Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Jumat, 24 Agustus 2012

NABI YANG SEBENARNYA DAN NABI PALSU

Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin



Hanya ada dua kemungkinan ketika seseorang mengaku sebagai nabi. Mungkin ia adalah orang yang paling benar, atau kalau tidak ia adalah orang yang paling pendusta.

Ini merupakan perkara yang jelas, perbedaan antara keduanya tidak ada kesamaran sama sekali kecuali bagi orang-orang yang paling atau sangat bodoh. Bahkan ciri dan keadaan diri masing-masing pengaku akan memberikan kejelasan tentang hakikat masing-masing.

Jangankan pengakuan sebagai nabi, pengakuan terhadap sesuatu yang jauh dari derajat nabipun, untuk membedakan antara yang benar dengan yang dusta, banyak memiliki cara yang mudah. Apalagi pengakuan sebagai nabi.
Demikian antara lain pernyataan tepat yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Abi al-Izz -pensyarah Kitab Aqidah Thahawiyah- dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hal. 140 (cet.II – 1413 H/1993 M. Tahqiq & Ta’liq : Dr. at –Turky & Syu’aib al-Arna’uth, Muassasah ar-Risalah).

Dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai nabi penutup, maka jelasnya kebohongan para pengaku nabi sesudah beliau ibarat matahari di tengah siang hari bolong.

Selanjutnya di halaman berikut, Ibnu Abi al-Izz menyatakan bahwa : Tidak ada seorang pendustapun yang mengaku nabi kecuali pasti dirinya akan terlihat jelas sebagai orang yang bodoh, dusta, jahat dan dikuasai oleh setan, hal yang dapat dilihat oleh orang yang paling awamp sekalipun.

Sesungguhnya seorang Rasul (yang sebenarnya dan juga Nabi) pasti akan menyampaikan berita-berita kepada manusia, akan memerintahkan perintah-perintah dan pasti akan melakukan perbuatan-perbuatan yang itu semua akan memperjelas kebenarannya sebagai seorang Rasul. Sebaliknya, seorang pendustapun akan terlihat dari apa yang diperintahkannya itu sendiri, dari apa yang diberitakannya itu sendiri dan dari kelakuan yang diperbuatnya itu sendiri, sehingga dari banyak sisi akan memperjelas kebohongannya. Sedangkan orang yang benar adalah kebalikannya. Bahkan setiap dua orang yang masing-masing membuat pengakuan terhadap suatu urusan ; yang satu benar dan yang lain dusta, pasti yang benar akan terlihat benar dan yang dusta akan terlihat dusta, meskipun kadang butuh waktu. Sebab, kejujuran (benar) mengharuskan kebaikan, sedang kebohongan mengharuskan kejahatan. Sebagaimana tersebut dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَي الْبِرِّ، وَ(إِنَّ) الْبِرَّ يَهْدِي إِلَي الْجَنَّةِ، وَلاَ يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ (وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ) حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا. وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَي الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَي النَّارِ، وَلاَ يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا.

Hendaknya kamu jujur, karena sesungguhnya jujur itu akan membimbing menuju kebaikan, dan sesunguhnya kebaikan itu akan membimbing menuju sorga. Tidaklah seseorang senantiasa (bersikap) jujur (dan berniat bersungguh-sungguh untuk jujur) kecuali niscaya dituliskan di sisi Allah sebagai orang yang benar-benar jujur (shiddiq). Dan janganlah sekali-kali kamu dusta, karena dusta akan membimbing pada kejahatan, dan sesungguhya kejahatan akan membimbing menuju neraka. Tidaklah seseorang senantiasa berdusta dan selalu sengaja berbuat kedustaan kecuali akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.

Tetapi begitulah kenyataannya, tetap saja ada pembohong yang mengaku sebagai nabi, kendatipun kepalsuannya telah nyata-nyata diketahui. Hanya karena ada orang-orang bodoh dan tidak waras pikirannyalah maka pembohong-pembohong tadi tetap mempunyai pengikut. ولا حول ولا قوة إلا بالهl .

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَي اللهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوْحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوْحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata : “saya telah diberi wahyu” padahal tidak ada sesuatupun yang diwahyukan kepadanya. [Al-An’am : 93].

Begitulah, akhirnya pembohong semacam Mirza Ghulam Ahmad pun mendapat pengikut, karena adanya orang-orang bodoh dan orang-orang yang pikiran serta hatinya tidak waras itu.

Nah ketika kedudukan nabi saja, ada orang yang berusaha memalsukannya, apalagi kedudukan-kedudukan lain yang derajatnya di bawah nabi. Maka tak heran jika belakangan ini muncul pendusta perempuan dengan pendamping-pendampingnya yang mengaku sebagai imam Mahdi. Lagi-lagi pengikutnya adalah orang-orang bodoh dan orang-orang yang pikiran serta hatinya tidak waras. Wallahu al-Musta’an.

Melihat kenyataan-kenyataan inilah, maka perlu kiranya di sini dibahas tentang dalil-dalil kenabian dan keistimewaan-keistimewaan nabi akhir zaman, sekalipun secara singkat. Harapannya, semoga bisa menjadi acuan untuk menilai bahwa hadirnya para pengaku nabi sesudah nabi Muhammad n adalah dusta. Bahkan para pengaku wali atau imam Mahdi.

DALIL-DALIL KENABIAN
Dalil-dalil kenabian adalah bukti-bukti yang dengannya dapat diketahui kenabian seorang nabi yang sebenarnya, dan kedustaan pembohong yang mengaku nabi.[1]

Menurut kebanyakan ahli Kalam, bukti kenabian seorang nabi terbatas hanya dengan mu’jizat, tidak ada bukti-bukti lainnya [2]. Pembatasan ini tentu tidak benar, sebab dalil-dalil atau bukti-bukti kenabian sangat banyak dan tidak bisa dibatasi jumlahnya. [3]. Dibawah ini adalah beberapa di antaranya:

1. Ayat-Ayat Dan Mu’jizat-Mu’jizat.
Pengertian ayat menurut bahasa ialah tanda-tanda yang memberikan petunjuk atas sesuatu. Tetapi yang dimaksud ayat di sini ialah : perkara-perkara yang terjadi diluar kebiasaan yang diberlangsungkan oleh Allah k melalui para nabi dan para rasul-Nya, dimana manusia biasa tidak dapat melakukannya. Misalnya, merubah tongkat menjadi ular yang bergerak-gerak. Peristiwa diluar kebiasaan semacam ini dimaksudkan sebagai dalil atas benarnya kenabian para nabi Allah, dan itu tidak bisa dilawan oleh kekuatan apapun.[4]

Sedangkan mu’jizat, secara bahasa adalah isim Fa’il dari kata al-‘ajzu yang artinya lemah, kebalikan dari mampu. Dalam al-Qamus, yang dimaksud mu’jizat nabi ialah: seuatu yang digunakan untuk menjadikan lawan lemah ketika berada ditengah tantangan. Jadi mu’jizat ialah perkara yang diluar kebiasaan yang diberlangsungkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui tangan seseorang yang dipilih untuk menjadi nabi-Nya, untuk membuktikan kebenaran kenabiannya dan keabsahan risalahnya. [5].

Dengan demikian, ada kesamaan arti antara ayat dan mu’jizat di sini.

Beberapa Contoh Mu’jizat Para Nabi
1. Mu’jizat Nabi Shalih Alaihissallam berupa Unta betina yang tidak boleh disembelih, sebagai hujjah atas kaumnya. (Begitu kaumnya melanggar, maka siksa Allah melanda mereka di dunia, sebelum di akhirat-pen).

2. Mu’jizat Nabi Musa Alaihissallam, diantaranya sebuah tongkat yang bisa berubah menjadi seekor ular.

3. Mu’jizat Nabi Isa Alaihissallam berupa kemampuan menyembuhkan orang buta dan orang yang menderita kusta, serta dapat menghidupkan orang mati, dengan izin dari Allah.

4. Mu’jizat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jumlah serta ragamnya sangat banyak, yang paling besar adalah al-Qur’an al-Karim, suatu mu’jizat abadi yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta'ala menantang jin dan manusia, kemudian Isra’ – Mi’raj, kemudian terbelahnya bulan, bertasbihnya kerikil ditangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menangisnya batang korma di hadapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika beliau hendak mengganti mimbar beliau dengan kayu), dan juga pemberitaan-pemberitaan beliau tentang peristiwa-peristiwa di masa mendatang maupun di masa lampau [6].

5. Dan contoh-contoh mu’jizat lain yang tidak bisa disebutkan di sini [baca misalnya: ar-Rusul wa ar-Risalat dibawah judul Dala’il an-Nubuwwah].

Catatan Berkaitan Dengan Kejadian Diluar Nalar Yang Merupakan Hasil Kerja Setan :
Banyak orang tersesat ketika mengira bawa setiap orang yang bisa memamerkan kejadian ajaib pada dirinya berarti adalah wali Allah yang shaleh. Misalnya, ada orang yang bisa terbang di udara atau berjalan di atas air. Bahkan boleh jadi ada yang mengaku nabi, seperti al-Harits ad-Dimasyqi yang muncul di Syam pada zaman Abdul Malik bin Marwan dan mengaku nabi (atau Mirza Ghulam Ahmad, atau Kadirun Yahya, atau Lia Aminudin atau Dajjal –nas’alullah min fitnatihi wamin fitnatihim jami’an). Al-Harits ini memamerkan peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi melalui tangannya. Ia pernah dibelenggu kedua kakinya, tetapi bisa lepas, pernah dibacok dengan senjata tajam, tidak mempan, batu pualam bertasbih ketika di sentuh tangannya dan pernah suatu kali ia memperlihatkan kepada orang-orang di sekelilingnya tentang rombongan makhluk yang berjalan kaki dan naik kuda diudara, lalu ia katakan bahwa rombongan itu adalah malaikat. Keajaiban-keajaiban semacam ini adalah hasil kerja setan (bukan mu’jizat dan bukan karamah).

Oleh karena itu bila ada orang saleh yang hadir di situ lalu berdzikir kepada Allah atau membaca ayat Kursi atau membaca beberapa ayat al-Qur’an, maka sirnalah keajaiban setan yang mereka miliki itu.

Begitu juga al-Harits ad-Dimasyqi si pembohong, ketika kaum Muslimin berhasil menangkapnya untuk dibunuh, ia dipanah oleh seseorang di antara kaum Muslimin, tetapi tidak mempan. Maka Abdul Malik bin Marwan berkata kepada sipemanah : “Engkau tidak membaca basmalah”. Lalu orang itu membaca basmalah. Akhirnya al-Harits sang pembohong mati.

Dengan demikian, tidak setiap keajaiban yang dimiliki seseorang, berarti pemiliknya mesti wali Allah, apalagi nabi. Penyebab datangnya karamah (termasuk diantaranya mu’jizat) adalah keimanan, ketaqwaan dan keistiqamahan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya, jika penyebab datangnya keajaiban adalah kekafiran, kemusyrikan, kezaliman, dan kefasikan, maka tentu itu berasal dari keajaiban setan, dan merupakan hasil kerja setan. Sama sekali bukan karamah apalagi mu’jizat. [7]

2. Berita-Berita Dari Umat Terdahulu
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ

Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para Ulama Bani Israil mengetahuinya? [Asy-Syu’ara’ : 197].

Ayat ini menjelaskan bahwa di antara bukti-bukti yang jelas menunjukkan benarnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan benarnya syari’at yang beliau bawa adalah mengetahuinya Bani Israil tentang kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengetahuan yang telah tertulis dan terpelihara dalam kitab-kitab mereka. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ اْلأَوَّلِيْنَ

Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab orang-orang yang terdahulu [asy-Syu’ara’ : 196].

Al-Qur’an al-Karim yang turun dari sisi Allah -Rabb yang Maha berilmu dan Maha sangat mengetahui, menceritakan bahwa nama Nabi Muhammad dan umatnya telah tersebut di dalam kitab-kitab Samawi terdahulu. Dan bahwa para nabi terdahulu telah memberitakan tentang akan datangnya Muhammad sebagai nabi terakhir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَ كُمْ رَسُوْلٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ، قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ، وَأَخَذْتُمْ عَلَي ذَلِكُمْ إِصْرِي، قَالُوا أَقْرَرْنَا، قَالَ فَاشْهَدُوْا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi : “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, maka kamu harus sungguh-sunggguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?”. Mereka menjawab : “Kami mengakui”. Allah berirman : “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi pula bersama kamu” [Ali Imran : 81].

Para ahli tafsir memahami ayat di atas sebagai ayat yang menerangkan bahwa Allah telah mengambil perjanjian dari setiap nabi; jika (kelak) Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus sedangkan nabi-nabi tersebut masih hidup, maka mereka harus beriman kepadanya dan meninggalkan syari’at mereka untuk mengikuti syari’at Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berdasarkan itu, maka penyebutan akan munculnya nabi Muhammad sudah ada pada setiap nabi terdahulu. [8]

3. Menghayati Kondisi Dan Latar Belakang Para Nabi.
Salah satu di antara hal yang membuktikan kenabian para nabi ialah jika menghayati kondisi dan latar belakang mereka yang amat dikenal oleh kaumnya, sebab mereka merupakan orang-orang yang akrab bergaul dengan masyarakat. Para nabi dikenal sebagai orang-orang terpercaya di tengah masyarakatnya, dikenal zuhud, dikenal sebagai orang-orang yang tak mengharapkan upah duniawi. Sebagai contoh adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bahkan diberi gelar olah bangsa Quraisy sebagai al-Amin (orang yang terpercaya) sebelum diutus sebagai nabi. Mengapa demikian? Karena kejujuran dan amanahnya.

Ketika pertama kali nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerukan dakwah terbuka kepada bangsa Quraisy, beliau berkata : “Apabila aku kabarkan kepada kalian, bahwa dibalik lembah ini ada tentara berkuda yang hendak menyerbu kalian, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menjawab : Kami tidak pernah sekalipun mendapati engkau berdusta” [HR. Bukhari].

Pembuktian model ini telah ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

قُلْ لَوْ شَاءَ اللهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلاَ أَدْرَاكُمْ بِهِ، فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ

Katakanlah: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya? [Yunus: 16].

Maksud ayat di atas ialah : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada kaumnya : “Sesunguhnya aku telah tinggal bersama kalian untuk waktu yang tidak pendek sebelum aku memberi kabar kepada kalian bahwa aku adalah nabi; bagaimana perilakuku bersama kalian, bagaimana kejujuranku terhaddap kalian? Apakah selama itu aku pernah berbuat dusta kepada manusia? Dan kalau aku tidak pernah berbuat dusta kepada manusia, apakah lalu aku berani berbuat dusta atas nama Allah? Tidakkah kalian berfikir?. Tidakkah kalian menggunakan akal supaya dapat menuntun kalian menuju kebenaran?” [9].

Itulah satu di antara keadaan nyata para nabi. Bahkan ada sebagian orang yang hanya dengan melihat kepribadian, kehidupan dan perilaku nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka langsung memepercayai kenabian beliau. Mereka menjadikan kenyataan itu sebagai dalil, tanpa berfikir kepada bukti-bukti lain. Sebab hal itu sudah merupakan dalil yang terbesar.

Diantaranya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu 'anhu. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendakwahinya, sedikitpun ia tidak ragu menerimanya. Begitu pula Abdullah bin Salam Radhiyallahu 'anhu, ia hanya butuh satu kali pandang saja pada wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sudah cukup memberikan bukti kepadanya bahwa beliau bukan pendusta. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai di Madinah, Abdullah bin Salam –salah seorang tokoh ulama Yahudi kala itu- keluar untuk melihat wajah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abddullah bi Salam berkata : “Setelah saya lihat wajah beliau, tahulah saya bahwa wajah beliau bukan wajah pendusta” [10].

Begitu juga Khadijah Radhiyallahu 'anha. Wanita yang faham betul keadaan suaminya sebelum menjadi nabi. Khadijah tidak ragu sama sekali kalau Allah pasti tidak akan menghinakan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena itu katika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari gua Hira’ seraya mengatakan : “Saya takut”, maka Khadijah berkata menghiburnya : “Sekali-kali jangan takut, demi Allah, Allah tidak akan menghinakan anda selama-lamanya. Anda adalah orang yang betul-betul menyambung silaturahmi, memikul tanggung jawab, menolong orang yang kekurangan, suka menghormati tamu dan membela kebenaran” [11]

Jadi melihat akhlak-akhlak tinggi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum menjadi nabi, Khadijah langsung mempercayainya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa beliau mendapat wahyu Allah.

Hiraklius –Raja Romawi saat itu-, dalam dialognya dengan Abu Sufyan juga meyakini kebenaran kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, hanya dengan mendengar ciri-ciri serta keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sama persis dengan ciri-ciri yang ia (Hiraklius) kenal pada nabi-nabi umumnya. Hanya karena harga diri sebagai kaisar sajalah yang menghalanginya untuk mengimani Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam [12].

Jadi, secara umum, keadaan para nabi, kehidupan mereka, kejujuran, zuhud, serta segala ciri mereka yang amat dikenal oleh kaumnya masing-masing cukup menjadi bukti akan kebenaran kenabian mereka. Apakah pemalsu-pemalsu nabi, termasuk di dalamnya Mirza Ghulam Ahmad punya ciri-ciri seperti para nabi? Tidak. Bahkan ia dikenal sebagai keturunan orang yang bermasalah dengan kaum Muslimin. Fisik maupun karakternyapun dipertanyakan. Tidak ada sanad jelas yang menjamin kehebatan pribadi Mirza Ghulam Ahmad selain cerita-cerita bualan semata yang tanpa sanad. Orang berakal tentu tidak akan terperangkap kedalam cerita legenda Ghulam Ahmad ini –bi-idznillah-.

4. Dakwah Para Rasul
Memperhatikan dakwah para rasul juga merupakan sarana tepat yang dapat menunjukkan kebenaran kenabian mereka.

Para rasul telah datang membawa manhaj yang paripurna untuk memperbaiki manusia dan memperbaiki masyarakat manusia. Agama para rasul ini yang oleh mereka dikatakan sebagai agama yang turun dari sisi Allah, tentulah agama yang betul-betul dalam puncak kesempurnaannya, tidak mengandung kekurangan dan aib sama sekali. Tidak bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak pula dengan sunnah kauniyah.

Pendalilan (tentang kebenaran para nabi) dengan memperhatikan dakwah para rasul ini sebenarnya merupakan petunjuk al-Qur’an al-Karim. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisaa’ : 82].

Bahwa Al-Qur’an (ayat-ayatnya) merupakan satu kesatuan yang utuh dimana satu sama lain saling membenarkan, tidak saling bertentangan dan tidak pula saling berselisihan, merupakan dalil yang jelas tentang kebenaran Nabi yang membawanya.

Begitu pula memperhatikan tujuan dakwah para Rasul serta keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai yang didakwahkan para Rasul merupakan bukti terbesar atas kebenaran mereka. [13]

5. Pembelaan Dan Pertolongan Allah Kepada Para Rasul.
Pembelaan dan pertolongan Allah kepada segenap nabi-Nya, dari sejak Nuh Alaihissallam hingga Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya membuktikan kebenaran kenabian mereka. Sebab mustahil bila mereka dusta lalu dibela dan ditolong oleh Allah. Allah berfirman :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيْلِ َلأَخَذْنَا مِنْهُ بِاْليَمِيْنِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ

Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. [al-Haaqqah : 44-46]. [14]

Demikian beberapa dalil kenabian umumnya secara garis besar. Pembahasan berikutnya adalah kekhususan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

KEKHUSUSAN NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM.
Syaikh Shalih al-Fauzan (tokoh Ulama, anggauta dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) dalam kitabnya al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad (hal. 225-228) menyebutkan beberapa kekhususan Nabi Muhammad n dibanding semua nabi lain. Secara ringkas kekhususan-kekhhususan itu diantaranya :

1. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu (para sahabat), tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi. [al-Ahzab: 40]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

Saya adalah penutup para nabi, tidak ada nabi lagi sesudah saya. [15]

Hadits senada terdapat dalam Sahih Bukhari, Sahih Muslim, at-Tirmidzi dan lain-lain.

2. Al-Maqam al-Mahmud (posisi yang terpuji), yaitu syafa’at Kubra yang menjadi hak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُوْدًا

Agar Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. [al-Isra’ : 79].

Hadits muttafaq ‘alaih yang panjang tentang syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seluruh manusia, membuktikan kedudukan terpuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak dimiliki nabi-nabi lain.

3. Risalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seluruh golongan jin dan manusia. Banyak ayat menjelaskan tentang itu, di antaranya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ

Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya. [Saba’: 28].

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوْا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قَضَى وَلَّوْا إِلَي قَوْمِهِمْ مُنْذِرِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya), mereka berkata : “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. [Al-Ahqaf : 29].

Dalam hal ini semua sepakat.

4. Di antara kekhususan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah al-Qur’an al-Karim. Mu’jizat abadi yang tidak bisa ditiru dan dipalsu oleh siapapun, baik jin maupun manusia.

5. Di antaranya lagi adalah mi’raj beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ke langit-langit yang tinggi, ke Sidratul Muntaha hingga beliau dapat mendengar goresan pena Allah di atas sana. Jaraknya tinggal hanya dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.

Itulah beberapa kekhususan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi selainnya, apalagi manusia biasa.

PENUTUP
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa setiap orang yang muncul sesudah beliau dan mengaku sebagai nabi adalah orang yang paling pendusta.

Yang perlu diperhatikan di sini ialah (sebagaimna perkataan Syeikh Shalih al-Fauzan), bahwa ketika kedudukan nabi saja diaku secara dusta oleh sebagian pendusta seperti Musailamah al-Kadzab, al-Mukhtar, al-Harits al-Maqdisi, Mirza Ghulam Ahmad dan lain-lain, apalagi kedudukan yang derajatnya dibawah nabi. Maka tidaklah mengherankan kedudukan sebagai imam Mahdi (kedudukan “wali” dan kedudukan lain), akan lebih banyak di-aku-aku secara dusta oleh beberapa kalangan orang sesat. [16].

Karena itu umat Islam hendaknya tidak tertipu dengan seruan-seruan Lia Aminudin, Mirza Ghulam Ahmad (Ahmadiyah), Panji Gumilang, Jalaludin Rahmat (dengan IJABI-nya) atau yang semisalnya. Tinggalkan semua orang itu. Dan kembalilah kepada ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secarta ikhlas dan benar sebagaimana pemahaman (dan amalan) para Salafus Shalih Radhiyallahu 'anhum. Bukankah dengan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah secara benar seperti pemahaman sahabat Nabi dan tokoh-tokoh Salafus Shalih lain sudah cukup? Apalagi yang ingin dicari?.
-Nas’alullaha at-Taufiq wa as-Sadaad-.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad wa ar-Radd ‘ala ahlisy Syirki wal-Ilhad; Syeikh Shalih al-Fauzan, hal. 205 di bawah judul al-Iman bi ar-Rusul, sub judul Dala-il an-Nubuwwah.
[2]. Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 140
[3]. Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, Syeikh Shalih al-Fauzan, hal. 205
[4]. Lihat ar-Rusul war-Risalat, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, Daar al-Falah-Kuwait, cet III 1405 H/1985 M, hal. 121
[5]. Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, Syeikh Shalih al-Fauzan, hal. 205
[6]. Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad hal. 206
[7]. Lihat ar-Rusul wa ar-Risalat, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, hal. 161
[8]. [Lihat dan baca selengkapnya kitab ar-Rusul wa ar-Risalat, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar: 162, baca pula buku-buku sirah Nabawi
[9]. Ar-Rusul Wa ar-Risalat, hal 197
[10]. HR. Ahmad dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan : Hadits Shahih. Juga di riwayatkan oleh Ibnu Majah/menukil dari al-Bidayah wa an-Nihayah; Ibnu Katsir III/210. Lihat Ar-Rusul wa ar-Risalat, hal. 198
[11]. Sahih al-Bukhari, Fathul Bari I/22 (ar-Rusul wa ar-Risalat, hal. 198
[12]. Lihat kisahnya, bagaimana Hiraklius berkata, dalam Sahih Bukhari, Kitab Bad’i al-Wahyi/Fathul Bari I/31
[13]. Ar-Rusul wa ar-Risalat, hal 202
[14]. Ar-Rusul wa ar-Risalat, hal 204-205
[15]. HR. Abu Dawud/4252 – awal kitab al-Fitan wa al-Malahim, Ahmad dalam Musnadnya, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. Sanadnya Shahih. Lihat catatan kaki Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah; Dr. at-Turki & Syu’aib al-Arna’uth, hal. 157, cet II, Muassasah ar-Risalah
[16]. Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’’tiqad hal. 258

 http://almanhaj.or.id/content/3019/slash/0/nabi-yang-sebenarnya/

PENYELEWENGAN TERHADAP AYAT : (INGATLAH) SUATU HARI (YANG PADA HARI ITU) KAMI PANGGIL TIAP UMAT DENGAN PEMIMPINNYA..

Oleh Ustadz Abu Minhâl


Penyelewengan Terhadap Ayat

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya..[al-Isra : 71]


PENYELEWENGAN MAKNA AYAT
Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan atas ayat tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata "imam". Mereka melakukan penyelewengan terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk mendukung kepentingan golongan atau kelompoknya supaya bisa tetap eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat, lantaran akan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala saat hari Kiamat kelak. Para pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.

Di antara golongan yang "memanfaatkan" ayat ini ialah Islam Jama'ah, yang kini bernama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang sudah berulang kali berganti nama ini memelintir kandungan ayat di atas. Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan kepada pemimpin LDII, yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan penuturannya dalam "tafsir manqul" miliknya, ia berkata: "Pada hari kami panggil setiap manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak punya amir, maka akan masuk neraka". Penyebutan kata "imam" yang dimaksud oleh LDII ialah amir mereka, yaitu Nur Hasan. Keterangan ini dituturkan oleh mantan tokoh besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz Hâsyim Rifâ'i yang pernah berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan 'Ubaidah Lubis, pendiri LDII.[1]

Kalangan lainnya, yaitu Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini untuk mempropagandakan thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah dicetuskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalangan Sufi menggiring jamaah-jamaahnya untuk taat kepada para syuyûkh (guru) penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat tersebut tidak ada muatan sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini akan menjadi jelas dari dua sisi.[2]

Pertama : Para ulama besar dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu pun dari mereka yang memaknai kata "imam" dengan makna "syaikh-syaikh tarikat". Orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir pada masa lalu, seperti Ibnu 'Abbâs, al-Hasan al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah, adh-Dhahhâk, mereka memberi penafsiran kata "imam" dengan makna kitab yang berisi amalan-amalan. Demikian pula Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan pengertian ini dengan merujuk firman Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.

Menurut al-Qâsimi rahimahullah, yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah itulah pendapat yang benar. Karena Al-Qur`ân menjelaskan sebagian ayatnya dengan sebagian lainnya. Dan yang pertama kali perlu diperhatikan dalam memahami makna-makna ayat-ayat Al-Qur`ân, yaitu dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.

Kedua : Seandainya yang dimaksud dengan "imam" adalah syaikh thariqah –sebagaimana klaim kalangan Sufi–, maka pernyataan ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan tingginya kedudukan syaikh atau keharusan untuk memuliakannya. Sebab, panggilan dengan namanya tidak mesti menunjukkan keutamaan diri seseorang.

Imam ath-Thabari rahimahullah sendiri merajihkan pengertian "imam" tersebut, ialah orang-orang yang diikuti dan menjadi panutan di dunia.

Seperti sudah diketahui, sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru dan menyambut setiap ajakan. Tidak aneh jika mereka menyambut para tokoh kesesatan pula. Karena itu, diriwayatkan dari sejumlah ulama tafsir dari Ibnu 'Abbas, berkata tentang tafsir kata "imam mereka" dalam ayat, yaitu "imam dalam hidayah dan imam dalam kesesatan".[3]

Keterangan ini juga telah disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau: "Mungkin saja pengertian dari "imam mereka", maksudnya ialah setiap kaum (dipanggil) dengan orang yang mereka ikuti. Orang-orang beriman akan mengikuti para nabi, dan orang-orang kafir akan mengikuti para tokoh mereka. Allah telah berfirman, yang artinya: Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka …. (al-Qashash/28:41).

Mujahid berkata,"Imam, ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan dipanggil, datangkanlah para pengikut Nabi Ibrahim, datangkanlah para pengikut Musa, datangkanlah para pengikut setan, datangkanlah para pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di atas al haq, akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para penganut kebatilan akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kiri".

Apabila telah jelas bahwa "imam" itu bisa bermakna panutan dalam hidayah atau panutan dalam kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan yang terkutuk, maupun berhala dan para pemuja (penganut)nya akan dihimpun di bawah panji sang panutan, baik ia panutan dalam kebaikan maupun dalam kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka status seorang syaikh thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak otomatis mengindikasikan keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian terhadap diri syaikh thariqat ini tergantung kepada amalan-amalan, ucapan-ucapan dan ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran Rasulullah, sehingga ia pun menjadi panutan dalam hidayah jika bertumpu pada ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, bisa jadi ia menjadi panutan dalam kesesatan seiring dengan penyelewengannya dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Seandainya yang menjadi "imam" mereka al-Kitab dan as Sunnah, niscaya mereka tidak membutuhkan penerapan berbagai ibadah yang tidak pernah diajarkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah

DI ANTARA KLAIM PALSU KALANGAN SUFI[4]
Seorang penganut thariqat Tijâniyyah yang bernama al-Fûti, ia mengatakan kepada jamaahnya, bahwa thariqat mereka merupakan thariqat terbaik dan akan menjadi maraji` (rujukan) bagi semua wali Allah.

Al-Fûti berkata: "Pada hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh mereka dan memanggil mereka untuk mendekati syaikh mereka di atas kedudukannya … kalau para jamaah dipanggil dengan nama-nama syaikh (thariqah) mereka dan Allah memanggil para ahli thariqat untuk menuju tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat syaikh, maka menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut penutup para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu konsisten dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada orang lain yang mampu menyamai derajat mereka, kendatipun mereka itu ahli ma'rifah, shiddiqîn dan para aghwâts, selain para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini, kalangan awam tarikat Tijaniyyah lebih afdhol daripada yang lainnya". Lihat ar-Rimâh, 2/29.

Al-Fûti kian menampakkan rasa percaya diri terhadap kehebatan thariqatnya, dengan perkataannya: "Sungguh, seluruh wali akan memasuki kelompok kita, akan mengambil wirid-wirid kita, dan konsisten dengan thariqat kita, (wali-wali Allah) dari zaman pertama kali muncul kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi telah bangkit di akhir zaman, ia akan mengambil (ajaran) dari kita dan masuk kelompok kita". Lihat ar-Rimâh, 2/29.

Sanggahan : Perhatikanlah, sejauh mana kebenaran klaim di atas. Bagaimana mungkin seluruh wali Allah (yang sebenarnya) sejak pertama muncul kehidupan akan bergabung dengan thariqat Tijâniyyah?

Ini sebuah klaim yang membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang kuat. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad at-Tijâni dilahirkan itu bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu anggapan aneh yang sangat nyata.

Di bagian lain al-Fûti mengomentari orang-orang yang berada di luar thariqatnya. Dia berkata: "Adapun orang-orang yang masih berada dalam kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang yang belum mengikuti Tijâniyyah), tidak ada penghalang bagi mereka untuk bersandar dengan syaikh kami Ahmad at-Tijâni, padahal telah begitu nampak kemuliaan dan keutamaan thariqatnya, serta keistimewaan para pengikutnya; seperti terangnya sinar matahari siang hari di musim panas, kecuali mereka akan tercampakkan dari rahmat Allah Ta'ala, terhambat dari kebaikan, mendapat laknat, kecelakaan dan kerugian". Lihat ar-Rimâh, 2/44.

Seorang dai Tijâni bernama Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: "Berdasarkan sebagian pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa mengetahui bahwa orang yang memperoleh taufik dari Allah untuk bergabung dengan thariqat kami, niscaya kebahagiaannya di dunia dan akhirat sempurna, dan ia termasuk orang yang dicintai dan diterima di sisi Allah, walau bagaimanapun kondisinya". Lihat as-Sirrul-Akbar wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).

Begitu pula salah seorang dari kalangan thariqat Rifâ'iyyah. Setelah menunjukkan kemampuan syaikhnya yang luar biasa, seperti menempuh jarak sejauh perjalanan 100 tahun hanya dengan satu langkah saja, mengetahui bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia berkata: "Pegangilah ujung-ujung pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di majlisnya. Jangan sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah syafaat dengan namanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menolak permohonan syafaatmu melalui namanya. Karena ia termasuk ahli bait yang mulia. Sungguh orang-orang besar, tokoh-tokoh …, mereka semua telah mengetahui bahwa tarikatnya merupakan jalan keselamatan dan keamanan. Kecintaan terhadapnya termasuk faktor paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka mengharuskan diri dan keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya, dan komitmen dengan thariqatnya" Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.

Oleh karena itu, setiap kaum Muslimin harus waspada. Jalan selamat dalam beragama ialah dengan mengikuti pemahaman generasi Salaf, yaitu jalan yang penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 86-87.
[2]. Dinukil dari Taqdîsul-Asykhâs, 1/348-352.
[3]. Fat-hul-Qadîr, 3/248. Nukilan dari Taqdîshul-Ashkhâs, 1/348.
[4]. Dikutip dari Taqdisul-Asykhâs, I/349-350.


 http://almanhaj.or.id

SEPAK TERJANG SYI'AH DI INDONESIA

Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Hafidzullah


Perjalanan kaum Syi'ah di negeri ini semakin jelas khususnya dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang mengantarkan ajaran atau (tepatnya disebut) dîn (agama) Syi'ah untuk menguasai Iran sebagai agama penguasa setelah pemerintahan Reza Fahlevi runtuh.Setelah terjadi revolusi di Iran di penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan ajaran mereka ke seluruh negeri Islam dengan mengatasnamakan dakwah Islam. Terutama ke negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin. Ada tiga faktor yang menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke Indonesia. Yaitu:

Pertama : Kaum Muslimin terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.

Kedua : Mayoritas kaum Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafus Shâlih. Mereka hanya sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful ummah (generasi terbaik umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur’ân dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh (benar).

Ketiga : Kebanyakan kaum Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah (perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi'ah kecuali sekedar perbedaan furu’iyyah.

Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan daulah islamiyah.1 Padahal pada hakekatnya untuk menegakan daulah râfidhah. Mereka hendak meyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran ini dan ditegakan oleh mereka. Khomaini, pemimpin mereka telah menulis beberapa kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita tentang jati diri penulis dan para pengikutnya. Tiga kitab itu adalah ; pertama, kitab Hukumâtul Islamiyah; kedua, kitab Tahrîrul Wasîlah; ketiga, kitab Jihâdun Nafs atau dengan judul Jihâdul Akbar. Dalam tiga kitab ini, khususnya dalam kitab Hukumâtul Islamiyah, Khomaini secara tegas tanpa taqiyyah menyatakan beberapa hal penting sebagai dasar pada agama mereka. Diantaranya dua point yang sangat mendasar yaitu :

- Tidak ada hukum kecuali hukum Syi'ah. Jadi yang dimaksudkan dengan Hukumatul Islamiyah adalah hukum Rafidhah
- Tidak ada negeri Islam kecuali yang di tegakan oleh mereka.

Karena itu mereka menyeru agar kaum Muslimin mengikuti mereka. Berbagai upaya dilakukan, misalnya mengirimkan dai-dai ke seluruh negeri-negeri Islam atau dengan istilah pertukaran pelajar, atau cendikiawan, mempertemukan tokoh-tokoh mereka dengan tokoh-tokoh kaum Muslimin untuk mempersatukan Islam. Sebuah tanda tanya besar ! Padahal yang diinginkan adalah agar kaum Musliminmengikuti mereka.

Dalam kitab Hukumâtul Islamiyah juga, Khomaini dengan tegas mengatakan bahwa derajat imam-imam mereka lebih tinggi dari derajat para nabi dan rasul bahkan para malaikat. Dalam kitab itu juga, Khomaini tidak mengenal Daulah Islamiyah kecuali yang ditegakkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, adapun tiga khalifah sebelum Ali Radhiyallahu 'anhu yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak dianggap sebagai kaum muslimin. Bahkan dalam kitab Jihâdul Akbar, Khomaini dengan tegas melaknat sahabat agung, penulis wahyu, ipar Rasulullah dan pamannya kaum Muslimin yaitu Mu’âwiyah bin Abi Sufyân. Khomaini mengatakan bahwa Mu’âwiyah terlaknat di dunia dan di akhirat dengan mendapat adzab di akhirat. Seolaholah dengan perkataannya ini, dia mengetahui perkara yang ghaib. Apakah Allah Azza wa Jalla telah mengikat perjanjian dengan dia ? Apakah Allah telah memberikan berita ghaib kepadanya ? sehingga dengan tegas dia berani mengucapkan perkataan ini.

Ini menunjukan betapa kuat kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum Muslimin yaitu para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Oleh karena itu, ketika mengetahui perkataan-perkataan Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut, sebagian tokoh kaum muslimin berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan “Persatuan dan Kesatuan Umat Islam”, “Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali masalah furu’ saja”, semuanya adalah kebohongan.

AJARAN SYI’AH MASUK INDONESIA
Diawal tahun 1980, ajaran Syi’ah mulai masuk ke Indonesia, walaupun (sebatas yang saya ketahui) ketika itu, pemerintah awalnya menolak kedatangan tokoh tokoh Syi'ah ke indonesia untuk memperkenalkan ajaran mereka. Tetapi ada beberapa tokoh di Indonesia ini yang sangat berjasa bagi kelompok Rafidhah ini, diantaranya dua orang tokoh yang sangat berjasa. Keduanya berhasil meyakinkan pemerintah bahwa yang datang ini bukanlah murid-murid Khomaini tetapi lawan-lawannya serta mereka tidak membawa ajaran Khomaini. Pemerintah yang memang tidak paham ajaran Syi'ah [2], akhirnya memberikan ijin. Sejak itu, masuklah ajaran Syi’ah ke negeri kita ini. Secara pribadi, ketika itu, saya (penulis) telah mengingatkan kepada sebagian ustadz dan kaum Muslimin bahwa kalau kita tidak menjalaskan masalah Syi’ah ini kepada ummat, maka ajaran akan berkembang dan masuk ke berbagai lapisan masyarakat. Namun, sangat disesalkan, mereka tidak mengindahkannya dan tetap menganggap perbedaan antara kita dengan Syi'ah hanya dalam masalah furu’iyyah. Padahal perbedaan kita dengan Syi'ah Raafidhah adalah perbedaan ushûl (pokok-pokok agama) dan furu’ yang keduanya tidak mungkin disatukan kecuali kalau salah satunya meniggalkan ajaran agamanya. Di antara perbedaan ushûl (pokok) yang sangat mendasar sekali yang kalau diyakini oleh seseorang maka akan menyebabkan seorang itu murtad yaitu :

Pertama : Keyakinan mereka bahwa al-Quran yang ada ditangan kaum muslimin saat ini, yang dibaca, yang dihafal dan diyakini sebagai kitabullah yang diwahyukan kepada hambaNya dan RasulNya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui perantara Malaikat jibril Alaihissallam, telah tidak asli lagi. Menurut Syi’ah, al-Qur’ân telah dirubah, atau dikurangi oleh para sahabat yang dipimpin oleh tiga sahabat mulia yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsmân dan para sahabat lainnya. Keyakinan ini bisa menghancurkan seluruh isi al-Qur’ân, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran,dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya [al Hijr/15:9]

Sedangkan ajaran Râfidhah yang terus-menerus mereka katakan sampai saat ini, baik dengan lisan maupun tulisan bahwa al-Qur’ân yang asli adalah al-Qur’ân yang tiga kali lebih besar dibandingkan al-Qur’ân kita dan sangat berbeda dengan dengan al-Qur’ân. Al-Qur’an yang asli ini nanti akan dibawa oleh imam Mahdi menurut versi mereka dan dinamakan Mushaf Fathimah. Ini keyakinan mereka, walaupun sebagian mereka mengingkarinya tetapi pengingkaran itu hanya omong kosong karena ini merupakan taqiyah mereka.

Kalau keyakinan ini diyakini oleh kaum muslimin maka tidak diragukan lagi bahwa dia telah murtad, keluar dari agama Islam.

Kedua : Pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat, seperti Abu Bakar as-shiddîq, Umar al-Fârûq, Utsmân Dzunnûrain dan seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa sahabat yang jumlahnya sangat sedikit sedangkan selain yang sedikit ini semuanya kufur. Meyakini ini berarti membantah isi al-Qur’ân yang menyatakan keimanan dan kebesaran para sahabat serta keridhaan Allah Azza wa Jalla terhadap mereka. Kalau seorang muslim dan muslimah meyakini keyakinan ini berarti mereka telah murtad, keluar dari Islam.

Dua keyakinan Râfidhah ini tidak mungkin disatukan dengan keyakinan yang ada dalam Islam. Artinya, tidak mungkin seorang muslim dan seorang Râfidhi (Penganut agama Syi’ah) bersatu karena keyakinannya sangat berbeda. Ini berdasarkan dalil naqliyah dan aqliyah yang shahih yang memiliki ketegasan. Oleh karena itu para ulama zaman dahulu menyatakan bahwa orang yang paling bodoh terhadap dalil dalil naqliyah dan aqliyah serta paling sesat jalannya diantara orangorang mengaku Islam adalah Syi’ah atau Rafidhah ini. Karena dengan tegas, mereka membenarkan apa yang di dustakan dengan dalil-dalil naqliyah sam’iyah (dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunnah) juga yang didustakan oleh akal. Sebaliknya, mereka mendustakan apa yang jelas dan terang telah datang dari dalil-dalil naqliyah sam’iyah dan berdasarkan akal yang shahih. (Minhâjus Sunnah, 1/8)

Ketiga : Perbedaan ushûl lainnya adalah penyembahan terhadap manusia. Diantara orang orang yang menisbatkan diri kepada Islam, yang pertama kali membangun kubur-kubur dan kubah kubah adalah kaum Râfidhah. Mereka mengadakan peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Padahal ini sangat diharamkan dalam Islam dan merupakan syirik besar. Mewakili pengikutnya, Khomaini dalam bukunyanya Hukûmâtul Islâmiyah, halaman 52 mengatakan: “Sesungguhnya sesuatu yang pasti dari madzhab kami bahwa imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh seorangpun, baik seorang rasul yang diutus maupun oleh malaikat yang dekat.” Ini pernyataan tegas Khomaini. Ini menunjukkan sikap ghuluw mereka terhadap para imam mereka, yang mereka klaim memiliki derajat yang lebih tinggi dari para nabi dan rasul.

Dalam kitab yang sama, Khomaini manyatakan bahwa imam mereka tidak pernah lupa dan lalai. Ini adalah sifat Allah Azza wa Jalla karena hanya Allah lah yang tidak pernah lupa dan lalai. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan Rabbmu tidaklah lupa. [Maryam/19:64]

Ini merupakan salah satu bentuk penyembahan terhadap makhluk. Sikap ini tidak mungkin bisa disatukan dengan seorang muslim yang beraqidah shahih, yang bermanhaj dengan manhaj salaful ummah, yang hanya ruku’ dan sujud kepada Allah, yang meminta pertolongan hanya kepadaAllah. Oleh karena itu mereka membangun kuburan dan merekalah yang pertama kali memasukan penyembahan terhadap kubur kedalam islam, membangunnya serta mendirikan kubah-kubah. I

tulah beberapa ushûl diantaranya banyak ushûl lainnya yang membedakan Râfidhah dengan Islam sehingga tidak mungkin disatukan kecuali salah satunya meninggalkan agamanya.

Masalah ini sering tidak diketahui oleh tokoh-tokoh kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Karena Syi'ah selalu menyembunyikan keyakinan-keyakinan mereka kepada orang-orang yang belum menjadi pengikut setia mereka.

PERKEMBANGAN SYI’AH DI INDONESIA
Kurang lebih 30 tahun sudah berlalu sejak mulai menancapkan kukunya di Indonesia, kini kaum Râfidhah terutama di negeri kita ini telah berani memperlihatkan sebagian ajaran mereka secara terang-terangan. Ini mereka lakukan secara bertahap. Cara-cara mereka dalam memberikan pengajaran sangat halus dan awalnya tidak diketahui. Saya sebutkan diantaranya :

Pertama : Mereka mengatasnamakan diri ahlul bait (keluarga) Nabi. Padahal pada hakekatnya, mereka telah berbohong atas nama ahlul bait [3]. Kita tahu bahwa kaum muslimin, terutama di indonesia sangat mencintai ahlul bait tetapi kecintaan yang tidak berdasarkan ilmu tentang siapa ahlul bait ? Apa manhaj mereka ? Kecintaan seperti ini bisa menyeret seseorang kepada kultus dan al-ghuluw. Inilah yang diinginkan Syi'ah. Oleh karena itu, orang yang menyerang Syi'ah selalu dituduh benci kepada ahlul bait. Dan para pendahulupendahulu mereka seperti kaum Qarâmithah, Isma’iliyah, Bathiniyah telah membuat beberapa ajaran yang disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin untuk mendukung madzhab mereka. Diantaranya adalah perayaaan maulid nabi. Merekalah yang membuat acara ini pertama kali, bukan sulthan Shalahuddin al-Ayyubi. Menisbatkan perayaan mauled kepada Shalahuddin adalah penyimpangan, penipuan dalam sejarah.[4]

Cinta ahlul bait adalah merupakan keyakinan Islam. Kita mencintai keluarga Nabi sesuai dengan syariat Allah dan Rasulnya, tidak ditambah dan tidak di kurangi, tidak mengadakan penyembahan terhadap ahlul bait. Kita meyakini bahwa tidak ada yang ma’shûm (bebas dari dosa dan kesalahan) kecuali Nabi yang mulia. Jadi kecintaan kita tetap dalam batasan-batasan Islam bukan sebagaimana yang dikatakan oleh Syi’ah.

Kedua : Dalam memberikan pengajaran, mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’ân, tafsir-tafsir al-Qur’ân tidak melalui hadits atau sunnah. Karena mereka jauh sekali dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan mereka menolak hadits. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima hadits Bukhâri, Muslim dan lain-lain sementara para sahabat yang meriwayatkan haditshadits ini dianggap kafir ?! Mereka juga menvonis kufur kepada ahlus sunnah termasuk Bukhâri, Muslim dan ulama ahli hadits lainnya. Oleh karena itu, mereka selalu memulainya dengan tafsir dengan meruju’ ke kitab-kitab tafsir Syi'ah [5]. Melalui kajian tafsir-tafsir al-Qur’ân yang awalnya biasa tapi lama-kelamaan menjadi aneh, karena seluruh ayat al-Qur’ân mereka tafsirkan dengan penafsiran mereka. Mereka selalu membuka kajian tafsir al-Qur’ân, tidak ada yang membuka kajian shahih Bukhâri kecuali untuk di hina, di kritik dan selanjutnya di tolak. Mereka mulai mentafsirkan, ini untuk Ali Radhiyallahu 'anhu dan siksaan ini untuk Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan lain sebagainya. Walaupun pada awalnya, mereka belum menyebut nama Abu Bakar,Umar dan Utsman Radhiyallahu 'anhuma karena ketiga shahabat ini memiliki kedudukan tinggi di hati kaum muslimin termasuk Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Syi’ah menempu cara-cara kaum zindiq yaitu meninggikan sebagian dan merendahkan sebagian dalam waktu yang bersamaan agar mereka dapat menghancurkan secara keseluruhan. Mereka meninggikan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu setinggi-tinggi sampai disamakan dengan Rabbul a’lamin sementara mereka merendahkan Abu Bakar, Umar, Utsman Radhiyallahu 'anhum dan hampir seluruh para sahabat Rasulullah dengan serendah-rendahnya.

Ketiga : Mengkritik sebagian sahabat. Mereka mulai dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu kemudian yang lainnya sampai hampir seluruh para sahabat. Untuk mencapai tujuan ini di negeri kita, mereka memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga saat ini, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar al-Fârûq, Utsmân Dzunûrain, mereka hinakan dan kafirkan terangterangan. Bahkan tersebar selebaran yang mengkafirkan sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha dan para sahabat lainnya. Mereka memasukan berbagai macam syubhat kepada kaum muslimin lalu mulai mengklasifikasikan para sahabat menjadi yang betulbetul sahabat Nabi dan yang munafiq. Selanjutnya dibawakan sebagian ayat-ayat al-Qur’ân sehingga sebagian kaum muslimin yang mengikuti majlis mereka terpengaruh dan tidak memperdulikan serta tidak lagi memakai ijmâ’ para ulama mengenai para shahabat. Yaitu semua para sahabat adalah adil.

Keempat : Mengkritik hadits-hadits. Awalnya, mereka mengkritik satu atau dua buah hadits dalam Shahîh Bukhâri yang dinyatakan tidak sah, mustahil atau dusta. Semua justifikasi ini berdasarkan akal dan ra’yu mereka yang jahil. Dan itulah salah satu sifat mereka,mengkritik, membantah, dan menolak tanpa hujjah. Oleh karena itu ahlus sunnah menyatakan bahwa bantahan dan penolakan semata bukanlah ilmu. Ilmu adalah memberikan jawaban ilmiyah, membantah ilmiyah dengan menegakkan hujjah yang selanjutnya menyeselasaikan permasalahan. Ini yang disebut ilmu. Adapun semata-mata menolak, mungkin anak-anak yang telah tamyiz mampu melakukannya.

Inipun mereka lakukan secara bertahap serta membutuhkan waktu yang cukup lama. Mereka mengkritik dan menolak hadits-hadits di Bukhâri dan Muslim. Tapi anehnya, apabila ada hadits yang menguatkan madzhab mereka, mereka memakainya padahal mereka telah mengkafirkan Imam Bukhâri dan Muslim !?

Kelima : Memberikan kesan bahwa bahwa Syi’ah merupakan madzhab yang kelima dalam Islam dan perbedaan mereka adalah perbedaan furu’iyah, ijtihadiyah, ilmiyah secara global tanpa ta’shîl (penegakan terhadap hujjah) dan tafshîl (terperinci) sehingga ini juga mempengaruhi kaum Muslimin.

Keenam : Mendakwahkan ajaran yang sangat menarik bagi orang-orang memiliki penyakit hati yaitu nikah mut’ah. Nikah mut’ah (kontrak) tanpa wali tanpa saksi kecuali dengan mahar pemberian dan ada ikatan perjanjian antara kedua pihak laki dan wanita. Biasanya dilakukan selepas majlis mereka. Mereka mengikat perjanjian kontrak satu hari, dua hari dan sterusnya dan boleh untuk satu kali berhubungan saja. Kalau begitu apa bedanya dengan zina. Bahkan Khomaini di sebagian fatwanya membolehkan bermut’ah dengan pelacur !!!

Ketujuh : Berusaha menjauhkan kaum Muslimin dan memberikan kesan buruk terhadap sebuah ajaran yang mereka benci yaitu Wahabi. Kalimat ini sering diulang-ulang, tanpa ada penjelasan terperinci, siapa dan apa ajaran Wahabi itu. Sehingga setiap ajaran dakwah atau yang berlawanan dengan Syi'ah dijauhi oleh kaum Muslimin. Padahal sebenarnya, lafadz ini disematkan oleh musuh-musuh Islam kepada ajaran dakwah al-Imam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab. Lalu mereka memanfaatkannya untuk menjauhkan kaum Muslimin dari dakwah yang haq ini.

KEPADA SIAPA MEREKA MASUK ?
Sepanjang penelitian saya selama kurang lebih tiga puluh tahun tentang mereka secara berjahuan maupun berdekatan, saya melihat bahwa mereka memasuki semua lapisan masyarakat dengan cara-cara yang berbeda. Berikut perinciannya:

Tingkatan Pertama : Mereka mempegaruhi masyarakat awam dengan cara-cara yang dapat diterima oleh orang-orang awam. Dikalangan orangorang awam ini, mereka tidak akan mampu mengkafirkan seluruh para sahabat karena orangorang awam walaupun mereka beragama dengan cara taqlid buta, mereka sangat mencintai para sahabat. Kalau mereka langsung mengkafirkan atau mengkritik Abu Bakar, Umar,Utsmân dan para sahabat yang lainnya ditengah masyarakat awam, tentu mereka akan ditinggalkan. Untuk mendekati masyarakat awam dengan cara kultus terhadap manusia atas nama ahlul bait. Bahkan mereka membuat berbagai bait-bait syair yang mengantarkan kepada pengkultusan terhadap Nabi. Mereka meninggikan Nabi lebih tinggi dari yang telah tetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, dengan cara tawassul ataupun istighatsah, yang berujung pada syirik besar. Dimulai dengan pendekatan dengan mengatasnamakan ahlul bait kemudian pemujaan terhadap manusia dengan membangun kubur-kubur serta meminta kepada penghuni kubur-kubur serta penyebaran berbagai macam bid’ah lainnya yang berasal dari Syi'ah ini lapisan bawah.

Tingkatan Kedua ; Mendakwahi para pelajar khususnya mahasiswa. Untuk lapisan ini, mereka masuk lewat penyebaran nikah mut’ah karena para pemuda ini memang sangat aktif mencari hal-hal baru untuk kemudian dicoba. Setelah memberikan kenikmatan syaithaniyah, mereka mulai mendekati para pemuda ini dengan memberikan image (gambaran) bahwa ajaran Syi’ah itu benar dan lain sebagainya. Oleh karena itu tokoh-tokoh mereka mengajar diberbagai perguruan tinggi untuk menjerat para mahasiswa yang mayoritasnya kosong dari ajaran Islam, aqidah shahihah serta tidak gemar duduk di majlis-majlis ahli ilmu. Para mahasiswa ini terus didekati sampai akhirnya menjadi Rafidhah tulen dan diharapkan menjadi kaum intlektual yang memegang pemerintahan di negeri ini. Ini harapan mereka, Semoga Allah Azza wa Jalla menghancurkan rencana buruk mereka.

Tingkatan Ketiga : Memasuki media masa, yang cetak maupun elektronik. Melalui media-media ini, mereka menampilkan tentang Rafidhah sedikit demi sedikit, dengan dalih sebagai khazanah islamiyah. Stasiun televisi tidak luput dari mereka. Namun tentunya, mereka tidak terang-terangan membawakan ajaran mereka. Kecuali salah satu dari tokoh mereka yang pernah saya dengar langsung dengan telinga saya dan saya lihat dengan kedua mata saya bahwa dia mengatakan bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma adalah seorang penakut (Allahu Akbar ). Orang yang hina ini telah merendahkan seorang sahabat mulia, alim lagi ‘âbid yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

نِعْمَ الرَّ جُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَا نَ يُصَلِّي بِا للَّيْلِِ

Sebaik-baik orang adalah Abdullah Bin Umar kalau sekiranya dia shalat malam. [HR Bukhari, no. 3738, 3739, 3740 dan 3741]

Sejak itu, Abdullah bin Umar tidak pernah meninggalkan shalat malam.

Tingkatan Keempat : Mereka memberikan pengajaran kepada kaum intelektual khususnya kepada pendukung mereka yang saya istilahkan alumni dari oreintalis. Mereka ini dididik, di jadikan anak angkat dan di susui oleh orang-orang Yahudi di negeri-negeri Barat yang notebenenya sangat membenci Islam. Mereka mendapat dukungan kuat sehingga paling tidak kaum intelektual ini bersikap netral atau toleran tidak mempermasalahkan antara Sunni dengan Syi'ah. Ini langkah pertama, langkah kedua dan selanjutnya, mereka mulai membuat program-program yang bisa menjebak tokoh-tokoh ini kedalam Râfidhah tulen.

Tingkatan Kelima : Mendekati para pejabat negeri yang memegang tampuk pemerintahan untuk diberikan pelajaran-pelajaran tentang Syi’ah. Paling tidak, mereka merasa untung dan menang kalau pejabat ini mengetahui ajaran Râfidhah, apalagi mendukungnya.

Tingkatan Keenam : Masuk ke partai politik dengan menjadi tim-tim sukses partai-partai politik.

Tingkatan Ketujuh : Membuat pengajianpengajian untuk ibu-ibu karena peran wanita sangat penting sekali dan sangat besar sekali. Oleh karena itu mereka membutuhkan ibu-ibu untuk mendukung ajaran mereka. Berdasarkan kenyataan ini, saya sering mengingatkan bapak-bapak agar hati-hati dan memperhatikan pengajian istrinya, jangan sampai istri-istri mereka terjebak dalam ajaran Syi’ah.

Barang kali ini yang bisa kita bahas sekilas tentang perkembangan dan gerakan Syi’ah di Indonesia. Mereka membuat tipu daya, semoga Allah menghancurkan tipu daya mereka. Dan, Alhamdulillah saat ini perkembangan dakwah sunnah sangat mengkhawatirkan mereka

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Ini merupakan taqiyah mereka karena taqiyah adalah bagian dari agama mereka. Mereka mengatakan bahwa “Taqiyah (bohong) adalah agama kami.” Para pembaca dapat meruju’ ke muqodimah yang sangat berharga oleh al-imam as-salafi Muhibbudien al-Khatib dalam muqodimahnya terhadap kitab Adz Dzahabi yang meringkas kitab gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Minhâjus Sunnah” dengan judul al-Muntaqa’
[2]. Jangankan pemerintah bahkan sebagian besar tokoh agama pun tidak paham
[3]. Untuk lebih mengetahui masalah ini, para pembaca bisa meruju’ ke kitab Prof. Ihsan Ilahi Dzhahir yang berjudul “Syiah dan Ahlul Bait”. Sebuah kitab yang sangat menarik karya seorang alim yang mengetahui tentang ajaran Syi’ah
[4]. Para pembaca yang terhormat dapat merujuk kepada buku ustadz Ibnu Saini yang telah menulis dan menyingkap masalah sebenarnya dalam bab ini
[5]. Dan faktanya, kaum Muslimin memang sangat awam sekali terhadap kitab-kitab tafsir. Oleh karena, seyogyalah kaum Muslimin, para tokohnya, asatidzah, dan pelajar meninggikan kitab-kitab tafsir ahlu sunnah yang berjalan diatas manhaj salafus shalih seperti tafsir al-Imam ath-Thabari, tafsir al-Haafidz Ibnu Katsir atau kitab tafsir sebelumnya yaitu tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

 http://almanhaj.or.id/content/3111/slash/0/sepak-terjang-syiah-di-indonesia/

MENELUSURI AKAR PEMIKIRAN KAUM LIBERAL

Oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani


وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. [al-Baqarah/2:120]

Di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tiada henti-hentinya merancang makar dan konspirasi untuk memadamkan cahaya Islam. Disadari atau tidak, pada hari ini kaum muslimin telah dijadikan target utama mereka. Dan ayat di atas, sebenarnya menggugah kaum muslimin agar menyadari bahwa musuh-musuh selalu mengintai dari segala arah untuk memadamkan cahaya Islam.

Di dalam Al-Qur‘an, jauh sebelumnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan umat Islam bahwa orang-orang kafir selalu berusaha mengeluarkan dan memurtadkan kaum muslimin dari Diinul-Islam. Itulah inti persoalannya!

Simaklah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Ahli Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. [Ali ‘Imran/3:100].

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. [ Ali ‘Imran/3:149].

Akhir-akhir ini banyak bermunculan pemikiran-pemikiran sesat dan nyeleneh yang dimunculkan oleh orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani dan sebagian kaum zindiq yang mengaku muslim. Pemikiran-pemikiran seperti ini bukanlah hal yang baru. Sebab sejak zaman dahulu, ide tersebut juga telah mencuat ke permukaan.

Slogan-slogan sesatpun bermunculan, mulai dari slogan toleransi beragama, pluralisme, [1] persaudaraan agama-agama, reaktualisasi hukum Islam, pengakuan sebagai nabi baru, pengakuan mendapat wahyu, hermeneutika,[2] liberalisasi tafsir, paham relativisme, paham inklusivisme,[3] pengakuan sebagai imam mahdi, pembaharuan syariat Islam, dan masih banyak lagi slogan-slogan lainnya. Sekularisasi dan liberalisasi agama ini dibungkus dengan atribut Islam dan diklaim sebagai bagian dari Islam. Selain itu muncul pula sebagian oknum yang berusaha menyatukan agama-agama. Mereka menyimpulkan bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama, dan hanya penampilannya saja yang berbeda-beda. Menurut mereka, bangunan agama itu nampak sama atau serupa, atau dapat diabstrasikan menjadi sesuatu yang sama. Yang sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin yang awam terpengaruh dengan propaganda sesat seperti ini.

Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman Al-Qur‘an dan as-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan “impor pemikiran” semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Ironisnya, sedikit sekali yang memiliki ketelitian dan kritis terhadap gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak belakang dengan pokok-pokok dasar Islam dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim.

Sebagai contoh, munculnya paham pluralisme (penyatuan agama) di tengah-tengah umat Islam yang diusung oleh oknum-oknum yang mengaku Islam. Sebenarnya, paham ini sudah ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun gerakannya dapat diredam hingga berakhirnya periode generasi terbaik.

Kemudian setelah itu, gerakan ini muncul kembali dengan membuat slogan baru untuk menipu orang-orang awam. Slogan mereka, bahwa agama-agama seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam, ibaratnya seperti keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua agama pada hakikatnya menuju Allah. Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok Wihdatul Wujud, al-Ittihadiyyah, al-Hululiyyah, dan yang menisbatkan diri mereka kepada Islam dari kalangan kaum mulhid, zindiq dan orangorang tasawwuf di Mesir, Syam, Persia dan di negara-negara lainnya.

Demikian pula, slogan ini disambut baik oleh kaum Syi’ah Rafidhah dan sekte-sekte lainnya. Hingga sebagian dari mereka ada yang membolehkan berpindah-pindah agama secara bebas seperti halnya berpindah-pindah madzhab. Bahkan ada pula di antara mereka yang cenderung lebih mengunggulkan agama Yahudi dan Nasrani daripada Islam. Hal ini banyak ditemukan pada sebagian orang yang banyak terpengaruh dengan ilmu filsafat.

Pada pertengahan pertama abad empat belas hijriyah, mulailah seruan penyatuan agama itu dikumandangkan, setelah sekian lama mengakar dalam dada para penganjurnya yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Lahirlah sebuah organisasi yang disebut dengan Freemasonry, yakni sebuah organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty, Egality, dan Fraternity (kebebasan, persamaan dan persaudaraan), dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis, bangsa, dan agama. Organisasi itu muncul dengan slogan penyatuan tiga agama besar (Yahudi, Nasrani, dan Islam), menghilangkan fanatisme agama. Menurut mereka, semuanya adalah mukmin. Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan slogan ini adalah Jamaluddin bin Shafdar al-Afghani pada tahun 1314 H di Turki, dan juga diikuti oleh muridnya yang sangat gigih menyuarakannya yaitu Muhammad ‘Abduh bin Hasan at-Turkimani pada tahun 1323 H di Iskandariyah (Mesir). [4]

Paham ini terus berkembang hingga sekarang. Sejumlah orang secara terang-terangan menyerukannya, baik lewat lisan maupun tulisan. Mereka tidak malu-malu lagi menyuarakannya. Misalnya Nurcholish Madjid, ia menganggap banyak agama yang benar, tidak hanya Islam. (Teologi Inklusif Cak Nur karya Sukidi, Kompas, 2001). Saat memberi kata pengantar buku Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, hlm. 6 (Penerbit Buku Kompas, 2001), Nurcholish mengucapkan kalimat yang seolah-olah benar namun sebenarnya batil, “Kendatipun cara, metode atau jalan keberagamaan menuju Tuhan berbeda-beda, namun Tuhan yang hendak kita tuju adalah Tuhan yang sama, Allah Yang Maha Esa”.

Untuk itu, iapun mengusung teori relativisme. Ia mengatakan, “Rasa toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama”.

Demikian juga Muhammad Ali, dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang membuat tulisan di harian Republika (14 Maret 2002) berjudul Hermeneutika dan Pluralisme Agama. Ia mengajak orang agar tidak memahami ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 19 dan 85 dalam bingkai teologi eksklusif, yakni keyakinan bahwa jalan kebenaran dan jalan keselamatan bagi manusia hanyalah dapat dilalui melalui jalan Islam. Tapi ayat ini harus dipahami dengan teologi pluralis dan teologi inklusif.

Makanya, mereka berusaha menakwil ayatayat yang isinya mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani. Seperti yang dikemukakan oleh Quraisy-Syihab tentang tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

(Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mau mengikuti agama mereka. –Qs. al-Baqarah/2 ayat 120).

Quraisy Shihab menafsirkan, bahwa ayat di atas ditujukan secara khusus kepada orang-orang Yahudi dan umat Nasrani tertentu yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan kepada umat Nasrani dan Yahudi secara keseluruhan. Sementara diijinkannya memerangi orang kafir bukan diperuntukkan terhadap umat Nasrani dan yang semacamnya yang termasuk Ahli Kitab. [5]

Contoh lain, yaitu maraknya kajian fiqh yang mereka sebut Fiqh Lintas Agama. Isinya ternyata menyerang syariat Islam dan seruan reaktualisasi hukum Islam. Mereka sebenarnya hanyalah membeo perkataan kaum orientalis Barat yang menyifati hukum dan syariat Islam sebagai hukum barbar. Menurut mereka, penerapan syariat Islam akan mendiskreditkan penganut agama lain. Mereka juga beranggapan bahwa hukum Islam merugikan kaum wanita, bertentangan dengan HAM, tidak manusiawi; seperti hukum rajam, potong tangan, cambuk dan dibolehkannya perbudakan.[6]

Pemikiran ini, mereka arahkan sebagai penolakan kepada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang katanya tidak sesuai dengan semangat pluralisme inklusivisme. Mereka juga mencacimaki Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang banyak meriwayatkan hadits-hadits tersebut.

Contoh lainnya, yaitu tentang hermeneutika. Beberapa institusi pendidikan Islam sudah mengajarkan hermeneutika sebagai alternatif bagi metode penafsiran Al-Qur‘an yang selama ini telah dikenal oleh umat Islam pada umumnya. Bahkan, sekarang sudah muncul tokoh-tokoh organisasi Islam yang begitu bersemangat menyebarkan dan mengajarkan hermeneutika, dengan menyerukan agar metode tafsir “klasik” Al-Qur‘an tidak digunakan lagi!

Hermeneutika, ialah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman Al-Qur‘an yang dikenal sebagai “ilmu tafsir”.

Jika metode atau cara pemahaman Al-Qur‘an sudah mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum muslimin di Indonesia? Pertanyaan ini perlu disampaikan kepada kita, termasuk kepada para “cendikiawan Muslim” itu. Kanker ganas ini sedang bekerja sangat cepat menggerogoti organorgan vital kaum muslimin. Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman Al-Qur‘an dan as-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan “impor pemikiran” semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies (studi Islam). Sayangnya, sedikit sekali yang memiliki sikap “teliti sebelum membeli” gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak belakang dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi aqidah kaum muslimin.

Hermeneutika merupakan salah satu produk asing yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional “Hermeneutika Al-Qur`an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci” di sebuah perguruan Tinggi. Konon, tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah “hermeneutika Al-Qur`an” yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya, dan di Indonesia khususnya.

Karena sudah terlanjur gandrung kepada segala yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh “ahistoris” (mengabaikan konteks sejarah) dan “uncritical” (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen. [7]

Di antara pendapat nyeleneh kaum liberalis ini, ialah membolehkan mengucapkan salam kepada non muslim, membolehkan mengucapkan selamat Natal dan selamat hari raya agama lain, membolehkan menghadiri perayaan hari-hari besar agama lain, membolehkan doa bersama antar pemeluk agama yang berbeda, membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, membolehkan orang kafir mewarisi harta seorang muslim, dan masih banyak lagi yang lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Pluralisme, ialah pemahaman yang memandang semua agama sama; meskipun dengan jalan yang berbeda namun menuju satu tujuan: Yang Absolut, Yang terakhir, Yang Riil. Lihat Fiqih Lintas Agama, Paramadina, Juni 2004, hlm. 65.
[2]. Secara etimologi, istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon), yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata itu merupakan derivat dari kata hermes. Yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata hermeneias, berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu.
[3]. Inklusivisme, ialah pemahaman yang mengakui bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu tingkat kebenaran. Lihat Fiqih Lintas Agama, Paramadina, Juni 2004, hlm. 65.
[4]. Shahwatur-Rajulil Maridh, Jamaluddin al-Afghani fil-Mizan, hlm. 340. Dinukil dari al-Ibthal li Nazhariyatil- Khalath baina Dinil-Islam
wa Ghairihi minal-Adyan, hlm. 6.
[5]. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, hlm. 26.
[6]. Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir, Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 187-192
[7]. Adian Husaini, Majalah Gatra, edisi 3 April 2004.

 http://almanhaj.or.id

IMAN KEPADA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM 2


Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Muhammad Rasulullah [1] صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ

Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan, dan ‘Adnan adalah salah satu putera Nabi Allah Isma’il bin Ibrahim al-Khalil -salam terlimpah atas Nabi kita dan atas keduanya-.

Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul, serta utusan Allah kepada seluruh manusia. Beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, dan Rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau adalah sebaik-baik makhluk, makhluk yang paling utama dan paling mulia di hadapan Allah Ta’ala, derajatnya paling tinggi, dan kedudukannya paling dekat kepada Allah.

Beliau diutus kepada manusia dan jin dengan membawa kebenaran dan petunjuk, yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa': 107]

Allah menurunkan Kitab-Nya kepadanya, memberikan amanah kepadanya atas agama-Nya, dan menugaskannya untuk menyampaikan risalah-Nya. Allah telah melindunginya dari kesalahan dalam menyampaikan risalah ini, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanya-lah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Ahlus Sunnah beriman bahwa Allah Ta’ala mendukung (menguatkan) Nabi-Nya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ dengan mukjizat-mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang jelas.

Di antara mukjizat-mukjizat tersebut dan yang terbesar adalah Al-Qur-an yang dengannya Allah mengemukakan tantangan kepada ummat yang paling fasih dan paling mendalam (bahasanya) serta paling mampu bermanthiq (berlogika).
Mukjizat terbesar -setelah Al-Qur-an- yang dengannya Allah menguatkan Nabi-Nya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ adalah mukjizat Isra’ dan Mi’raj, yaitu dibawanya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Malaikat Jibril pada satu malam dari Makkah ke Baitul Maqdis kemudian ke langit sampai ke Sidratul Muntaha. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar. Juga mukjizat-mukjizat lainnya.

Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Mu-hammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:

1. Keumuman risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus Allah ke muka bumi untuk segenap jin dan manusia dengan membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang. Dalil tentang keumuman risalah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” [Saba’: 28][2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِيْ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تَحِلَّ ِلأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً.

“Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari Rasul-Rasul sebelumku, yaitu (1) aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan, (2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (untuk tayammum-pent.), maka siapa saja dari ummatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat, (3) dihalalkan rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku, (4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan syafa’at (dengan izin Allah), (5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.”[3]

Mereka (Ahlus Sunnah) mengimani dan meyakini bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ahlus Sunnah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Rasul yang paling mulia dan penghulu seluruh makhluk.

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan utusan-Nya, dua sifat ini (hamba dan utusan) untuk menolak adanya sifat ghuluw (melampaui batas) dan tafrith (melalaikan hak-hak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam).

2. Ahlus Sunnah meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi
Setiap orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang demikian itu adalah sesat dan kufur.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Ahzaab: 40]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan akan adanya dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

...وَإِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُوْنَ ثَلاَثُوْنَ، كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ، وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي.

“...Dan sesungguhnya akan muncul pada ummatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”[4]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لِيْ خَمْسَةُ أَسْمَاءٍ: أَنَا مُحَمَّدٌ، وَأَحْمَدُ، وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللهُ بِيَ الْكُفْرَ. وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ
النَّاسُ عَلَى قَدَمَيَّ، وَأَنَا الْعَاقِبُ (لَيْسَ بَعْدِي نَبِيٌّ).

“Aku memiliki lima nama: aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah Ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Maahi (penghapus) dimana melalui perantaraanku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Haasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-‘Aaqib (belakangan/penutup) -tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku-.”[5]

3. Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui masalah yang ghaib semasa hidupnya kecuali yang diajarkan oleh Allah Azza wa Jalla, apalagi setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُل لَّا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku.’...” [Al-An’aam: 50][6]

Kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui masalah yang ghaib, maka apalagi orang lain. Karena yang mengetahui masalah yang ghaib hanya Allah Azza wa Jalla semata.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah: ‘Tidaklah ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.’ Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” [An-Naml: 65]

4. Wajibnya Mencintai dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam serta Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.

“Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”[7]

Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:165]

Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu anhum mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kami mengiringi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’”[8]

Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.

Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.”[9]

Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah j, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya. Ummatnya mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah.”[10]

Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para Sahabat kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm.[11]

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini diringkas dari kitab al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salaafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 84-87) dan ‘Aqiidatut Tauhiid dengan beberapa tambahan dari kitab-kitab lain.
[2]. Lihat juga QS. Al-Anbiyaa’: 107 dan al-Ahqaaf: 29-31.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 335) dan Muslim (no. 521), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari c, lafazh ini milik al-Bukhari.
[4]. HR. ِAhmad (V/278), Abu Dawud (no. 4252), Ibnu Majah (no. 3952), dengan sanad yang shahih menurut syarat Muslim, dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu. Ketahuilah bahwa di antara dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi adalah Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani al-Hindi, yang muncul ketika kolonial Inggris menjajah India. Pada awalnya ia mengaku sebagai al-Mahdi al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), kemudian mengaku sebagai Nabi ‘Isa Alaihissallam, dan terakhir ia mengaku sebagai Nabi dan mendirikan aliran Ahmadiyah... Mereka (kaum Ahmadiyah) mempunyai keyakinan-keyakinan bathil yang banyak sekali dan menyalahi keyakinan ummat Islam. Mereka menafikan tentang dibangkitkannya jasad manusia dari kubur (nanti pada hari Kiamat), mereka meyakini bahwa nikmat dan siksa hanya dialami oleh ruh saja, mereka beranggapan bahwa siksaan terhadap orang kafir terbatas, mengingkari adanya jin dan lain sebagainya. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/252) oleh Syaikh al-Albani.

Pendapat para ulama bahwa Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908 M) adalah kafir, juga aliran Ahmadiyah pun kafir, mereka disebut sebagai MINORITAS NON MUSLIM!!!

Di antara keyakinan-keyakinan sesat Ahmadiyah adalah:
1. Meyakini bahwa Allah puasa, tidur, menulis, dapat bersalah dan lainnya. Mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Ta’aalal-laahu ‘amma yaquuluuna ‘uluwwan kabiiran.
2. Meyakini bahwa Nabi Muhammad j bukanlah Nabi terakhir, dan mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi terakhir dan paling utama.
3. Mereka memiliki kitab suci tersendiri yang berbeda dengan Al-Qur-an ummat Islam, mereka menamakannya Kitaabul Mubiin.
4. Menurut mereka, tidak ada jihad dalam Islam, dan telah dihapus.
5. Setiap Muslim adalah kafir -menurut mereka- sampai masuk aliran Ahmadiyah al-Qadiyani.
6. Mereka menghalalkan khamr, narkoba, barang yang memabukkan, dan lainnya.

Ahmadiyah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Yahudi, Nashrani, dan aliran kebathinan. (Lihat al-Mausuu’ah al-Muyassarah fil Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaabil Mu’ashshirah I/419-423, cet. WAMY, th. 1418 H.)

[5]. HR. Al-Bukhari (no. 3532), Muslim (no. 2354) dan at-Tirmidzi (no. 2840), dari Sahabat Jubair bin Muth'im Radhiyallahu anhu. Penjelasan dalam tanda kurung adalah penjelasan dari Imam az-Zuhri yang terdapat dalam riwayat Muslim dan at-Tirmidzi. Lihat Fat-hul Baari (VI/557) cet. Darul Fikr.
[6]. Lihat juga QS. Al-A’raaf: 188 dan Jin: 26-27.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275) dan an-Nasa-i (VIII/114-115), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[10]. Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[11]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 150), oleh Dr. Shalih al-Fauzan.

 http://almanhaj.or.id/content/3168/slash/0/iman-kepada-nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam/

MUNCULNYA IMAM MAHDI

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Salah satu tanda Kiamat yang besar adalah munculnya Imam Mahdi. Ahlus Sunnah memahami Imam Mahdi sebagai berikut: [1]

Di akhir zaman akan muncul seorang laki-laki dari Ahlul Bait. Allah memberi kekuatan kepada agama Islam dengannya. Dia memerintah selama 7 tahun, memenuhi dunia dengan keadilan setelah (sebelumnya) dipenuhi oleh kezhaliman dan kezhaliman. Ummat di zamannya akan diberikan kenikmatan yang belum pernah diberikan kepada selainnya. Bumi mengeluarkan tumbuh-tumbuhannya, langit menurunkan hujan, dan dilimpahkan harta yang banyak.

Orang ini mempunyai nama seperti nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan nama ayahnya seperti nama ayah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, namanya Muhammad atau Ahmad bin ‘Abdullah. Dia dari keturunan Fathimah binti Muhammad dari anaknya Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhum. Di antara ciri-ciri fisiknya adalah lebar dahinya, dan mancung hidungnya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Al-Mahdi akan muncul dari arah timur, bukan dari Sirdab Samira’ sebagaimana yang disangka oleh kaum Syi’ah (Rafidhah). Mereka menunggu sampai sekarang, padahal persangkaan mereka itu adalah igauan semata, pemikiran yang sangat lemah dan gila yang dimasukkan oleh syaithan. Persangkaan mereka tidak mempunyai alasan baik dari Al-Qur-an maupun As-Sunnah, bahkan tidak sesuai dengan akal yang sehat.”[2]

Di antara dalil dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih tentang munculnya al-Mahdi adalah:

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

يَخْرُجُ فِي آخِرِ أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ، يُسْقِيْهِ اللهُ الْغَيْثَ، وَتُخْرِجُ اْلأَرْضُ نَبَاتَهاَ، وَيُعْطِى الْمَالَ صِحَاحًا، وَتَكْثُرُ الْمَاشِيَةُ، وَتَعْظُمُ اْلأُمَّةُ، يَعِيْشُ سَبْعاً أَوْ ثَمَانِيًا.

“Al-Mahdi akan keluar di akhir kehidupan umatku, Allah akan menurunkan hujan kepadanya sehingga, bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya, diberikan kepadanya harta yang melimpah, semakin banyak binatang ternak, dan pada saat itu ummat semakin mulia, dan ia memerintah selama 7 atau 8 tahun.” [3]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

اَلْمَهْدِيُّ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ، يُصْلِحُهُ اللهُ فِيْ لَيْلَةٍ.

“Al-Mahdi berasal dari Ahlul Bait, Allah memperbaikinya dalam satu malam.” [4]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي، مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ.

“Al-Mahdi berasal dari keturunanku, dari anak Fathimah.” [5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا أَوْ لاَ تَنْقَضِي الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ يُوَاطِىءُ اِسْمُهُ اسْمِيْ.

“Tidak akan lenyap atau tidak akan sirna dunia ini, hingga bangsa Arab dipimpin oleh seorang laki-laki dari keturunanku, yang namanya sama seperti namaku.” [6]

Dalam riwayat yang lain disebutkan: “...Dan nama ayahnya seperti nama ayahku.” [7]

كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ، وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ؟

“Bagaimana dengan kalian, apabila Nabi ‘Isa bin Maryam turun kepada kalian, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian sendiri.” [8]

Hadits ini menunjukkan bahwa Imam Mahdi adalah sebagai Imam kaum Muslimin pada waktu itu, termasuk Nabi ‘Isa Alaihissallam bermakmum kepadanya.

Hadits-hadits tentang Imam Mahdi mutawatir. [9]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat keterangan lebih lengkap di an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim oleh Ibnu Katsir, Asyraathus Saa’ah (hal. 249-273) oleh Dr. Yusuf bin ‘Abdillah al-Wabil.
[2]. Lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim (hal. 26) oleh Ibnu Katsir.
[3]. HR. Al-Hakim (IV/557-558), dikatakan bahwa hadits ini shahih disepakati oleh Dzahabi, dari Sahabat Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 711).
[4]. HR. Ibnu Majah (no. 4085), Ahmad (I/84), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu. Hadits ini di-shahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imaam Ahmad (no. 645) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2371).
[5]. HR. Abu Dawud (no. 4284), Ibnu Majah (no. 4086), al-Hakim (IV/557), dari Ummu Salamah x. Lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir (no. 6734).
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 2230), Abu Dawud (no. 4282) dan Ahmad (I/377, 430) dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dan lafazh ini milik Ahmad. Dikatakan shahih menurut Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad (no. 3573).
[7]. Lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir (no. 5304) dan Asyraathus Saa’ah (hal. 256).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 3449) dan Muslim (no. 155 (244)), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[9]. Lihat Asyraathus Saa’ah oleh Dr. Yusuf bin ‘Abdillah al-Wabil (hal. 259-265).


Kedua puluh delapan:
KELUARNYA DAJJAL [1]

Pemahaman Ahlus Sunnah tentang Dajjal sebagai berikut:

1. Siapakah Dajjal?
Dajjal adalah seorang anak Adam yang mempunyai ciri-ciri yang jelas, akan dapat dikenali oleh setiap mukmin apabila ia telah keluar, sehingga mereka tidak terkena fitnahnya. Fitnah Dajjal adalah fitnah yang paling besar di muka bumi.

2. Di Antara Ciri-Ciri Dajjal
Seorang yang masih muda, wajahnya merah, pendek, kakinya bengkok, rambutnya keriting, mata sebelah kanannya buta (menonjol keluar) bagaikan buah anggur yang mengapung, di atas mata kirinya ada daging tumbuh, tertulis di antara kedua matanya: ك ف ر /كافر (kafir) dapat dibaca oleh setiap Mukmin yang bisa baca tulis dan yang tidak bisa baca tulis. Dajjal adalah seorang yang mandul tidak mempunyai anak.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ وَقَدْ أَنْذَرَ أُمَّتَهُ اْلأَعْوَرَ الْكَذَّابَ: أَلاَ إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ، مَكْتُوْبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ: ك ف ر (يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُسْلِمٍ).

“Tidak ada seorang Nabi pun kecuali telah memperingatkan ummatnya tentang Dajjal yang buta sebelah lagi pendusta. Ketahuilah bahwa Dajjal matanya buta sebelah sedangkan Allah tidak buta sebelah. Tertulis di antara kedua matanya: ك ف ر / كافر (kafir) -yang mampu dibaca oleh setiap Muslim-.” [2]

3.Tempat Keluarnya Dajjal
Dajjal akan muncul dari arah timur dari Khurasan (sekarang terletak di Iran timur) dengan diiringi 70.000 orang Yahudi Ashbahan (sebuah kota di tengah Iran).[3]

4. Tempat yang Dimasuki Dajjal
Dajjal berjalan di muka bumi dengan cepat seperti hujan yang ditiup angin, ia masuk ke setiap negeri kecuali Makkah dan Madinah karena (kedua kota tersebut) dijaga para Malaikat. Ketika ia tidak dapat masuk Madinah, maka kota Madinah berguncang tiga kali, lalu keluarlah orang kafir dan munafiq, kaum munafiq laki-laki dan perempuan (keluar) menuju Dajjal [4]. Dalam riwayat lain, keluarlah orang munafiq laki-laki dan perempuan, dan fasiq laki-laki dan perempuan menuju Dajjal, itulah Yaumul Khalash (hari Pembebasan) [5]. Di riwayat yang lain, Dajjal tidak dapat masuk ke empat masjid yaitu,

Masjid al-Haram, Masjid Nabawy, Masjid al-Aqsha, dan Masjid ath-Thuur. [6]

5. Keberadaan Dajjal di Muka Bumi
Dajjal berada di muka bumi selama 40 hari. Sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan, dan sisa-nya seperti hari-hari biasa. [7]

6. Fitnah Dajjal
Fitnah Dajjal merupakan fitnah yang paling besar sejak Allah ciptakan Adam sampai hari Kiamat [8]. Dajjal membawa dua sungai yang mengalir, salah satunya terlihat air putih, dan yang lainnya terlihat api yang menyala-nyala, apabila seseorang mendapati hal itu hendaklah ia masuk ke sungai yang tampak api, pejamkan mata, tundukkan kepala, minumlah! Itu adalah air yang sejuk. [9] Dajjal mengaku sebagai rabb, menyuruh hujan untuk turun, lalu turun, menyuruh bumi untuk menumbuhkan tanaman, lalu tumbuh tanaman, menghidupkan orang mati dan yang lainnya sebagai fitnah bagi kaum Muslimin.[10]

7. Dibunuhnya Dajjal
Dajjal akan dibunuh oleh Nabi ‘Isa Alaihissallam di Bab Ludd (suatu desa di dekat Baitul Maqdis, di Palestina).[11]

8. Penjagaan Diri dari Fitnah Dajjal
1. Berlindung kepada Allah dari fitnahnya, setiap selesai dari tasyahhud akhir setiap shalat.

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ اْلآخِرِ، فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.

“Apabila seseorang di antara kalian telah selesai tasyahhud akhir, maka berlindunglah kepada Allah dari empat hal: (1) dari adzab Jahannam, (2) dari adzab kubur, (3) fitnah hidup dan mati, serta (4) dari kejahatan fitnah al-Masih ad-Dajjal.” [12]

Do’a perlindungan dari fitnah Dajjal yang dibaca setelah tasyahhud akhir setiap shalat adalah sebagai berikut:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah hidup dan mati, serta dari kejahatan fitnah al-Masih ad-Dajjal.” [13]

2. Menghafal sepuluh ayat pertama dari surat al-Kahfi.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ.

“Barangsiapa yang hafal sepuluh ayat pertama dari surat al-Kahfi, dia terjaga dari fitnah Dajjal.” [14]

Pada riwayat yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

...فَمَنْ أَدْرَكَهُ مِنْكُمْ فَلْيَقْرَأْ عَلَيْهِ فَوَاتِحَ سُوْرَةِ الْكَهْفِ فَإِنَّهَا جِوَارُكُمْ مِنْ فِتْنَتِهِ ...

“Barangsiapa di antara kalian yang mengetahui fitnah Dajjal, maka bacalah beberapa ayat pada awal surat al-Kahfi, karena sesungguhnya itu akan melindungi kalian dari fitnahnya (Dajjal).” [15]

3. Menjauhi tempat fitnah dan tidak mengikutinya.

4. Tinggal di Makkah dan Madinah.
Imam an-Nawawi rahimahullah [16] di dalam Syarah Shahiih Muslim menukilkan perkataan al-Qadhi Iyadh rahimahullah [17]: “Hadits-hadits tentang Dajjal merupakan hujjah Ahlus Sunnah tentang keshahihan adanya Dajjal. Bahwa ia merupakan sosok tertentu yang dengannya Allah menguji para hamba-Nya.”

Allah membekalinya dengan kemampuan untuk melakukan banyak hal, seperti menghidupkan mayat yang telah dibunuhnya. Ia (Dajjal) seolah-olah dapat menciptakan segala kemewahan dunia, sungai-sungai, Surga dan Neraka, tunduknya segala kekayaan bumi padanya, memerintahkan langit untuk menurunkan hujan maka terjadilah hujan, memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tumbuhan, maka tumbuhlah. Semua itu atas kehendak Allah. Kemudian ia dilemahkan, sehingga tidak mampu untuk membunuh seorang pun juga dan membatalkan perintahnya. Akhirnya terbunuh di tangan ‘Isa bin Maryam. Pemahaman ini ditentang dan diingkari oleh Khawarij dan Jahmiyah serta sebagian dari kaum Mu’tazilah.” [18]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Keterangan lebih lanjut lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim oleh Ibnu Katsir, Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissallam wa Qatlihi Iyyaahu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Asyraathus Saa’ah oleh Dr. Yusuf al-Wabil (hal. 275-335).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 7131, 7408), Muslim (no. 2933), Abu Dawud (no. 4316, 4318), at-Tirmidzi (no. 2245), Ahmad (III/103, 173, 276, 290), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lafazh yang ada dalam kurung milik Muslim dan Ahmad. Lihat Qishshatul Masiihid Dajjaal oleh Syaikh al-Albani (hal. 53).
[3]. HR. Muslim (no. 2944), Ahmad (no. 13277) tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, hadits ini derajatnya hasan, dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 1881), Muslim (no. 2943), Ahmad (III/191, 206, 238, 292) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. Ahmad (IV/338) dan Hakim (IV/543) dari Sahabat Mihjan bin al-Adru' Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Ahmad. Imam al-Haitsamy berkata: “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, rawi-rawinya shahih.” (Majma’uz Zawaa-id VII/343). Al-Hafizh Ibnu Hajar ber-kata: “Rawi-rawinya tsiqah.” (Fat-hul Baari XIII/105).
[7]. HR. Muslim no. 2937 (110), Abu Dawud no. 4321.
[8]. HR. Muslim (no. 2946) dari Sahabat ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Muslim (no. 2934 (105)) dari Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. Muslim (no. 2937 (110)).
[11]. HR. At-Tirmidzi (no. 2244), Ibnu Hibban (no. 1901-Mawaariduzh Zham’aan), Ahmad (III/420), dari Sahabat Mujammi’ bin Jariyah al-Anshari Radhiyallahu anhu. At-Tir-midzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[12]. HR. Muslim (no. 588 (130)) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13]. HR. Muslim (no. 588 (128)) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[14]. HR. Muslim (no. 809) dan Ahmad (VI/449) dari Sahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 582).
[15]. HR. Muslim (no. 2937 (110)), Abu Dawud (no. 4321) dari an-Nawwaas bin Sam’an al-Kilabi Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih, lihat Shahiih Abi Dawud (no. 3631).
[16]. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam, Abu Zakaria an-Nawawy. Seorang ahli fiqih dan hadits, lahir tahun 631 H. Di desa Nawa di Suriyah dan meninggal dunia tahun 676 H. Beliau adalah seorang yang menguasai ilmu hadits, fiqih, bahasa, seorang yang zuhud dan wara. Penulis dari kitab Riyaadhus Shaalihiin, Syarah Shahiih Muslim, al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, al-Adzkaar dan yang lainnya.
[17]. Nama lengkapnya al-Qadhi Iyadh bin Musa bin Iyadh bin ‘Umar al-Yahshabi as-Sabti t, seorang Imam yang faqih di negeri Maghrib, lahir 476 H, menjadi Imam di bidang hadits, nahwu, bahasa dan nasab. Menjadi Qadhi di negerinya (Sabtah) dalam waktu yang lama, kemudian menjadi Qadhi di Granada. Beliau meninggal dunia di Maroko tahun 544 H.
[18]. Syarah Shahih Muslim (XVIII/58).

 http://almanhaj.or.id
Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI