ajaran yang benar) dan memadamkan cahaya kebenaran. Keduanya berjalan beriringan. Hal itu akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

[4]. Keduanya bertentangan dan bersebarangan dengan maqaashidusysyarii’ah (tujuan-tujuan syari’at) yang berakibat fatal yaitu, menghancurkan syari’at.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]
_________
Foote Note
[1]. Pembagian dan pengklasifikasian ini bisa benar jika sebagian bid'ah dinisbatkan pada sebagian yang lain. Maka jika seperti ini, dimungkinkan keadaannya beritngkat-tingkat, karena kecil dan besar berada dalam penyandaran dan penisbatan, terkadang sesuatu dianggap besar dengan sendirinya, tapi bisa dianggap kecil jika dibandingkan dengan yang lebih besar darinya. Oleh sebab itu, sesungguhnya shigharul bida (bid'ah-bid'ah kecil) pada hakikatnya –dianggap sebagai baigan al-kaba'ir dan bukan ash-shaga'ir (dosa-dosa kecil), ini jika dibandingkan dengan dosa-dosa lain selain syirik. Lihat Al-I'tisham 2/57-62. Lebh jelasnya akan ada dalam point berikutnya

HUBUNGAN ANTARA BID’AH DENGAN MAKSIAT








Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2



B. Sisi Perbedaan Antara Bid’ah Dengan Maksiat

[1]. Dasar larangan maksiat biasanya dalil-dalil yang khusus, baik teks wahyu (Al-Qur’an , As-Sunnah) atau ijma’ atau qiyas. Berbeda dengan bid’ah, bahwa dasar larangannya –biasanya dalil-dalil yang umum dan maqaashidusysyarii’ah serta cakupan sabda Rasulullah ‘Kullu bid’atin dhalaalah’ (setiap bida’ah itu sesat).

[2]. Bid’ah itu menyamai hal-hal yang disyari’atkan, karena bid’ah itu disandarkan dan dinisbatkan kepada agama. Berbeda dengan maksiat, ia bertentangan dengan hal yang disyariatkan, karena maksiat itu berada di luar agama, serta tidak dinisbatkan padanya, kecuali jika maksiat ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka terkumpullah dalam maksiat semacam ini, maksiat dan bid’ah dalam waktu yang sama.

[3]. Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syari’at. Menuduh bahwa syari’at ini masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Sedangkan maksiat, padanya tidak ada keyakinan bahwa syari’at itu belum sempurna, bahkan pelaku maksiat meyakini dan mengakui bahwa ia melanggar dan menyalahi syariat.

[4]. Maksiat merupakan pelanggaran yang sangat besar ditinjau dai sisi melanggar batas-batas hukum Allah, karena pada dasarnya dalam jiwa pelaku maksiat tidak ada penghormatan terhadap Allah, terbukti dengan tidak tunduknya dia pada syari’at agamanya. Sebagaimana dikatakan, “Janganlah engkau melihat kecilnya kesalahan, tapi lihatlah siapa yang engkau bangkang” [1].

Berbeda dengan bid’ah, sesungguhnya pelaku bid’ah memandang bahwa dia memuliakan Allah, mengagungkan syari’at dan agamanya. Ia meyakini bahwa ia dekat dengan tuhannya dan melaksanakan perintahNya. Oleh sebab itu, ulama Salaf masih menerima riwayat ahli bid’ah, dengan syarat ia tidak mengajak orang lain untuk melakukan bid’ah tersebut dan tidak menghalalkan berbohong. Sedangkan pelaku maksiat adalah fasiq, gugur keadilannya, ditolak riwayatnya dengan kesepakatan ulama.

[5]. Maka sesungguhnya pelaku maksiat terkadang ingin taubat dan kembali, berbeda dengan ahli bid’ah, sesungguhnya dia meyakini bahwa amalanya itu adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah, -pent), terutama ahli bid’ah kubra (pelaku bid’ah besar), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik…” [Faathir : 8]

Sufyan At-Tsauri berkata : “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan bid’ah tidak (idharapkan) taubat darinya.

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah.

Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka. Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertaubat, karena mereka beranggapan bahwa mereka berbuat baik. [2].

[6]. Jenis bid’ah besar dari maksiat, karena fitnah ahli bid’ah (mubtadi) terfdapat dalam dasar agama, sedangkan fitnah pelaku dosa terdapat dalam syahwat. [3]. Dan ini bisa dijadikan sebuah kaidah bahwa jika salah satu dari bid’ah atau maksiat itu tidak dibarengi qarinah-qarinah (bukti atau tanda) dan keadaan yang bisa memindahkan hal itu dari kedudukan asalnya.

Diantara contoh bukti-bukti dan keadaan tersebut adalah : Pelanggaran –baik maksiat atau bid’ah- bisa membesar jika diiringi praktek terus menerus, meremehkannya, terang-terangan, menghalkan atau mengajak orang lain untuk melakukannya. Ia juga bisa mengecil bahayanya jika dibarengi dengan pelaksanaan yang sembunyi-sembunyi, terselubung tidak terus menerus, menyesal (setelahnya, -pen) dan berusaha untuk taubat.

Contoh lain : Pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Jika bahayanya kembali kepada dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan yang bahayanya hanya kembali kepada hal-hal parsial dalam agama. Begitu pula pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengan agama lebih besar daripada pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengna jiwa.

Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah dengan maksiat kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat dan bahayanya, serta akibat yang dtimbulkan sesudahnya, karena memperingatkan bahaya bid’ah atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya tidak seyogyanya menimbulkan –sekarang atau sesudahnya- sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan maksiat itu sendiri, sebagaimana ketika kita memperingatkan bahawa maksiat atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya, tidak seyogyanya mengakibatkan –sekarang atau sesudahnya-sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Ajwaabul Kaafi : 58, 149-150, Al-I’tisham 2/62
[2]. Lihat kedua rujukan diatas yang sama
[3]. Lihat Al-Jawwabul Kaafi : 58, dan Majmu Fatawa 20/103
Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI