Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Kamis, 11 Agustus 2011

Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah

Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah


Hal-hal ghaib dan keimanan senantiasa berjalan seiring. Karena butuh “pupuk” keimanan untuk meyakininya. Hal ini memang tidak bisa tidak. Dalam syariat Islam, kita memang dihadapkan pada sejumlah hal ghaib yang sulit dicerna oleh akal kita yang terbatas, sukar ditelaah oleh indera kita yang lemah, bahkan yang sedikit pun tak terbetik di benak.

Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa diketahui melalui bermacam bentuk ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga dari berbagai bentuk shalawat yang mereka kumandangkan baik yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang tidak dituntunkan oleh beliau. Mereka pun mengatakan beriman, dan cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun yang dituntut bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi aplikasi dari cinta tersebut dalam bentuk amal. Orang yang benar-benar menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berani mendekati amalan-amalan yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Karena ia mengetahui bahwa sikap dan cara demikian termasuk kelancangan dalam agama. Di sisi lain, dia akan berusaha mencari pengetahuan tentang syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tahu bahwa melakukan amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebuah tuduhan bahwa beliau berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau bahwa ada amalan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rahasiakan dan tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umat ini. Orang yang benar-benar taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berusaha menyesuaikan segala ucapan, amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama dan dia menganggapnya baik, sungguh dia telah menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian.’

Maka apa yang dulu bukan sebagai agama, maka pada hari ini bukan pula sebagai agama.” (Al-I’tisham, 1/49)

Jika hal ini –menyesuaikan amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak dilakukan, berarti pengakuan taat hanya sebatas di lisan. Begitu juga cinta yang benar kepada beliau adalah kecintaan yang akan membuahkan kemurnian taat, membela Sunnah beliau dari segala yang mengotori dan merusaknya, serta mencintai orang-orang yang mengamalkan Sunnah beliau di manapun mereka berada. Bila tidak demikian, niscaya cinta hanya sebatas pengakuan di mulut semata.

Munculnya pengakuan taat dan cinta kepada beliau namun tidak mengetahui jalan dan caranya, disebabkan oleh beberapa perkara:

- Tersebarnya perkara-perkara baru di tengah umat yang dianggap sebagai bagian agama.

-Terbelenggunya mereka dengan sikap taqlid buta (mengikuti sebuah ucapan/perbuatan/keyakinan tanpa dalil).

- Melekatnya sikap fanatisme yang telah mendarah daging pada mereka.

- Adanya sikap ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi ucapan, perbuatan atau pengajaran orang alim menurut pandangan mereka, sehingga dia seakan-akan orang ma’shum yang terbebas dari dosa.

- Munculnya para “pujangga-pujangga” agama yang kosong dari ilmu namun berani berbicara tentang agama.

Ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Ketaatan kepada beliau adalah ketaatan yang mutlak. Artinya, segala apa yang beliau perintahkan hendaknya dilakukan dan segala yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang hendaknya ditinggalkan. Juga, membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dengan tanpa memilih dan memilah. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى

Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 1-4)

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا

Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُوْنَ

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An-Nur: 52)

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)

وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul agar kalian mendapatkan rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku berarti telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amirku berarti dia telah taat kepadaku dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amirku maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Ahkam, Bab Qaulullah ta’ala: Wa Athi’ullah…, no. 6603)

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Mereka berkata: “Siapakah yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dialah yang mau masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku, dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul I’tisham bil Kitab was Sunnah, Bab Al-Iqtida` bi Sunani Rasulillah, no. 6737)

Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu berkata: “Dulu para ulama kita berkata: ‘Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Darimi rahimahullahu dalam Sunan beliau, 1/44)

Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya (‘Urwah), dia berkata: “Berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, karena sesungguhnya As-Sunnah adalah tonggak agama.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 29)

Al-Auza’i rahimahullahu berkata: “Lima perkara yang para shahabat dan tabi’in berada di atasnya: Konsisten dengan Al-Jamaah, berpegang dengan As-Sunnah, meramaikan masjid, membaca Al-Qur`an, dan berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/142)

Abdullah bin Ad-Dailami rahimahullahu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama karena meninggalkan sunnah-sunnah. Agama hilang satu sunnah demi satu sunnah, sebagaimana lepasnya tali seikat demi seikat.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi sebagaimana dalam kitab Miftahul Jannah hal. 62 dan Abu Nu’aim rahimahullahu dalam kitab Al-Hilyah, 1/310)

Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin ‘Atha` rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang berpegang teguh dengan adab-adab As-Sunnah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melumuri hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada mengikuti perintah-perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan-perbuatan dan akhlak beliau, serta beradab dengan adab-adab beliau, baik dalam berucap, berbuat, niat maupun i’tiqad.” (Diriwayatkan oleh Abu Nua’im dalam Al-Hilyah, 10/302)

Mengimani Segala yang Diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Merupakan Syarat Syahadat Muhammad Rasulullah

Membenarkan segala perkara ghaib yang beliau beritakan, baik yang telah terjadi atau belum, masuk akal atau tidak, adalah wajib dan merupakan implementasi dari makna syahadat Muhammad Rasulullah sekaligus sebagai syaratnya.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat syahadat Muhammadurrasulullah di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya dalam kitab ‘Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan (hal. 57) dan Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani (hal. 38-38). Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

Pertama: Meyakini kebenaran risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.

Kedua: Mengucapkan dengan lisan terhadap apa yang diyakininya.

Dalil dua syarat ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta dia tidak ragu-ragu.” (Al-Hujurat: 15)

Ketiga: Mengikuti beliau dengan cara mengamalkan kebenaran yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dan meninggalkan segala kebatilan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Katakan: Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

Keempat: Membenarkan segala yang beliau beritakan, baik berbentuk perintah, larangan, maupun perkara ghaib yang telah lalu atau yang akan datang, dan lainnya.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً

Tidakkah kalian memercayaiku? Sedangkan aku adalah kepercayaan (Dzat) yang ada di langit. Berita dari langit datang kepadaku pagi dan petang.” (HR. Al-Bukhari no. 4904 dan Muslim no. 1043 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Kelima: Mencintai beliau lebih dari kecintaan terhadap diri, harta, kedua orangtua, anak, dan manusia seluruhnya.

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

Tidak dikatakan sempurna iman setiap orang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, salah seorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada bapak dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 14)

Keenam: Mendahulukan segala ucapan beliau daripada ucapan manusia manapun.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Tidak ada seorang pun melainkan ucapannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali pemilik kuburan ini (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Ketujuh: Memuliakan beliau, menghormati, mengagungkan segala apa yang beliau bawa dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala –yakni Al-Qur`an dan As-Sunnah– dengan cara mengaplikasikannya dalam hidup dan mencintai keduanya lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri.

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا. لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ وَتُسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً

Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan serta menghormatinya, dan agar kalian bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Fath: 8-9)

Berita Ghaib dalam Kehidupan Salafus Shalih

Terkadang, orang melihat sebuah tuntunan agama dengan kacamata duniawi. Artinya, apakah syariat ini menguntungkan bagi dirinya atau tidak. Bila ternyata menguntungkan, akan dianggap sesuatu yang besar dan harus diperjuangkan dengan penuh semangat. Namun bila tidak menguntungkan bagi kehidupan dunianya, akan dianggap sesuatu yang ringan dan enteng, sehingga dikesampingkan. Bahkan tidak segan-segan dilemparkan ke belakang punggung mereka, padahal perkaranya besar.

Berbeda halnya dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi yang mengikuti langkah mereka. Mereka menganggap bahwa seluruh perkara yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam –baik besar ataupun kecil– adalah bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Karena mereka mengetahui bahwa besar ataupun kecil syariat yang dilakukan, tetap akan mendatangkan cinta, kasih sayang, dan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada mereka:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah engkau mencela kebaikan sekecil apapun, sekalipun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim no. 4760 dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Seluruh kaum muslimin mengimani perkara ghaib, bahkan meyakininya sebagai bagian rukun-rukun iman yang enam. Akan tetapi buah beriman kepada hal-hal ghaib tidak begitu nampak dalam kehidupan. Berbeda dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka beriman kepadanya dan nampak buahnya dalam kehidupan mereka. Di antara buah yang telah mereka petik adalah:

1. Memberi semangat dan dorongan untuk melakukan ketaatan dengan berharap pahala dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Takut dari berbuat maksiat dan takut dari sikap ridha terhadap kemaksiatan tersebut, karena takut terhadap adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Sebagai penghibur bagi kehidupan mereka apa yang mereka tidak dapati di dunia karena berharap kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.

4. Menjadikan mereka memiliki keistimewaan dalam hidup sehingga istiqamah, lapang dada, kuat iman, kokoh dalam malapetaka yang menimpa mereka, bersabar atas semua musibah, mengharapkan pahala dan ganjaran; dan mereka mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan kekal. (Lihat Syarh Ushul Al-Iman hal. 33 dan Asyrathus Sa’ah, hal. 29)

Karena demikian tinggi nilai dari buah keimanan mereka terhadap hari kiamat, sampai-sampai Umar radhiyallahu ‘anhu (semasa menjabat khalifah) berkata dalam ucapan beliau yang masyhur: “Kalau di Irak terdapat keledai terjatuh (karena jalannya yang jelek), aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepadaku: ‘Kenapa engkau, wahai Umar, tidak membuatkan jalan untuknya?’.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/53) disebutkan: “Kalau ada seekor kambing mati di pinggir sungai Efrat karena hilang, niscaya aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta tanggung jawab tentangnya pada hari kiamat.”

Hadits Ahad adalah Hujjah dalam Masalah Aqidah

Pembahasan ini amat sangat terkait dengan keimanan terhadap berita-berita ghaib yang datang melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kebanyakan perkara ghaib dijelaskan dengan hadits-hadits ahad, terlebih yang terkait dengan tanda hari kiamat.

Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah, seperti yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim ‘Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hambali.

Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath’i baik, dari ayat ataupun dari hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama salafush shalih.

Kaidah kelompok yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ

Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya!’.” (Ali ‘Imran: 32)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Amalan para shahabat dan tabi’in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.” (Fathul Bari, 13/234)

Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Apabila umat telah sepakat menerima hadits ahad, beramal dengannya dan membenarkannya, maka akan memberikan manfaat ilmu yakin menurut mayoritas ulama. Dan ini merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf.” (Syarh ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 355)

Seorang bertanya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sebuah permasalahan, lalu beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian dan demikian.”

Seseorang lalu berkata kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Apakah kamu akan memutuskan dengannya?”

Beliau berkata: “Apakah kamu melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian’, lalu kamu mengatakan: ‘Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?’.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 2/350)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berkata: “Maka kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq, 2/350)

Dalam ucapan ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, dan tidak membedakan dalam permasalahan aqidah atau amaliah lahiriah. Karena yang menjadi patokan adalah hadits tersebut shahih atau tidak.

Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Segala hal yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita menolaknya, niscaya kita telah menolak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7) [Ithaful Jama’ah, 1/4]

Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “As-Sunnah, apabila shahih, maka kaum muslimin sepakat untuk wajib mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa, 19/85)

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata dalam rangka membantah orang-orang yang menolak berhujjah dengan hadits ahad: “Termasuk dalam masalah ini adalah berita sebagian shahabat kepada sebagian yang lain. Mereka menerima apa yang disampaikan oleh salah seorang dari shahabat yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mengatakan kepada para pembawa berita tersebut: ‘Kepada siapa Rasulullah menyampaikannya.’ (Mereka tidak pula mengatakan.) ‘Beritamu seorang diri tidak memberikan ilmu yakin, sampai beritamu mutawatir.’ Bila salah seorang dari mereka meriwayatkan hadits kepada yang lain dari Rasulullah dalam permasalahan sifat (Allah Subhanahu wa Ta’ala) mereka menerimanya dan meyakini sifat tersebut dengan penuh keyakinan, sebagaimana meyakini tentang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak hamba-Nya berbicara dan memanggil hamba-Nya dengan suara yang bisa didengar oleh orang yang paling jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat, Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam, Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa, gembira, memegang langit di atas jari jemarinya dan menetapkan sifat kaki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bila salah seorang mereka mendengar hadits tersebut yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari teman yang benar keyakinannya dengan hanya sekedar mendengarnya dari orang yang jujur, sungguh dia tidak akan meragukan beritanya.

Dalil-dalil yang menetapkan keyakinan salafush shalih (pendahulu yang shalih) dari umat ini adalah:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْ لاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat: 6)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)

Adapun dalil dari As-Sunnah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para utusannya kepada raja-raja di berbagai negeri, satu demi satu. Begitu juga gubernur yang diangkat oleh beliau adalah satu orang, dan orang-orang mengembalikan semua urusan mereka kepadanya, baik dalam hukum-hukum atau perkara akidah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus Abu ‘Ubaidah ‘Amir ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu ke negeri Najran sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitab Akhbar Ahad bab bolehnya berita seorang yang jujur menjadi hujjah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman seorang diri, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pula Dihyah Al-Kalbi radhiyallahu ‘anhu membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemimpin Romawi, dan para shahabat lainnya.

Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah

Tidak ada keraguan lagi bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tentu akan berdampak negatif. Di antara bahaya yang akan timbul dalam penolakan tersebut adalah:

1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi.

2. Menolak adanya syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang besar (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.

3. Menolak adanya syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para pelaku dosa besar.

4. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Al-Qur`an.

5. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur`an.

6. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.

7. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.

8. Menolak adanya Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan timbangan yang memiliki dua daun timbangan.

9. Menolak beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.

10. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan jin.

11. Menolak penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.

12. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.

13. Menolak beriman terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an.

14. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang, dan selainnya.

Perkara Ghaib, Antara Kufur dan Iman

Dari urairan di atas jelaslah bahwa orang-orang yang menentang adanya berita ghaib termasuk kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menentang-Nya serta menentang seluruh rasul. Karena beriman kepada perkara ghaib termasuk rukun-rukun iman. Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu mengatakan: “Mengingkari risalah beliau (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) termasuk celaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 178)

Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullahu menjelaskan: “Tidak akan kokoh fondasi Islam melainkan di atas sikap berserah diri dan menerima. Barangsiapa berusaha menggali ilmu yang dilarang untuk diilmui dan tidak merasa puas dengan menyerahkan pemahamannya, maka keinginannya akan menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kebersihan ilmu, dan iman yang benar. Sehingga dia menjadi orang yang bimbang antara kufur dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari. Dia juga akan ternodai oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan dan mendatangkan keragu-raguan. Dia bukan seorang yang beriman dan membenarkan, bukan pula seorang penentang yang mendustakan.

Kaidah ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)

Dalam hadits Jibril disebutkan:

أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Jibril berkata: “Beritahukan kepadaku tentang iman.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada taqdir yang baik maupun buruk.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah berkata: “Amma ba’du. Ini adalah i’tiqad Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yang ditolong, sampai hari kiamat. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian dan beriman kepada taqdir, baik maupun buruk.”

Wallahu a’lam.

1 Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang belum mencapai tingkat mutawatir. Misal, melalui jalur satu orang saja. (ed)

Dikutip dari Asysyariah.com offline Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman, Judul: Berita Ghaib, Antara Kufur dan Iman

Manhaj Salaf – Jalan Tepat Dalam Memahami Islam


Manhaj Salaf – Jalan Tepat Dalam Memahami Islam


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (generasi) pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

Manhaj Salaf -Jalan Tepat Dalam Memahami Islam

Adalah suatu fenomena yang kita saksikan dan tidak bisa dipungkiri bahwasanya ummat Islam sudah terpecah belah menjadi beberapa golongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengabarkan bahwasanya ummatnya akan terpecah menjadi 73 golongan (dan ini sudah terjadi), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya.

Akan tetapi, ketika ditanyakan kepada golongan-golongan tersebut, mereka menjawab bahwasanya mereka berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah bahkan masing-masing golongan menyatakan golongannyalah yang benar sedangkan yang lainnya salah/sesat, bersamaan dengan itu kita ketahui dan saksikan bahwa golongan-golongan tersebut satu sama lainnya saling bertentangan, bermusuhan bercerai-berai dan tidak berada dalam satu manhaj yang menyatukan mereka. Hal ini seperti dikatakan di dalam sya’ir: “Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila akan tetapi Laila tidak mengakuinya.

Untuk itu satu hal yang pasti bagi kita bahwasanya kebenaran itu hanya satu dan tidak berbilang yaitu golongan yang benar dan selamat hanya satu yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya (salaf) sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah dalam haditsnya yang mutawatir. Dengan kata lain golongan yang selamat tersebut adalah orang-orang yang memahami dinul Islam dengan pemahaman salafush shalih (manhaj salaf).

Sedangkan manhaj salaf adalah suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dinul Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut Salafy atau As-Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As-Salafiyyun.

Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “As-Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala` 6/21).

Kemudian di sini akan dikemukakan sebagian dalil-dalil yang menyatakan bahwa manhaj yang benar dalam memahami agama adalah manhaj salaf serta kewajiban bagi kita untuk mengikuti manhaj tersebut, yaitu:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala :”Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al-Fatihah:6-7).

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah (Syi’ah).” (Madarijus Salikin 1/72).

Hal ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami agama ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah:143).

Allah telah menjadikan mereka orang-orang pilihan lagi adil, mereka adalah sebaik-baik ummat, paling adil dalam perkataan, perbuatan serta keinginan mereka, karena itu mereka berhak untuk menjadi saksi atas sekalian manusia, Allah mengangkat derajat mereka, memuji mereka serta menerima mereka dengan penerimaan yang baik.

Dengan ini jelaslah bahwasanya pemahaman para shahabat merupakan hujjah atas generasi setelah mereka dalam menjelaskan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah.

3. “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali ‘Imran:101).

Para shahabat adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Allah, karena Allah adalah pelindung bagi siapa saja yang berpegang teguh kepada (agama)-Nya sebagaimana firman Allah: “Dan berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah pelindung kalian maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj:78).

Dan telah dimaklumi bahwasanya perlindungan dan pertolongan Allah kepada para shahabat sangat sempurna, hal tersebut menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian dari Allah.

4. “Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran:110).

Allah telah menetapkan atas mereka keutamaan atas sekalian ummat, hal tersebut karena keistiqamahan mereka pada segala hal, karena mereka tidak akan melenceng dari jalan yang lurus, Allah telah bersaksi atas mereka bahwasanya mereka menyuruh kepada setiap yang ma’ruf, mencegah dari setiap kemunkaran, berdasarkan hal tersebut merupakan suatu keharusan bahwasanya pemahaman mereka merupakan hujjah bagi generasi setelahnya hingga Allah menetapkan putusannya.

5. “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`:115).

Berkata Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi: “Para ‘ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama dari ummat ini,….” (Al-Mirqat Fi Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37).

Syaikhul Islam berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin-red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa 7/38).

Maksud ayat tersebut, bahwasanya Allah mengancam siapa saja yang mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin (dengan neraka Jahannam), maka jelaslah bahwasanya mengikuti jalannya para shahabat dalam memahami syari’at Allah wajib hukumnya, sedangkan menyalahinya merupakan suatu kesesatan.

6. “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:100).

Makna dalil tersebut, bahwasanya Tuhan manusia memuji orang-orang yang mengikuti manusia terbaik, maka diketahui dari hal tersebut bahwasanya jika mereka mengatakan suatu pandangan kemudian diikuti oleh pengikutnya pantaslah pengikut tersebut untuk mendapatkan pujian dan ia berhak mendapatkan keridhaan, jika sekiranya mengikuti mereka tidak membedakan dengan selain mereka maka tidak pantas pujian dan keridhaan tersebut.

7. “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Furqan:74).

Maka orang-orang bertaqwa secara keseluruhan berimam kepada mereka. Adapun taqwa merupakan kewajiban, di mana Allah dengan gamblang menyebutkannya dalam banyak ayat. Tidak memungkinkan untuk menyebutkannya di sini, maka jelaslah bahwa berimam kepada mereka wajib, adapun berpaling dari jalan mereka akan menyebabkan fitnah dan bencana.

8. “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman:15).

Seluruh shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang kembali kepada Allah, maka Allah memberikan hidayah kepada mereka dengan perkataan yang baik, serta berbuat amal shalih.

Maka merupakan suatu kewajiban untuk mengikuti manhaj para shahabat dalam memahami agama Allah baik yang ada dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah.

9. “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah:24).

Sifat-sifat yang disebutkan pada ayat tersebut di atas adalah berkenaan dengan sifat-sifat para shahabat Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah mengabarkan bahwasanya Dia menjadikan mereka sebagai imam yang diikuti oleh orang-orang sesudah mereka karena kesabaran dan keyakinan mereka, jika demikian kesabaran dan keyakinan merupakan jalan untuk menjadi Imam (pemimpin) dalam agama.

Dan sangat dimaklumi bahwasanya shahabat-shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut daripada ummat Nabi Musa, mereka lebih sempurna keyakinan dan kesabaran dari segenap ummat, maka mereka lebih berhak untuk menjadi imam dan ini merupakan hal yang paten berdasarkan persaksian dari Allah dan pujian Rasulullah atas mereka.

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (generasi) pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

Allah telah melihat hati-hati para shahabat Rasulullah di mana Dia mendapatkannya sebaik-baik hati para hamba setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Dia memberikan kepada mereka pemahaman yang tidak dapat dijangkau oleh generasi berikutnya, karena itulah apa yang dalam pandangan shahabat merupakan suatu kebaikan demikian pula dalam pandangan Allah dan apa yang dalam pandangan shahabat jelek, jelek pula dalam pandangan Allah.

2. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami melaksanakan shalat maghrib bersama Rasulullah, lalu kami berkata: “Sekiranya kita tetap di sini hingga kita melaksanakan shalat ‘isya bersama beliau”, kemudian kami duduk, lalu beliau mendatangi kami seraya berkata: “Kalian masih tetap di sini?” kami berkata: “Ya Rasulullah, kami shalat bersama Engkau, kemudian kami berpendapat: kita duduk di sini hingga melaksanakan shalat ‘isya bersama Engkau.” Beliau berkata: “Ya”. Abu Musa berkata: “Kemudian beliau mengangkat kepalanya ke langit dan beliau sering melakukan hal tersebut, lalu beliau bersabda: “Bintang-bintang adalah penjaga langit, jika bintang-bintang telah redup, diberikan kepada langit persoalannya dan Aku adalah penjaga bagi shahabat-shahabatku, jika aku telah tiada maka persoalan akan diserahkan kepada shahabat-shahabatku, dan shahabat-shahabatku adalah penjaga ummatku, jika shahabat-shahabatku telah tiada maka persoalan diserahkan kepada ummatku”. (HR. Muslim).

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfaq dengan emas sebesar gunung uhud, tidak dapat menyamai (pahala) satu mud infaq mereka, tidak pula setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaih).

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainnya dari Al-’Irbadh bin Sariyah, lihat Irwa`ul Ghalil no. 2455).

5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Terus-menerus ada sekelompok kecil dari ummatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Muttafaqun ‘alaih dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dan ini adalah lafazh Muslim).

6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan. Beliau ditanya: “Siapa dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada (di atasnya).” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash).

Sedangkan ucapan para ‘ulama akan wajibnya berpegang dengan manhaj salaf adalah:

Al-Imam Al-Auza’I berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy-Syari’ah, Al-Ajurri hal. 63).

Al-Imam As-Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj as-salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al-Intishar li Ahlil Hadits, Muhammad bin ‘Umar Bazmul hal. 88).

Al-Imam Al-Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi shahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah 2/437-438).

Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf maka ia adalah kesesatan.” (Al-Muwafaqat 3/284).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa 4/155). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar ahlul bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa 4/155).

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dinul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawab.

Maraji’: 1. Limadza Ikhtartu Manhaj Salaf, Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali; 2. Majalah Syari’ah ed. 04.

Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis: Akh Abu Rosyid (Asisten Ustadz Bandung) 20 Sya’ban 1424 H Judul: Manhaj Salaf – Jalan Tepat Dalam Memahami Islam

Salaf, Sebaik-baiknya Generasi Ummat Ini


Salaf, Sebaik-baiknya Generasi Ummat Ini


Ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Fathimah:

فَاتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98)

Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.” (HR. Muslim)

Dakwah Salaf adalah Dakwah Tauhid

Sesungguhnya istilah salaf atau dakwah salaf bukanlah istilah baru. Istilah ini sudah dikenal sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana yang telah disinggung pada edisi perdana Risalah Dakwah ini. Yaitu ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Fathimah:

فَاتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98)

Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.” (HR. Muslim)

Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang shahabat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangan salaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34)

Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilah salaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meri-wayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada sese-orang dari kalangan salaf dibangkitkan di antara kalian niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, Juz 1 hal 34).

Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi per-tama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu di mana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucap-kan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kali-an untuk berpegang dengan jejak-jejak sa-laf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat ma-nusia walaupun mereka mengindahkan uca-pannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah berpesan kepada kita untuk tetap berpegang dengan sunnahnya dan sunnah para shahabatnya:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. (أخرجه الترمذي وحسنه الشيخ الألباني)

Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya para khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. (HR. Tirmidzi dan diha-sankan oleh Al-Albani)

Dengan demikian dakwah salaf adalah dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya. Sedangkan dakwah beliau adalah dakwah yang menyeru manusia kepada Tauhdi serta tegak di atas sunnah Nabi-Nya. Dengan sendirinya dakwah ini tidak memberikan tempat bagi kemusyrikan dan kebid’ahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. ]يوسف: 108[

Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108)

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk berTauhdi, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku menyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan keyakinan.

Berkata imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy: “Dalam ayat ini terdapat beberapa faedah yang dapat kita ambil di antaranya:

1. Adanya peringatan untuk mengikhlaskan diri dalam beramal, karena kebanyakan da’i walaupun (seakan-akan) dia mendakwahkan pada kebenaran, akan tetapi pada hakekatnya ia mendakwahkan kepada dirinya sendiri.

2. Memiliki بَصِيْرَةٍ “ilmu” adalah kewajiban bagi seorang da’i.

3. Termasuk dari bukti kebenaran Tauhdi adalah adanya pensucian bagi Allah Ta’ala dari sifat-sifat tercela.

4. Termasuk dari bukti kejelekan syirik ialah bahwa syirik itu merupakan celaan bagi Allah Ta’ala.

5. Seorang muslim tidak termasuk dari kaum musyrikin manakala ia tidak bergabung dengan kaum musyrikin walaupun tidak berbuat syirik.

Inilah perbedaan dakwah salaf dengan dakwah-dakwah lainnya yang memiliki kecenderungan mengesampingkan Tauhdi dengan berbagai macam alasan.

Sebagian di antaranya menganggap Tauhdi dan Sunnah merupakan ilmu masa’il yang akan membikin ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan umat. Mereka hanya mau berbi-cara tentang ilmu fadhail (tentang keuta-maan-keutamaan ibadah).

Sebagian lagi mencela dakwah Tauhid ini dengan alasan menyeru umat kepada Tauhid hanya buang-buang waktu saja, tidak memahami fenomena yang sedang terjadi. Bukan-kah musuh-musuh Islam kini telah siap untuk menerkam umat dari segenap penjuru dan dari segala bidang?

Semua alasan yang diusung untuk menolak dakwah Tauhid menjadi cukup bagi kita untuk menilai dakwah model apa yang mereka kehendaki. Semua tidak bergeser dari ke-pentingan politik dan duniawi semata.

Mengapa mereka menjadi heran tatkala didahulukannya permasalahan Tauhid dalam dakwah salaf? Bukankah hak Allah Ta’ala untuk di-Esa-kan dalam segala peribadatan kepada-Nya adalah lebih utama dan lebih berhak untuk didahulukan?!

Perhatikan wasiat Nabi kepada Mu’ad bin Jabbal tatkala beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. (رواه البخاري ومسلم)

Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Jika engkau telah datang kepada mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (HR. Bukhari Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka ialah عِبَادَةِ الله “beribadah kepada Allah (semata)”. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ “agar mengesakan Allah”

Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih utama untuk didahulukan? Bukankah dakwah Tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?.

Kita bisa perhatikan bagaimana nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi Shalih kepada kaum Tsamud, demikian pula nabi Syuaib berdak-wah kepada kaum Madyan. Mereka –seluruh-nya- mendakwahkan Tauhid dengan menga-takan kepada kaumnya:

يَا قَوْمِ اعْبُدُوا للهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِهِ.

Wahai kaumku, beribadahlah (hanya) ke-pada Allah yang mana tidak ada satu dzat pun yang berhak diibadahi kecuali Dia.

Demikian halnya pada diri Nabi Ibrahin –kekasih Allah, bapaknya para Nabi dan sekaligus sebagai imam bagi orang-orang yang berTauhid-. Beliau mengkhawatirkan kesyirikan akan menimpa pada dirinya dan keturunannya, sehingga beliau beliau berdoa kepada Allah dengan menyatakan:

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَ ضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَاسِ... ]ابراهيم: 35-36[

Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Me-kah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguh-nya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia (Ibrahim: 35-36).

Jika nabi Ibrahim mengkhawatirkan dirinya dan keturunannya dari tertimpa kemusyrikan, maka siapakah orangnya yang bisa menjamin dirinya terlepas dari bahaya kesyirikan? Dan siapakah orangnya yang me-rasa lebih baik wasiatnya daripada wasiatnya para nabi yang telah disampaikan kepada kaumnya?

Demikianlah mereka –para nabi- dalam berdakwah! Meskipun mereka menghadapi budaya yang beraneka ragam dan problem yang bermacam-macam, akan tetapi dakwah mereka yang utama adalah dakwah kepada Tauhid.

Walaupun problem yang mereka hadapi adalah masalah perekonomian –sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan- ataupun problemnya adalah masalah politik, sosial, akhlaq dan lain-lain. Mereka tetap memulainya dengan mendakwahkan Tauhid kepada kaumnya.

Yang demikian itu karena perbaikan Tauhid dalam masalah agama ini adalah seperti memperbaiki jantung pada badan manusia. Tidak akan bermanfaat mengobati anggota badan, jika jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula tidak akan diterima amalan ibadah apapun jika Tauhid telah rusak dengan perbuatan syirik-syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ.]الزمر: 65[

Jika kamu mempersekutukan (Rabb-mu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65)

Dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري ومسلم)

Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal daging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini merupakan hujjah, bahwa perbaikan hati dalam arti perbaikan aqidah dan keyakinan memiliki prioritas utama.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunan, maka hendaklah ia memantapkan fondasinya, menguatkan dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya fondasi dan kemantapannya. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 13).

Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan fondasinya. Sedangkan orang-orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan runtuh”. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 14)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِى نَارِ جَهَنَّمَ... [التوبة: 109]

Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan-nya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (At-Taubah: 109).

Ayat ini berkenaan dengan perbuatan kaum munafiqin ketika membangun masjid dalam keadaan hati mereka tidak memiliki aqidah dan keimanan yang benar. Apa yang dikerjakannya merupakan pekerjaan sia-sia. Adapun yang membangun di atas fondasi Tauhid dan ketaqwaan, maka bangunannya akan kokoh.

Tauhid bagaikan akar pada sebuah pohon. Jika akar itu menghunjam ke bumi dengan mantap, maka pohon itu akan tegak berdiri menjulang ke langit.

Berkata Ibnul Qayyim: “Tahun adalah ibarat sebuah pohon, bulan adalah cabang-cabangnya, hari adalah ranting-rantingnya, saat demi saat adalah daun-daunnya dan nafas merupakan buahnya. Barangsiapa yang memakai waktunya dalam ketaatan kepada Allah, maka buahnya manis. Dan barangsiapa yang menggunakannya dalam kemaksiatan, maka buahnya pahit dan hasil buahnya kelak akan dipanen pada hari kiamat. Manusia akan mendapatkan manisnya hasil amalannya di dunia atau pahitnya buah yang dia rasakan.

Tauhid adalah pohon yang tumbuh dalam hati dan cabangnya adalah amalan, ada pun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sedangkan kesyirikan, kekufuran dan riya’ juga merupakan pohon yang tumbuh dalam hati, buahnya di dunia berupa ketakutan, gundah gulana, sempit dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat berupa Zaqum yang tidak mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan rasa haus. Buah ini bahkan akan merobek tenggorokan dan menghancurkan seluruh tubuhnya, dan buahnya adalah kekekalan adzab di akhirat.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ…. وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ اْلأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. [ابراهيم: 24-26]

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya………. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur, syirik) adalah seperti pohon yang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (Ibrahim: 24-25). Wallahu a’lam.

Dikutip dari salafy.or.id Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Dakwah Salaf Dakwah Tauhid”.

Kenapa kita harus mengikuti AS SALAF ?


Kenapa kita harus mengikuti AS SALAF ?


Kenapa kita harus mengikuti AS SALAF?

Penulis: Muhammad Naashiruddiin al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala

Pertanyaan :

Kenapa harus dinamakan dengan as Salafiyyah?? Apakah da`wah ini merupakan da`wah hizbiyyah, atau da`wah thooifiyyah atau da`wah madzhabiyyah, atau dia ini merupakan satu golongan yang baru dalam Islam ini??

Jawaban :

Sesungguhnya kata kata “as Salaf” ma`ruufun (sangat dikenal) dalam bahasa `arab dan di dalam syari`at ini, yang terpenting bagi kita disini adalah pembahasannya dari sisi syari`at.

Sesungguhnya telah shohih dari pada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau `Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada anaknya Faathimah radhiallahu `anha sebelum beliau `Alaihi wa Sallam wafat :

((فاتقي الله واصبري، فإنه نعم السلف أنا لك……)). رواه مسلم (2450) (98).

Artinya : Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik baik “salaf” bagi kamu adalah saya…”[1]

Penggunaan kalimat ‘salaf” sangat ma`ruf dikalangan para `ulama salaf dan sulit sekali untuk dihitung dan diperkirakan, cukup bagi kita satu contoh dari sekian banyak contoh contoh yang digunakan oleh mereka dalam rangka untuk memerangi bid`ah bid`ah.

كل خير في اتباع من سلف وكل شر في ابتداع من خلف

Setiap kebajikan itu adalah dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan tersebut adalah yang diada adakan oleh orang khalaf”.

Ada sebahagian orang yang menda`wakan memiliki `ilmu, mengingkari penisbahan kepada “salaf”, dengan da`waan bahwa nisbah ini tidak ada asalnya. Dia berkata : “Tidak boleh bagi seseorang muslim untuk mengatakan saya seorang “salafiy,” seolah olah dia mengatakan juga : “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan saya muslim yang mengikuti para “salafus shoolih” dengan apa apa mereka di atasnya dalam bentuk `aqidah, `ibadat dan akhlaq.” Maka tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini kalau benar benar dia ingkari, sudah tentu diwajibkan juga bagi dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar, yang telah dijalani oleh para “salafus shoolih”, Rasuulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan dalam hadist hadist yang mutawaatir diantaranya :

((خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم)).

Artinya : “Sebaik baik ummat saya adalah yang hidup sezaman dengan saya (sahabatku), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Taabi`uun), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Baaut Taa`bi`iin)….”[2]

Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbahan kepada as Salafus Shoolih, sebagaimana kalau seandainya berlepas diri juga dari penisbahan yang lainnya, tidak mungkin bagi seorang ahli `ilmu untuk menisbahkannya kepada kekufuran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari penamaan seperti ini (nisbah kepada “salaf”). Apakah kamu tidak menyaksikan, bukankah dia menisbahkan dirinya kepada satu madzhab dari sekian madzhab yang ada?, apakah madzhab ini berhubungan dengan `aqidah atau fiqh. Sesungguhnya dia mungkin Asy`ariy, Maaturiidiy dan mungkin juga dia dari kalangan ahlul hadist atau dia Hanafiy, Syaafi`ii, Maalikiy atau Hanbaliy diantara apa apa yang termasuk kedalam penamaan ahlus Sunnah wal Jamaa`ah, padahal seseorang yang menisbahkan dirinya kepada madzhab asy`Ariy atau kepada madzhab yang empat, sebenar dia telah menisbahkan dirinya kepada pribadi pribadi yang bukan ma`suum tanpa diragukan, walaupun diantara mereka ada juga para `ulama yang benar, alangkah aneh dan sangat mengherankan sekali, kenapa dia tidak mengingkari penisbahan kepada pribadi yang tidak ma`suum ini???

Adapun seorang yang mengintisabkan dirinya kepada “as Salafus Shoolih”, sesungguhnya dia telah menyandarkan dirinya kepada seseorang yang ma`suum secara umum (yang dimaksud Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam), Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang tanda tanda “al Firqatun Naajiyyah” yaitu seseorang yang berpegang teguh dengan apa yang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shohabatnya ada di atasnya, maka barang siapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka secara yaqin, dia betul betul berada di atas petunjuk Robnya.

Nisbah kepada “as Salaf” ini merupakan nisbah yang akan memuliakan seseorang menisbahkan dirinya kepadanya, kemudian memudahkan baginya untuk mengikuti jalan kelompok orang yang selamat tersebut, tidak sama dengan seseorang yang menisbahkan dirinya kepada nisbah yang lain, karena penisbahan itu tidak akan terlepas dia diantara dua perkara :

Pertama, dia mungkin meng-intisabkan dirinya kepada seseorang yang bukan ma`suum, atau kepada orang orang yang mengikuti manhaj (methode) orang yang bukan ma`suum ini, yang tidak ada sifat suci baginya, berbeda dengan shahabat Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam yang memang diperintahkan kita oleh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk berpegang teguh dengan sunnah (cara/methode)nya dan sunnah para shahabatnya setelah beliau wafat.

Dan kita akan terus menerus menganjurkan dan menerangkan agar pemahaman kita terhadap al Quraan dan as Sunnah benar benar sesuai dengan pemahaman para shahabatnya Shollallahu `alaihi wa Sallam, supaya kita terjaga daripada berpaling dari kanan dan kekiri, juga terpelihara dari penyelewengan pemahaman yang khusus, sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan atas pemahaman itu dari Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam.

Kemudian, kenapa tidak cukup bagi kita untuk menisbahkan diri kepada al Quraan as Sunnah saja?

Jawabannya kembali kepada dua sebab :

Pertama : Berhubungan dengan nash nash syar`ii.

Kedua : Melihat kepada keadaan firqoh firqoh (golongan golongan) islaamiyah pada sa`at ini.

Ditinjau dari sebab yang pertama : kita menemukan dalil dalil syar`ii memerintahkan untuk menta`ati sesuatu yang lain disandari kepada al Kitab dan as Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta`aalaa :

((يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم….)) النساء (59).

Artinya : “Hai orang orang yang beriman, tha`atilah Allah dan tha`atilah RasulNya, dan ulil amri diantara kalian.” An Nisaa` (59).

Kalau seandainya ada waliyul amri yang dibai`at dikalangan kaum muslimin maka wajib untuk mentha`atinya sebagaimana kewajiban mentha`ati al Kitab dan as Sunnah, bersamaan dengan demikian kadang kadang dia salam serta orang orang disekitarnya, namun tetap wajib mentha`atinya dalam rangka mencegah kerusakan daripada perbedaan pandangan pandangan yang demikian dengan syarat yang ma`ruuf, demikian disebutkan dalam hadist yang shohih :

((لا طاعة في معصية إنما الطاعة في المعروف)).

Artinya : “Tidak ada ketha`atan di dalam ma`shiat, sesungguhnya ketha`atan itu hanya pada yang ma`ruuf.”[3]

Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa berkata :

((ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا)). النساء:(115).

Artinya : “Barang siapa menyakiti (menyelisihi) as Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam setelah sampai (jelas) kepadanya hudan (petunjuk), lalu dia mengikuti bukan jalan orang mu`minin (para shahabat), kami akan palingkan dia kemana sekira kira dia berpaling, lalu kami akan masukan dia keneraka jahannam yang merupakan sejelek jelek tempat baginya.” An Nisaa (115).

Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla Maha Tinggi dan Maha Suci Dia dari sifat kesia sia-an, tidak diragukan dan disangsikan lagi bahwasanya penyebutan jalan orang mu`miniin pada ayat ini sudah tentu ada hikmah dan faedah yang sangat tepat, yaitu; bahwasanya ada kewajiban yang penting sekali tentang pengikutan kita kepada Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam wajib untuk dicocokan dengan apa apa yang telah dijalani oleh orang muslimiin yang pertama dikalangan ummat ini, mereka adalah shahabat Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam; kemudian orang orang yang mengikuti mereka dengan baik, inilah yang selalu diserukan oleh ad Da`watus Salafiyyah, dan apa apa yang telah difokuskan dalam da`wah tentang asas asas dan tarbiyahnya.

Sesungguhnya “ad Da`watus Salafiyyah”-merupakan satu satunya da`wah yang haq untuk menyatukan ummat ini, sementara apapun bentuk da`wah yang lain hanya memecah belah ummat ini; Allah `Azza wa Jalla berkata :

((وكونوا مع الصادقين)). التوبة (119).

Artinya : “Hendaklah kamu bersama orang orang yang benar.” At Taubah (119), dan barangsiapa yang membedakan diantara al Kitaab dan as Sunnah disatu sisi, dan antara “as Salafus Shoolih disisi yang lainnya dia bukan seorang yang jujur selama lamanya.

Ditinjau dari sebab yang kedua : Kelompok kelompok dan golongan golongan pada hari ini sama sekali tidak menghadap secara muthlaq untuk mengikuti jalan orang mu`miniin (jalan para shahabat radhiallahu `anhum) seperti yang disebutkan pada ayat diatas, dan dipertegas lagi dengan sebahagian hadist hadist yang shohih diantaranya : hadist al firaq (mengenai perpecahan) menjadi tujuh puluh tiga gologan, yang keseluruhannya di neraka kecuali satu, Rasuulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menjelaskan tentang sifatnya bahwasanya dia :

“هي التي على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي.”

Artinya : “Dia (al Firqatun Naajiyyah) itu adalah sesuai dengan apa apa yang saya hari ini dan para shahabat saya.”[4]

Dan hadist ini serupa dengan ayat diatas menyebutkan jalan orang mu`miniin, diantaranya juga hadist al `Irbaadh bin Saariyah radhiallahu `anhu :

“فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي”.

Artinya : “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah dan Sunnah al Khulafaaur Raasyidiin al Mahdiyiin setelah saya.”[5]

Jadi dihadist ini menunjukan dua Sunnah : Sunnatur Rasuul Shollallahu `alaihi wa Sallam dan Sunnatul Khulafaaur Raasyidiin.

Diwajibkan bagi kita-akhir ummat ini- untuk kembali kepada al Kitaab dan as Sunnah dan jalan orang mu`miniin (as Salafus Shoolih), tidak dibolehkan bagi kita mengatakan: kita akan memahami al Kitab dan as Sunnah secara bebas (merdeka) tanpa meruju` kepada pemahaman “as Salafus Shoolih!!”

Dan wajib adanya penisbahan yang membedakan secara tepat pada zaman ini, maka tidak cukup kita katakan : saya muslim saja!, atau madzhab saya adalah al Islam!, padahal seluruh firqah firqah yang ada mengatakan demikian : ar raafidhiy (as Syii`ah) dan al ibaadhiy (al Khawaarij/Firqatut takfiir) dan al qadiyaaniy (Ahmadiyyah) dan selainnya dari firqah firqah yang ada!!, jadi apa yang membedakan kamu daripada mereka keseluruhannya??

Kalau kamu mengatakan : saya muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah juga belum cukup, karena pengikut pengikut firqah firqah yang sesat juga mengatakan demikian, baik al `Asyaairah dan al Maaturiidiyyah dan kelompok kelompok yang lain- keseluruhan pengikut mereka juga menda`wakan mengikuti yang dua ini (al Kitab dan as Sunnah).

Dan tidak diragukan lagi adanya wujud penisbahan yang jelas lagi terang yang betul betul membedakan secara nyata yaitu kita katakan : “Ana muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah di atas pemahaman “as Salafus Shoolih,” atau kita katakan dengan ringkas : “Ana Salafiy.”

Dan diatas inilah; sesungguhnya kebenaran yang tidak ada penyimpangan padanya bahwasanya tidak cukup bersandarkan kepada al Kitab dan as Sunnah saja tanpa menyandarkan kepada methode pemahaman “as Salaf” sebagai penjelas terhadap keduanya dalam sisi pemahaman dan gambaran, al `ilmu dan al `amal, ad Da`wah serta al Jihad.

Kita mengetahui bahwasanya mereka-radhiallahu `anhum- tidak pernah fanatik kepada madzhab tertentu atau kepada pribadi tertentu, tidak terdapat dikalangan mereka ada mengatakan : “Bakriy (pengikut Abu Bakr), `Umariy (pengikut `Umar), `Utsmaaniy (pengikut `Utsman), `Alawiy (pengikuti `Ali) radhiallahu `anhum ajma`iin, bahkan salah seorang dari kalangan mereka apabila memudahkan baginya untuk bertanya kepada Abu Bakr atau `Umar atau Abu Hurairah dia akan bertanya; yang demikian itu dikarenakan mereka betul betul yaqin bahwasanya tidak dibolehkan meng-ikhlashkan “ittibaa`” (pengikutan) kecuali pada seorang saja, ketahuilah dia adalah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam; dimana beliau tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan padanya.

Kalau kita terima bantahan para pengeritik ini bahwasanya kita hanya menamakan diri kita “kami orang muslim”, tanpa menisbahkan kepada “as Salafiyyah”-padahal nisbah itu merupakan nisbah yang mulia dan benar-, apakah mereka (para pengeritik) akan melepaskan dari penamaan dengan golongan golongan mereka, atau madzhab madzhab mereka, atau thoriiqah thoriiqah mereka- yang padahal penisbahan dan penyadaran itu bukan disyari`atkan dan tidak benar?!!

فحسبكم هذا التفاوت بيننا

وكل إناء بما فيه ينضح.

Artinya : “Cukuplah bagi kalian perbedaan ini diantara kita

Dan setiap bejana akan menuangkan apa apa yang ada padanya.

Dan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa yang Menunjuki kita ke jalan yang lurus, dan Dia-Subhaana wa Ta`aalaa- Yang Maha Penolong.

Diterjemahkan oleh Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy

Dari Majallah as Ashoolah (no.9/86-90), dengan judul : “Masaail wa Ajwibatuha.”

Sumber: http://www.darussalaf.or.id Penulis: Al Muhaddist al `Allaamah Muhammad Naashiruddiin al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala Judul: Kenapa kita harus mengikuti as Salaf?

Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI