Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Rabu, 01 September 2010

Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 5)


Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 5)
Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari


Khutbah Setelah Shalat Ied

Termasuk sunnah dalam khutbah Id adalah dilakukan setelah shalat. Dalam permasalahan ini Imam Bukhari membuat bab dalam kitab Shahihnya1 bab Khutbah setelah Shalat Id.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata:

Aku menghadiri shalat id bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Ustman radhiyallahu 'anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah.2

Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata:

Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha sebelum khutbah.3

Waliullah Ad Dahwali menyatakan ketika mengomentari bab yang dibuat Imam Bukhari di atas4:

Yakni sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan yang diamalkan al khulafaur rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari shalat dangan mengqiyaskan dengan shalat jumat- merupakan perbuatan bid'ah yang bersumber dari Marwan.

Berkata Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi (2/441):

Yang diamalkan hal ini di sisi ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka adalah shalat Idul Fitri dan Adha dikerjakan sebelum khutbah. Orang pertama yang berkhutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Hakam.5

Abi Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata:

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fitri dan Adha. Maka yang pertama kali belaiu lakukan adalah shalat. Kemudian beliab menghadap manusia sedangkan mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau lalu memberi pelajaran, wasiat dan perintah.6

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah:

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian untuk Allah. Tidak ada haditspun yang dihafal bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri dan Adha dengan Takbir. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya7 dari Sa'ad Al Quradhi, muadzin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau memperbanyak bacaan takbir dalam khutbah dua Id, hal itu tidaklah menunjukkan bahwa beliau membuka khutbanya dengan takbir.8

Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk. Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al Bazzar meriwayatkan dalam Musnadnya (53) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan diantara keduanya dengan duduk. Sedangkan Imam Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib, 'haditsnya mungkar'. Maka khutbah id itu tetap satu kali seperti asalnya.

Menghadiri khutbah id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat, karena ada riwayat dair Abdullah bid Saib, ia berkata:

Aku menghadiri id bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika selesai shalat, belau bersabda: 'Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkannya maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilah'.9

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Zadul Ma'ad (1/448):

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi keringanan bagi yang menghadiri shalat id utuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi.10

Bertepatannya Hari Id dengan Hari Jumat

Telah meriwayatkan Abu Dawud (1070), An Nasa-i (3/194), Ibnu Majah (1310), Ibnu Khuzaimah (1464), Ad Darimi (1620) dan Ahmad (4/372) dari Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami ia berkata:

Aku menyaksikan Mu'awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, ia berkata, Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemunya dua hari raya pada satu hari? Zaid berkata, Ya. Mu'awiyah berkata, Lalu apa yang beliau lakukan? Zaid menjawab, Beliau shalat id kemudian memberi keringanan untuk shalat Jumat, beliau bersabda 'Siapa yang ingin shalat maka shalatlah'.11

Abu Hurairah dan selainnya membawakan riwayat tentang hal ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan ini yang diamalkan para shahabat Radhiyallahu 'anhum.

Abdurrazzaq meriwayatian dalam Al Mushannaf (3/305) dan juga Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (2/187) dengan sanad yang shahih dari Ali Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya berkumpul dua hari raya pada satu hari, maka ia berkata:

Siapa yang ingin menghadiri shalat jumat maka hadirilah dan siapa yang ingin duduk maka duduklah.

Dalam shahih Bukhari (5251) disebutkan riwayat semisal ini dari Ustman Radhiyallahu 'anhu. Dalam Sunan Abi Dawud (1072) dan Mushannaf Abdurrazzaq (5725) dengan sanad yang shahih dari Ibnu Zubair:

Dua hari raya bertamu dalam satu hari, maka ia mengumpulkan keduanya bersama-sama dan menjadikannya satu. Ia shalat Idul Fitri pada hari Jumat sebanyak dua rakaat pada pagi hari, kemudian ia tidak menambah hingga shalat Ashar.

Asy Syaukabi berkata dalam Nailul Authar (3/348) mengikuti riwayat ini, Dhahir riwayat ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat Dzuhur.

Dalam riwayat ini menunjukkan bahwa shalat Jumat jika gugur dengan salah satu sisi yang diperkenankan, maka tidak wajib bagi orang yang gugur darinya untuk mengerjakan shalat Dzuhur. Dengan ini Atha' berpendapat.

Tampak bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jumat adalah pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya pada hari Jumat adalah shalat Jumat, maka mewajibkan shalat Dzuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jumat karena udzur atau tanpa udzur butuh dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk dipegang sepanjang yang aku ketahui.

Ucapan Selamat Pada Hari Id

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan pada hari raya maka beliau menjawab:

Ucapan selamat pada hari raya dimana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Id adalah: 'Taqabbalallau Minna wa Minkum' (Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian). Dan 'Ahaalallhu alaika', dan semisalnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya, seperti Imam Ahmad berkata, 'Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada siapapun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a'lam.12

Berkata Al hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/446):

Dalam Al Mahamiliyat dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata, 'Para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya: Semoga Allah menerima dari kami dan darimu'.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata, Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain: Taqabballallahu minka wa minkum.

Imam Ahmad menyatakan, isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus).13

Adapun ucapan selamat : 'Kullu 'aamin wa antum bikhairin' atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah:

Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?

---------------------

1. Kitabul Idain bab no.8. Lih: Fatul Bari (2/453).

2. HR. Bukhari (962), Muslim (884) dan Ahmad (1/331 dan 346).

3. HR. Bukhari (963), Muslim (888), At Tirmidzi (531), An Nasa-i (3/183), Ibnu Majah 91276) dan Ahmad (2/12 dan 38).

4. Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari (79)

5. Lih: kitab Al Umm (1/235-236) oleh Imam Syafi'i dan Aridlah Al Ahwadzi (3/3-6) oleh Al Qadhi Ibnul Arabi Al Maliki.

6. HR. Bukhari 9956), Muslim (889), An Nasa-i (3/187), Al Baihaqi (3/280) dan Ahmad (3/36 dan 54).

7. Sunan Ibnu Majah (1287), dan juga diriwayatkan oleh Al Hakim (3/607), Al Baihaqi (3/299) dari Abdurrahman bin Sa'ad bin Ammar bin Sa'ad. Abdurrahman berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari bapakknya dari kakeknya... Riwayat ini isnadnya lemah, karena Abdurrahman bin Sa'ad rawi yang dhaif, sedangkan bapak dan kakeknya adalah rawi yang majhul (tidak dikenal).

8. Zadul Ma'ad (1/447-448).

9. HR. Abu Dawud (1155), An Nasa-i (3/185), Ibnu Majah (1290) dan Al Hakim (1/295) dan isnadnya shahih. Lih: Irwa-ul Ghalil (3/96-98).

10. Lihat juga Majmu Fatawa Syaikhul Islam (24/214).

11. Imam Ali Ibnul Madini menshahihkan hadits ini sebagaimana dalam At Talkhisul Habir (2/94).

12. Majmu Al Fatawa (24/253).

13. Lih: Al Jauharun Naqi (3/320). Berkata Suyuti dalam Al Hawi (1/81), isnadnya hasan.

Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 4)



Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 4)
Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari


Tata Cara Shalat Ied

Pertama: Jumlah rakaat shalat Id ada dua, berdasarkan riwayat Umar Radhiyallahu 'anhu:

Shalat safar itu ada dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat dan shalat Idul Fitri dua rakaat, dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.1

Kedua: Rakaat pertama seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain).

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir dalam shalat Idul Fitri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku.2

Berkata Imam Al Baghawi:

Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir pada rakaat pertama shalat id sebanyak tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali dan selainnya.3

Ketiga: Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat id.4 Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata: Ibnu Umar -dengan semangat ittibanya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir.5

Berkata Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal 348:

Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat id diriwayatkan dari Umar dan putranya radhiyallahu anhuma, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih. Adapun dari Umar, Al Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang dhaif. Sedangkan riwayat dari putranya belum aku dapatkan sekarang.

Sedangkan Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz (hal 148) mengatakan:

Siapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallalalhu 'alaihi wasallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbir.

Keempat: Tidak shahih dari Nabi Shallallau 'alaihi wasallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Id. Akan tetapiada atsar dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu6 tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata:

Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jalla.

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah:

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam diam sejanak di antara dua takbir, namuin tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut.

Kelima: Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al Fatihan. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat yang lain membaca surat Al Qamar.7 Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al A'la dan surat Al Ghasyiyah.8

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah:

Telah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari beliau yang selain itu.9

Keenam: Selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun.10

Ketujuh: Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Id berjamaah, maka hendaklah ia shalat dua rakaat.

Dalam hal ini Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya bab Apabila seseorang luput dari shalah id hendaklah ia shalat dua rakaat.11 Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/550) berkata setelah menyebutkan tarjumah (judul bab dalam shahih Bukhari di atas) ini:

Dalam tarjumah ini ada dua hukum: 1) disyari'atkan menyusul shalat id jika luput mengerjakannya secara berjama'ah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan, 2) shalat id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua rakaat.

Berkata Atha':

Apabila seseorang kehilangan shalat id hendaklah ia shalat dua rakaaat.12

Al Allamah Waliullah Ad Dahlawi menyatakan:

Ini adalah madzhabnya Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mendapati shalat id bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakaat, sehingga ia mendapatkan keutamaan shalat id sekalipun luput darinya keutamaan shalat berjamaah bersama imam. Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadha untuk shalat id. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali.13

Berkata Imam Malik dalam Muwatha (592) dengan riwayat Abu Mush'ab:

Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-laki maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al Fatihah) dan lima kali pada rakaat kedua sebelum membaca (Al Fatihah).

Orang yang terlambat dari shalat id hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat id, sebagaimana shalat-shalat lain.14

Kedelapan: Takbir (shalat id) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan15. Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

--------------------

1. Dikeluarkan oleh Ahmad (1/370), An Nasa-i (3/183), At Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar (1/421) dan Al Baihaqi (3/200) dan sanadnya shahih.

2. Riwayat Abu Dawud (1150), Ibnu Majah (1280), Ahmad (6/70) dan Al Baihaqi (3/287) dan sanadnya shahih.
Peringatan: Termasuk sunnah, takbir dilakukan sebelum membaca (Al Fatihah) sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1152), Ibnu Majah (1278) dan Ahmad (2/180) dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dani kakeknya, kakeknya berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir dalam shalat id tujuh kali pada rakaat pertama kemudian beliau membaca surat, lalu bertakbir dan ruku', kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian beliau membaca surat, takbir lalu ruku', kemudian sujud. Hadits ini hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat: Irwa-ul Ghalil (3/108-112). Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh Al Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/443,444).

3. Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebaimana dalam syarhus sunnah (4/309). Lih: Majmu Fatawa (24/220-221).

4. Lih: Irwa-ul Ghalil (3/112-114).

5. Zadul Ma'ad (1/441).

6. HR. Al haqi (3/291) dengan sanad yang jayyid (bagus).

7. HR. Muslim (891), An Nasa-i (8413), Ibnu Majah (1282) dari Abi Waqid Al Laitsi Radhiyallahu 'anhu.

8. HR. Muslim (878), At Tirmidzi (533), An Nasa-i (3/184), Ibnu Majah (1281) dari Nu'man bin Bisyir Radhiyallahu 'anhu.

9. Zadul Ma'ad (1/443), Lih: Majalah Al Azhar (7/193).

10. Untuk lebih lengkap baca: Shifat Shalatun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam karya Syaikh Al Albani.

11. Shahih Bukhari (1/134,135).

12. Shahih Bukhari (1/134,135).

13. Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 980) dan lihat kitab Al Majmu' (5/27-29).

14. Al Mughni (2/212).

15. Al Mughni (2/244) oleh Ibnu Qudamah.

Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 3)


Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 3)

Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari


Kapan Disunnahkan Makan Pada Hari Idul Fitri dan Idul Adha?

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pergi (ke tanah lapang) pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma.1

Berkata Imam Al Muhallab:

Hikmah makan sebelum shalat (Idul Fitri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa hingga dilaksanakan shalat Id, seolah-olah beliau ingin menutup jalan menuju ke sana.2

Dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, sedangkan pada hari raya kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya.3

Al Allamah Ibnul Qayyim berkata:

Adapun dalam Idul Adha, beliau tidak makan hingga kembali dari mushalla, lalau beliau makan dari hewan kurbannya.4

Al Allamah Asy Syaukani menyatakan dalam Nailul Authar:

Hikmah mengakhirkan makan pada hari Idul Adha adalah karena hari itu disyari'atkan menyembelih kurban dan makan dari kurban tersebut, maka bagi orang yang berkurban disyari'atkan agar berbukanya (makan) dengan sesuatu dari kurban tersebut. Ini dikatakan oleh Ibnu Qudamah.5

Berkata Az Zain Ibnul Munayyir:

Makannya beliau Shallallahu 'alaihi wasallam pada masing-masing Id terjadi pada waktu disyari'atkan untuk mengeluarkan sedekah khusus dari dua hari raya tersebut, yaitu mengeluarkan zakat fitri sebelum datang ke mushalla dan mengeluarkan zakat kurban setelah menyembelihnya.6

Mandi Sebelum Shalat Id

Dari Nafi' ia berkata:

Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma biasa mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla.7

Imam Said Ibnul Musayyib bekata:

Sunnah Idul Fitri itu ada tiga: berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi.8

Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para shahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal demikian.

Berkata Imam Ibnu Qudamah:

Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fitri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga 'Urwah, Atha', An Nakha-i, Asy Sya'bi, Qatadah, Abu Zinad, Asy Syafi'i dan Ibnul Mundzir.9

Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif.10

Apakah Ada Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Id

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dua rakaat pada hari Idul Fitri, beliau tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya.11

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak pernah melakukan shalat (sunnah) ketika tiba di tanah lapang sebelum shalat Id dan tidak pula sesudahnya.

Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Bari:

Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat Id tidak ada shalat sunnah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. Berbeda dengan orang yang mengqiyaskannya dengan shalat Jum'at.12

Waktu Pelaksanaan Shalat Id

Abdullah bin Busr, sahabat Nabi Shallallau 'alaihi wasallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata, Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih.13 Ini riwayat yang paling shahih14 dalam babn ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.

Berkata Ibnul Qayyim:

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit.15

Shiddiq Hasan Khan menyatakan:

Waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma' atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincirnya matahari.16

Berkata Syaikh Abu Bakar Al Jazairi:

Waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fitri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat fitri mereka.17

Peringatan: Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya. Abu Dawud (1157), An Nasa-i (3/180) dan Ibnu Majah (1653) telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginya.

Shalat Id Tanpa Adzan dan Iqamah

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah.18

Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhum berkata:

Tidak pernah dikumandangkan azan (untuk shalat Id) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha.19

Berkata Ibnul Qayyim:

Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah tiba di mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ada ucapan Ashalatu jaami'ah. Yang sunnah semua itu tidak dilakukan.20

Iman As Shan'ani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini:

Ini merupakan dalil tidak disyari'atkan azan dan iqamah dalam shalat Id, karena (mengumandangkan) azan dan iqamah dalam shalat Id adalah bid'ah.21

-----------------

1. HR. Bukhari (953), Tirmidzi (543), Ibnu Majah (1754) dan Ahmad (3/126,164,232).

2. Fathul Bari (2/447).

3. HR. Tirmidzi (542), Ibnu Majah (1756), Ad Darimi (1/375) dan Ahmad (5/352) dan isnadnya hasan.

4. Zadul Ma'ad (1/441).

5. Lih: Al Mughni (2/371).

6. Lih: Fathul Bari (2/448).

7. HR. Malik (1/177), Asy Syafi'i (73) dan Abdurrazzaq (5754) dan sanadnya shahih.

8. Riwayat Al Firyabi (127/1-2) dengan sanad shahih sebagaimana dalam Irwa-ul Ghalil (2/104).

9. Al Mughni (2/370).

10. Hadits tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah (1315). Didalam sanadnya ada rawi Jubarah ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Juga diriwayatkan dalam (1316) didalam sanadnya ada rawi Yusuf bin Khalid As Samti, lebih dari satu orang ahli hadits menganggapnya kadzab (suka dusta).

11. HR. Bukhari (989), At Tirmidzi (537), An Nasa-i (3/193) dan Ibnu Majah (1291).

12. Lih: Syarhus Sunnah (4/316,317).

13. Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat. Lih: Fathul Bari (2/457) dan An Nihayah (2/331).

14. Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq dalah shahihnya (2/456) dan Abu Dawud meriwayatkan secara bersambung (1135), Ibnu Majah (1317), Al Hakim (1/295) dan Al Baihaqi (3/282) dan isnadnya shahih.

15. Zadul Ma'ad (1/442).

16. Al mau'idhah Al Hasanah (43, 44)

17. Minhajul Muslimin (278).

18. HR. Muslim (887), Abu Dawud (1148) dan Tirmidzi (532).

19. HR. Muslim (887), Abu Dawud (1148) dan Tirmidzi (532).

20. Zadul Ma'ad (1/442).

21. Zadul Ma'ad (1/442).

Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 2)


Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 2)
Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari


Keluar Menuju Mushalla

Dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat...1

Berkata Al Allamah Ibnul Hajj Al Maliki:

Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ' Shalat di masjidku ini labih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid al haram'.2

Kemudian walaupun ada keutamaan yang besar seperti ini, beliau shallallahu 'alaihi wasallam tetap keluar ke mushalla dan meninggalkan masjidnya.3

Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi menyatakan4:

Sunnah untuk melaksanakan shalat Id di tanah lapang, Ali Radhiyallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan dianggap baik oleh Al Auza'i dan Ashabur Ra'yi. Inilah ucapan Ibnul Mundzir.5

Siapa yang tidak mempu untuk keluar ke tanah lapang karena sakit atau umur tua, boleh shalat di masjid dan tidak ada dosa baginya, Insya Allah.6

Disini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat. Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangnya mushalla meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh Ulama.7 Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

Mengambil Jalan Yang Berlainan Ketika Pergi dan Kembali dari Mushalla

Dari Jabir bin Abdillan Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan.8

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah:

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam biasa mengambil jalan yang berbada pada hari raya. Beliau pergi ke mushallan melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan tersebut. Ada yang mengatakan agar mendapatkan barakahnya dua jalan yang berbeda. Ada pula yang mengatakan agar beliau dapat memenuhi hajar orang yang butuh pada beliau pada dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi'ar Islam... Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak kosong dari hikmah.9

Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas beliau mengomentari:

Kalaupun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunnahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a'lam.10

Peringatan:

Pertama: Berkata Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (4/302-303), Disunnahkan agar manusia berpagi-pagi ke mushalla setelah melaksanakan shalat subuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir. Sedangkan keluarnya imam adalah pada waktu akan ditunaikannya shalat.

Kedua: At Tirmidzi meriwayatkan (530) dan Ibnu Majah (161) dari Ali Radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: Termasuk sunnah untuk keluar menunaikan shalat id dengan jalan kaki.11

Takbir Pada Idul Fitri dan Idul Adha

Allah ta'ala berfirman:

Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur.

Telah pasti riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

Beliau keluar pada hari Idul Fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir.12

Berkata Al Muhaddits Syaikh Al Albani:

Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir sejara jahr (keras/bersuara) di jalanan menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remah sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita...

Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyaratkan berkumpul atas satu suara sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyari'atkan untuk mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut13 dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau menjawab:

Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta para imam berpegang dengannya adalah: hendaklah bertakbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyari'atkan bagi setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyari'atkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat.14

Penulis (Syaikh Ali bin Hasan) berkata:

Ucapan beliau (Syaikhul Islam) rahimahullah, '(dilakukan) setelah selesai shalat' -secara khusus- tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab Iedain dari Shahih Bukhari (2/461) Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah:

Umar radhiyallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di Masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.

Maimunah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid.

Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam.15

Sepanjang yang diketahui penulis bahwa tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang diriwayatkan dari sebagian sahabat ridhwanullah 'alaihim ajma'in.

Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadz:

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan untuk Allahlah segala pujian.16

Sedang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma bertakbir dengan lafadz:

Allah Maha Besar 3x dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita.17

Abdurrazzaq dan dari jalannya Al baihaqi dalam As Sunanul Kubra (3/316) meriwayatian dengan sanad yang shahih dari Salman Al Khair Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

Agungkanlah Allah dengan mengucapkan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira.

Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan oleh salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/536):

Pada masa ini telah diada-adakan satu tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya.

-------------------

1. HR. Bukhari (956), Muslim (889) dan An Nasa-i (3/187).

2. HR. Bukhari (1190) dan Muslim (1394).

3. Al Madkhal (2/283).

4. Al Mughni (2/229-230).

5. Untuk mengetahui dalil-dalil permasalahan ini secara mendetail, disertai bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihi, silakan meruju pada tulisan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam Syahrus Sunnan Tirmidzi (2/421-424). Dan Syaikh Al Albani memiliki risalah tersendiri yang berjudul Shalat Al Idain fil Mushalla Kharijal Balad Hiya Sunnah.

6. Al Mughni (2/229-230).

7. Lih : Nihayah Al Muhtaj (2/375) oleh Ar Ramli.

8. HR. Bukhari (986).

9. Zadul Ma'ad (1/449).

10. Raudhatuth Thalibin (2/77).

11. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi (1/164).

12. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf dan Al Muhamili dalam Kitab Shalatul Iedain dengan isnad shahih akan tetapi hadits ini mursal. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Lih: Silsilah Al Ahadits As Shahihah (170). Takbir pada idul Fitri dimulai pada waktu keluar untuk menunaikan shalat id.

13. Silsilah Al Ahadits As Shahihah (1/121). Syaikh Al Allamah Hamud At Tuwaijiri memiliki risalah tersendiri tentang pengingkaran takbir yang dilakukan secara berjamaah.

14. Majmu' Al Fatawa (24/220) dan lihat Subulus Salam (2/71-72).

15. Diriwayatian oleh Ad Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lih : Irwa-ul Ghalil (650).

16. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/168) dengan isnad yang shahih.

17. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi (3/315) dengan sanad shahih.

Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 1)



Berhari Raya Bersama Salafus Shalih (bag 1)
Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari



Makna Id (Hari Raya)

Id secara bahasa artinya setiap hari yang didalamnya ada perkumpulan. Diambil dari kata ['aada-ya'uudu] artinya kembali, karena seakan-akan mereka selalu kembali padanya. Adapun yang berpendapat bahwa id diamil dari kata 'adat atau kebiasaan' [al 'aadah], karena mereka menjadikannya sebagai kebiasaan. bentuk jamaknya adalah [al 'iyaadu]. Bila dikatakan ['iyadul muslimin] maknanya 'mereka menyaksikan hari raya (id) mereka. Ibnul 'Arabi mengatakan, Id dinamakan dengan nama tersebut karena setiap tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru.1

Berkata Al 'Allamah Ibnu 'Abidin:

Id dinamakan dengan nama ini, karena milik Allah-lah pada hari itu segala macam kebaikan, yakni macam-macam kebaikan yang kembali atas hamba-hamba-Nya dalam setiap hari, diantaranya kebolehan berbuka (menyantap makanan dan minuman) setelah sebelumnya dilarang, sedekah (zakat) fitri, sempurnanya pelaksanaan ibadah haji dengan tawaf ziarah, daging-daging kurban dan selainnya. Dan karena kebiasaan pada hari itu sarat dengan kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan dan nikmat.2

Rahmat Allah bagi Umat Muhammad dengan Dua Hari Raya

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya pada masa Jahiliah.3 Maka beliau bersabda:

Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian bersenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu hari raya kurban dan hari idul fitri.4

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna:

Maksudnya karena hari Idul Fitri dan hari Raya Kurban ditetapkan oleh Allah Ta'ala, merupakan pilihan Allah untuk makhluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu haji dan puasa. Pada dua hari tersebut Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-NBya kepada seluruh makhluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu yang tentunya disesuaikan dengan zaman, selera dan semisalnya dari keistimewaan yang akan pudar. Maka perbedaan keistimewaan dari Idul Fitri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya.5

Bolehnya Mendengarkan Rebana yang Dimainkan Anak Perempuan Kecil.

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk menemuiku sedang di sisiku ada dua anak perempuan kecil yang sedang bernyanyi6 dengan nyanyian Bu'ats. Lalu beliau berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Masuklah Abu Bakar, lalu menghardikku dan berkata, 'seruling syaitan di sisi nabi shallallahu 'alaihi wasallam?' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian menghadap ke Abu Bakar seraya berkata, 'Biarkan kedua anak perempuan itu'. Ketika beliau tidur, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar.

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari rayam dan ini adalah hari raya kita.7

Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (4/322) mengatakan:

Bu'ats8 adalah hari yang terkenal di antara hari-harinya bangsa Arab. Pada hari itu suku Aus mendapatkan kemenangan yang besar dalam peperangan dengan suku Khazraj. Peperangan antara kedua suku ini berlangsung selam 120 tahun sampai datang Islam. Syair yang didendangkan oleh kedua anak perempuan itu berisi menggambarkan (tentang) peperangan dan keberanian serta menyinggung upaya untuk membatu tegaknya perkara agama.

Adapun nyanyian yang berisi kekejian, pengakuan berbuat haram dan menampakkan kemungkaran dengan terang-terangan melalui ucapan, adalah termasuk nyanyian yang dilarang. Tidak mungkin nyanyian seperti itu yang didendangkan di hadapan beliau shallallahu 'alaihi wasallam lalu dilalaikan untuk mengingkarinya.

Sabda beliau 'Ini adalah hari raya kita', beliau mengemukakan alasan dari 'Aisyah bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya merupakan syiar agama ini, dan tidaklah hari raya itu seperti hari-hari lin.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata:

Dalam hadits ini ada beberapa faedah, disyariatkan untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama.9

Berpenampilan Indah Pada Hari Raya

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma ia berkata, Umar mengambil sebuah jubah dari sutra tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata: Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Umar, Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirimkan kepadanya jubah dari sutra. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. ia berkata, Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapatkan bahagian, dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Umar, Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya.10

Berkata Al Allamah As Sindi:

Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini.11

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata:

Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fitri dan Idul Adha.12

Beliau juga menyatakan:

Sisi pendalilan dengan hadits ini adalah taqrirnya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutra.13

Dalam Al Mughni (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan:

Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur.

Malik berkata:

Aku mendengan ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya.

Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/441):

Nabi shallallau 'alaihi wasallam memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasanya dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah,14 namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikianb bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman.

-------------------

1. Lisanul Arab (3/319).

2. Hasyiyah Ibnu Abidin (2/165).

3. Yaitu Hari Raya Nairuz dan Hari Mahrajan. Lih: 'Aunu Ma'bud (3/485) oleh Al 'Adhim Abadi.

4. HR. Ahmad (3/103, 178, 235), Abu Dawud (1134), An Nasa-i (3/179) dan Al Baghawi (1098), hadits Shahih.

5. Fathur Rabbani (6/119).

6. Dalam Riwayat lain ada lafadh : 'dan keduanya bukanlah penyanyi'. Lih: Syarhu Muslim (6/182) oleh Imam Nawawi.

7. Kedua hadts ini diriwayatkan oleh Bukhari (949, 952, 987, 2097, 3530, 3931). Diriwayatkan juga oleh Muslim (892), Ahmad (6/134) dan Ibnu Majah (1898).

8. Lih: An Nihayah (1/139) oleh Ibnul Atsir Al Jazari.

9. Fathul Bari (2/443).

10. HR. Bukhari (886, 94f8, 2104, 2169, 3045, 5841, 5891, 6081), Muslim (2068), Abu Dawud (1076), An Nasa-i (3/181, 8/196, 198), Ahmad (2/20, 30, 49).

11. Hasyiyah As SIndi 'ala an Nasa-i (3/181).

12. Fathul Bari (2/439).

13. Fathul Bari (2/434).

14 Lih: Silsilah As Shahihah (1279).

Hukum Shalat 'Ied


Hukum Shalat 'Ied
Oleh Syaikh Abul Hasan Mustafa bin Isma'il as Sulaimani


Syaikh Abul Hasan Mustafa bin Isma'il as Sulaimani (seorang alim dari Mesir yang kini tinggal di Yaman, murid senior Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i) telah ditanya mengenai hukum shalat 'ied, wajib atau sunnah. Maka beliau memberikan jawaban sebagai berikut:

Berkaitan dengan persoalan hukum shalat ied maka ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ummat, yaitu:

1. Shalat 'ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

2. Fardhu kifayah, artinya dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat 'ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal dikalangan madzhab Hambali.

3. Fardhu 'ain, artinya berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dalil-Dalil

Pendapat pertama:

Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadit yang muttafaq 'alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata:
Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam. Ia bertanya lagi, Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja. Beliau melanjutkan,Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan. Ia bertanya, Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya? Beliau menjawab, Tidak melainkan hanya amalan sunnah saja.
Perawi (Thalhah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan zakat kepadanya, ia pun bertanya adakah punya kewajiban lainnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, Tidak kecuali hanya amalan sunnah saja.
Perawi mengatakan, setelah itu orang ini pergi seraya berkata, Demi Allah saya tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya).

Mereka mengatakan hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajibn 'ain. Dua shalat 'ied termasuk dalam keumuman ini. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama diantaranya Ibnu al Mundzir dalam al Ausath (4/252).

Pendapat kedua:

Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni yang berpendapat bahwa shalat 'ied adalah fardhu kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat 'ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalah 'ied juga merupakan syi'ar Islam. Disamping itu mereka juga berdalil dengan firman Allah:

Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu). (Al Kautsar : 2).

Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits yang pertama disebutkan di atas dengan hadits-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat 'ied. Lih: Al Mughni (2/224).

Pendapat ketiga:

Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini. Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan wajib 'ainnya shalat 'ied.

Beliau menyebutkan bahwa dahulu para sahabat melaksanakan shalat 'ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorang pun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi. Berarti hl ini menunjukkan bahwa shalat 'ied termasuk jenis shalat jum'at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak pernah membiarkan shalat 'ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat jum'at. Hal ini tidak didapat dalam shalat istisqa'.

Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat 'ied di Masjid bagi golongan kaum muslimin yang lemah. Andaikata shalat 'ied itu sunnah, tentu Ali Radhiyallahu 'anhu tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.

Dalil yang lain bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari 'ied dan doa kaum mukminin. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika itu ada diantara kaum wanita yang berkata kepada belian Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa salah seorang diantara mereka tidak memilik jilbab, maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab:

Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya. (Muttafaq 'alaih dengan lafadz Imam Muslim)

Padahal dalam shalat Jum'at dan shalat berjama'ah, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bagi para wanita

Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.

Juga bahwa shalat Jum'at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan shalat 'ied yang tidak ada gantinya. Shalat 'ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat jum'at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih dalam satu tahun. Sementara itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun memerintahkan ummatnya untuk melaksanakan shalat 'ied, memerintahkan agar umatnya keluar menuju shalat 'ied. Beliau dan kemudian disusul oleh para khalifahnya serta kaum muslimin sesudahnya terus menerus melakukan shalat 'ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam shalat 'ied ditinggalkan, sedangkan shalat 'ied termasuk syi'ar Islam yang paling agung.

Firman Allah:

Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya. (Al Baqarah : 185)

Pada ayat itu Allah Ta'ala memerintahkan bertakbir pada hari 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha. Artinya pada hari itu Allah memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan sesuai dengan cara takbir pada raka'at pertama dan raka'at kedua.

(Demikian secara ringkas apa yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa (24/179-183) disertai sedikit tambahan keterangan dan pengurangan)

Imam Shan'ani dan Sidiq Hasan Khan dalam Raudhatun Nadiyah menambahkan bahwa apabila hari 'ied dan jum'at bertemu maka hari 'ied menggugurkan kewajiban shalat jum'at. Padahal shalat jum'at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. (Lih: Subulus Salam 2/141).

Para ahli pendapat ketiga ini membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits yang mengisahkan persoalan orang Badui (dari Nejed) itu mengandung beberapa kemungkinan:

a) Mungkin karena orang tersebut tidak berkewajiban shalat jum'at sehingga apalagi shalat 'ied.

b) Mungkin pula karena hadits tersebut khusus menerangkan masalah kewajiban shalat dalam sehari semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). [Lih: Kitabus Shalah, Ibnul Qayyim].

Hadits tersebut masih bisa dibantah dari sisi lain, yaitu bahwa keterangan umum pada hadits itu (mengenai shalat wajib hanyalah shalat lima waku sehari semalam) telah dikhususkan dengan shalat nazar. Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban shalat nazar ada dalilnya sendiri, maka demikian pula kewajiban shalat 'ied juga ada dalilnya sendiri. Jika dibantah lagi bahwa kewajiban shalat nazar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya (dengan nazar) untuk melaksanakan shalat tersebut, maka dijawab bahwa demikian untuk shalat nazar apalagi shalat yang kewajiban ditetapkan oleh Allah utuknya, tentu kewajiban melaksanakan shalat itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang diwajibkan sendiri.

Adapun argumentasi dari pendapat fardhu kifayahnya shalat 'ied yakni Al Kautsar : 2 dan bahwa shalat 'ied merupakan syi'ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan wajib 'ainnya shalat 'ied.

Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah, bahwa shalat 'ied adalah shalat yang tidak didahului adzan dan iqamat hingga mirip dengan shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash. Disamping itu sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat 'ied adalah karena:

1) Mereka keluar menuju tanah lapang dan karean jauhnya dari tempat pemukiman.

2) Sebelumnya mereka telah menunggu-nuggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah siap sedia untuk melaksanakan shalat 'ied pada pagi harinya, dan menghentikan segala kesibukank lain, berbeda dengan shalat lima waktu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Siapa yang berpendapat shalat 'ied itu fardhu kifayah maka perlu dikatakan bahwa hukum fardhu kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang mashlahatnya data tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang. Sedangkan shalat 'ied mashlahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau mashlahat shalat 'ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang), berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar mashlahat shalat tersebut dapat tercapai? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab satu, atau dua, atau tiga orang dan seterusnya.

Syaikh Abul Hasan Mustafa kemudian mengatakan:

Imam Shana'ani, Imam Syaukani, Syaikh Al Albani, Syaikh al Utsaimin berpegang pada pendapat bahwa shalat 'ied adalah wajib 'ain. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya. Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur ulama, namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan hukumnya wajib 'ain, berdasarkan kekuatan dalil yang mereka gunakan, terutama karena sejumlah ulama juga berpendapat seperti ini. Begitulah kiranya sikap adil. Wallahu a'lam.

Maraji': As Sunnah 07 / III / 1419 - 1998

Mendulang Sunnah Nabi pada Hari Raya 'Iedul Fitri


Oleh Abu Ihsan Al Atsari

'Iedul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam. Setelah berpuasa sebulan penuh, siang hari menahan diri dari makan, minum dan syahwat, malam hari menunaikan shalat tarawih berjama'ah, maka tibalah hari yang dinanti, Hari Raya 'Iedul Fitri. Dari sisi bahasa, 'Ied, artinya sesuatu yang kembali. Yaitu satu hari yang akan selalu berulang kembali setiap tahun.

Kaum muslimin menyambut hari ini dengan suka cita. Setelah sebulan penuh jiwa dan fisiknya dilatih melalui ibadah puasa, maka sekarang tibalah masa pembuktian. Apakah latihan selama sebulan penuh itu berbuah ataukah tidak? Latihan jiwa yang ditempuh dalam bulan suci ini, diharapkan membekas pada diri; sehingga ketika keluar dari bulan Ramadhan, kita berhak mendapat gelar muttaqin yang seperti diharapkan. Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bershiyam sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (QS AlBaqarah:183).

Melalui tulisan ini, kami mengajak segenap kaum muslimin agar melewati hari besar yang bahagia ini, yaitu dengan mengamalkan Sunnah Nabi yang berkaitan dengannya. Jangan sampai hari bergembira ria ini menyeret kita ke lembah dosa, seperti: mabuk-mabukan, bercampur-baur antara lelaki dan pria, berjabat tangan antara pria dengan wanita yang bukan mahram, berlebihan-lebihan dalam hal makanan dan minuman, mubadzir dan menghambur-hamburkan harta, dan lain sebagainya. Sehingga hilanglah hikmah 'Iedul Fitri yang agung ini.

Perlu diingat, selepas bulan Ramadhan, bukan berarti tiba masa balas dendam untuk melampiaskan syahwat, seperti yang dibayangkan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan, dengan tibanya hari 'Ied ini, seharusnya lebih menguatkan semangat kita dalam melakukan ketaatan kepada Allah l .

Berikut ini, kami sampaikan beberapa Sunnah Nabi berkaitan dengan hari yang agung ini.

- Shalat 'Ied Hukumnya Wajib

Masih banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui hukum ini. Rasulullah n telah memerintahkan wanita haidh dan gadis dalam pingitan untuk keluar menghadirinya. Padahal, untuk shalat-shalat wajib lainnya -seperti shalat Jum'at- beliau mengatakan,Shalat di rumah lebih baik bagi mereka. Bahkan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau mewakilkan kepada seseorang untuk mengimami shalat 'Ied di masjid bagi yang tidak sanggup datang ke lapangan. Para ulama, dari dahulu sampai sekarang -seperti: Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ash Shan'ani, Asy Syaukani, Syaikh Al Albani dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- mengatakan hukumnya wajib 'ain. [1] Shalat 'Ied di lapangan merupakan syi’ar kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita meremehkan kewajiban ini.

- Mandi Dan Berhias Diri Sebelum Berangkat Shalat 'Ied

Salah satu Sunnah Nabi pada hari 'Ied, yaitu mandi sebelum berangkat menunaikan shalat 'Ied. Hendaklah memperbaiki penampilan dan mengenakan pakaian yang bagus saat menghadiri shalat 'Ied. Begitulah yang dilakukan oleh para salaf, seperti Abdullah bin Umar, beliau mandi sebelum berangkat ke lapangan. [2] Begitu pula para tabi'in. Salah seorang tokoh tabi'in, yakni Sa'id bin Al Musayyib berkata, Sunnah 'Iedul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan (tempat shalat), makan sebelum berangkat dan mandi.” [3]

Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang mandi; apakah harus mandi setiap hari? Beliau menjawab,Tidak harus. Namun, yang harus mandi ialah pada hari Jum'at, hari 'Arafah, hari 'Iedul Adha dan 'Iedul Fitri.” [4]

Ibnu Abdil Barr berkata, Para fuqaha sepakat, bahwa mandi sebelum berangkat shalat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha adalah baik bagi yang melakukannya. [5]

Hukumnya sunnat, seperti dijelaskan oleh Imam An Nawawi berikut ini,Imam Asy Syafi'i dan rekan-rekannya mengatakan,’Untuk melaksanakan shalat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha dianjurkan mandi. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini’. [6]

Diriwayatkan dalam kitab Shahihain, dari Abdullah bin Umar,

أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Umar membeli jubah yang terbuat dari sutera yang dijual di pasar. Ia membawanya kepada Rasulullah dan berkata,Wahai Rasulullah, ambillah jubah ini untuk berhias diri pada hari 'Ied, dan saat menyambut utusan-utusan." Rasulullah berkata,"Sesungguhnya, ini adalah pakaian orang-orang yang tidak mendapat bagian di akhirat." [7]

Ibnu Qudamah mengatakan, Hadits ini menunjukkan, bahwa berhias diri pada kesempatan-kesempatan tersebut, yakni pada hari Jum'at, hari 'Ied dan saat menyambut utusan-utusan, adalah pekara yang sudah mashur di kalangan mereka." [8]

Dari hadits di atas, juga dapat dipetik faidah, bahwa menghadiri shalat 'Ied dianjurkan untuk mengenakan pakaian yang bagus.

Marilah kita meliput yang dilakukan oleh Ibnu Umar pagi hari 'Ied.

Ibnu Ishaq berkata, aku bertanya kepada Nafi',Bagaimanakah yang dilakukan oleh Ibnu Umar pada hari 'Ied? Ia menjawab,Beliau menghadiri shalat Subuh berjama'ah bersama imam. Kemudian, pulang ke rumah. Lalu beliau mandi, sebagaimana mandi junub, lalu mengenakan pakaian yang paling bagus yang dimilikinya, lalu memakai parfum yang beliau miliki. Kemudian keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat 'Ied. Beliau duduk menunggu imam. Apabila imam telah dating, beliau shalat bersamanya. Kemudian beliau kembali dan mendatangi masjid Nabawi, lalu shalat dua raka’at. Setelah itu, beliau pulang ke rumah. [9]

Maka dari itu wahai saudaraku, jangan lupakan Sunnah Nabi ini. Mandi dan berhias dirilah sebelum mendatangi shalat 'Ied.

- Makan Sebelum Berangkat Shalat.

Sebelum berangkat ke lapangan untuk shalat pada hari 'Ied, dianjurkan agar makan terlebih dulu. Dan sebaiknya memakan kurma, seperti diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ

Rasulullah n tidak berangkat shalat pada hari 'Ied, hingga beliau makan beberapa buah kurma. [10]

Disunnahkan memakannya dalam jumlah ganjil, seperti disebutkan dalam riwayat lain dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah tidak berangkat shalat pada hari 'Iedul Fitri, hingga beliau makan kurma sebanyak tiga atau lima atau tujuh buah. [11]

Jika tidak ada kurma, dibolehkan makanan yang lainnya, namun diutamakan yang manis-manis, seperti: madu dan sejenisnya. Atau kalau tidak ada makanan sama sekali, maka minum air juga sudah mencukupinya. Demikian dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. [12]

Dalam sebuah atsar yang shahih, dari Abdullah bin Abbas disebutkan, bahwa beliau berkata, Jika kalian sanggup tidak berangkat shalat 'Iedul Fitri sebelum memakan makanan, maka lakukanlah. [13]

Jangan lewatkan sunnah yang satu ini, wahai saudaraku. Persiapkanlah makanan untuk pagi hari 'Ied.

- Ajaklah Keluarga Dan Kaum Wanita Untuk Menghadirinya

Rasulullah telah memerintahkan para wanita untuk keluar menghadiri shalat 'Ied. Ummu Athiyyah berkata,

أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ

Kami diperintahkan yakni oleh Nabi - agar membawa serta para gadis yang sudah baligh dan gadis-gadis yang berada dalam pingitan pada hari 'Ied. Sehingga mereka bisa menyaksikan jama’ah kaum muslimin dan do’a mereka. Dan wanita yang sedang haidh menjauhi tempat shalat.

Dalam riwayat lain disebutkan,

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ

Kami diperintahkan agar ikut serta pada hari 'Ied. Demikian pula para gadis yang berada dalam pingitan. Beliau juga memerintahkan wanita haidh untuk keluar, namun hendaknya mereka mengambil tempat di belakang tempat shalat dan ikut bertakbir bersama kaum muslimin.

Dalam riwayat lain disebutkan, ada seorang perempuan berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?Rasulullah berkata,Hendaklah saudaranya yang lain meminjamkan jilbab untuknya. [14]

Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah mendatangi tempat shalat, kemudian mengerjakan shalat, lalu menyampaikan khutbah. Kemudian, disertai Bilal, beliau mendatangi kaum wanita untuk memberi nasihat dan peringatan kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. [15]

Demikian pula para sahabat. Mereka membawa serta keluarga ke lapangan shalat 'Ied. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau membawa serta keluarganya yang bisa dibawa ke lapangan shalat 'Ied. [16]

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah menyebutkan alasannya, Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.

Oleh karena itu, bawalah serta keluargamu ke lapangan tempat dilaksanakannya shalat 'Ied. Hidupkan dan semarakkanlah syi’ar kaum muslimin ini.

- Berjalan Kaki Menuju Lapangan Tempat Shalat

Dianjurkan keluar menuju lapangan shalat 'Ied dengan berjalan kaki, bila memungkinkan dan tidak memberatkan. Jika memberatkan, maka boleh dengan mengendarai kendaraan. Dalam Mursal Az Zuhri disebutkan, bahwa Rasulullah tidak mengendarai kendaraan saat menuju tempat shalat 'Ied dan saat mengantar jenazah. [17]

Telah disebutkan atsar dari Sa'id bin Al Musayyib, Sunnah 'Iedul Fitri ada tiga. (Yaitu:) berjalan menuju lapangan (tempat shalat), makan sebelum berangkat dan mandi."

Abu Bakar Hafsh bin Umar bin Sa'ad berkata, Kami keluar bersama Abdullah bin Umar pada hari 'Iedul Adha atau 'Iedul Fitri. Dia keluar berjalan kaki hingga sampai ke tanah lapang tempat pelaksanaan shalat 'Ied. Dia duduk menunggu imam dating, kemudian shalat bersama imam, kemudian beliau pulang." [18]

Diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau berkata,

مِنْ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَأَنْ تَأْكُلَ شَيْئًا قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ

Termasuk sunnah1, yaitu engkau berjalan kaki menuju tempat shalat 'Ied dan memakan sesuatu sebelum berangkat. [19]

Berjalan kaki menuju lapangan tempat pelaksaan shalat 'Ied dapat menghidupkan syi’ar hari yang agung ini. Namun patut disesalkan, Sunnah Nabi ini seakan telah dilupakan oleh kaum muslimin. Maka dari itu, marilah kita hidupkan kembali Sunnah Nabi ini.

- Mengumandangkan Takbir

Satu lagi Sunnah Nabi yang ditinggalkan kaum muslimin, yaitu bertakbir dengan mengangkat suara; mulai dari keluar rumah hingga imam tiba di tempat shalat. Al Faryabi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa beliau mengeraskan suara takbir pada hari raya 'Iedul Fitri saat berangkat ke tempat shalat, hingga imam keluar dan beliau mengikuti takbirnya. [20]

Imam Syu'bah bertanya kepada Al Hakam dan Hammad,Apakah aku bertakbir saat keluar menuju tempat shalat? Mereka berdua menjawab,Ya. [21]

Kaum wanita juga dianjurkan bertakbir jika aman dari fitnah, tetapi dengan tidak mengeraskannya seperti halnya kaum pria. Dasarnya adalah hadits Ummu Athiyyah sebagaimana telah disebutkan di atas. [22]

Adapun lafazh takbir; telah diriwayatkan dari sebagian sahabat, diantaranya ialah takbir Abdullah bin Abbas: Allahu Akbar kabira, Allahu Akbar kabira, Allahu Akbar wa aJalla, Allahu Akbar walillahil hamd. [23] Atau takbir Salman Al Farisi : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira. [24]

Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakhai, ia berkata,Mereka bertakbir pada hari 'Arafah. Diantara mereka ada yang menghadap kiblat setelah selesai shalat sambil mengucapkan:

الله أَكْبَرُ الله أَكْبَرُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ للهُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ للهُ وَ الله أَكْبَرُ الله أَكْبَرُ وَ لِلَّهِ الحَمْدُ

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd. [25]

Artinya, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah. Allah Maha Besar, Maha Besar Allah, segala pujian hanyalah milikNya.

- Berangkat Dengan Melewati Satu Jalan Dan Kembali Lewat Jalan Yang Lain

Ketika kembali dari shalat, disunnahkan mengambil jalan lain, selain jalan yang dilalui ketika berangkat. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir, ia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Bahwasanya Rasulullah n pada hari 'Ied mengambil jalan lain, selain jalan yang dilalui sewaktu berangkat. [26]

Para ulama banyak menyebutkan hikmahnya. Diantaranya sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II/473. Ada yang mengatakan, hikmahnya ialah untuk menampakkan syi’ar Islam pada hari itu. Ada yang mengatakan, hikmahnya untuk menampakkan syi’ar dzikrullah pada hari itu. Ada yang mengatakan, hikmahnya agar jin dan manusia yang ada di dua jalan tersebut dapat menyaksikannya. Ada yang mengatakan, hikmahnya ialah untuk membangkitkan kedongkolan dalam hati kaum munafikin dan Yahudi, dan masih banyak lagi hikmah-hikmah lainnya.

Setelah menyebutkan hikmah-hikmah di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan,Hikmahnya ialah mutaba'atus Sunnah (mengikuti sunnah) Rasulullah.

Syaikhul Islam menyebutkan dalam kitab Majmu' Fatawa, Bahwasanya dalam melaksanakan manasik dan pada hari 'Ied, Rasulullah berangkat dari satu jalan dan pulang melalui jalan yang lainnya. [27]

- Memberi Ucapan Selamat

Boleh mengucapkan selamat hari 'Ied kepada kaum muslimin pada hari yang berbahagia ini. Sebagaimana diriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi'in , seperti Abu Umamah Al Bahili dan lainnya. Mereka mengucapkan:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ

Taqabballahu minna wa minkum.

(Artinya, semoga Allah menerima amalan kita semua).

Imam Malik pernah ditanya, Makruhkah hukumnya seseorang mengucapkan kepada saudaranya saat kembali dari shalat 'Ied "Taqabballahu minna wa minkum" atau "Ghafara lana wa laka" (semoga Allah mengampuni kita semua), lalu saudaranya membalasnya seperti yang diucapkannya?" Beliau menjawab, "Tidak makruh." Yakni boleh. [28]

Imam Ahmad pernah ditanya: Aku harap tidaklah mengapa mengucapkan selamat. [29]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menganggapnya boleh bagi yang melakukannya dan bagi yang tidak melakukannya. Terdapat contoh dan panutan bagi kedua belah pihak (yaitu yang melakukan dan yang tidak melakukannya).

- Sambutlah Hari 'Ied Dengan Ketaatan Dan Kesederhanaan

Sambutlah hari yang agung ini dengan ketaatan dan kesederhanaan, tidak mubadzir dan melampaui batas; baik dalam hal makanan, pakaian atau yang lainnya. Allah berfirman,

وَلاَتُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينَ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan, dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS Al Isra’:26-27).

Dalam ayat lain, Allah berfirman,

يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS Al An’am:31).

Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan itu. Hindarilah perbuatan dosa dan maksiat pada hari yang suci dan agung ini.

Semoga kita termasuk hamba yang bertaqwa dan memperoleh ampunan setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa. Jangan lupa pula mengerjakan puasa Syawal enam hari, untuk memperoleh kesempurnaan dari amal puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka seolah ia telah berpuasa setahun penuh. [30]

Demikianlah beberapa Sunnah Nabi yang dapat kami ketengahkan pada kesempatan ini. Semoga kita dapat mengamalkannya.

[Majalah As Sunnah 08/VII-1424H-2003M]

[1] Silakan lihat Majmu' Fatawa 24/179-183 dan Subulus Salam II/141.

[2] Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa', halaman 143 no. 428.

[3] Diriwayatkan oleh Al Faryabi dalam kitab Ahkamul 'Iedain no. 18.

[4] Diriwayatkan oleh Imam Asy Syafi'i dalam Musnad-nya I/118-119.

[5] Al Istidzkar VII/11.

[6] Al Majmu' I/7.

[7] Hadits riwayat Al Bukhari 948 dan Muslim 2068.

[8] Al Mughni II/228.

[9] Diriwayatkan oleh Al Harits dalam Musnad-nya, sebagaimana disebutkan dalam Bughyatul Bahits I/323, no. 207.

[10] Hadits riwayat Al Bukhaari 953.

[11] Hadits riwayat Ibnu Hibban 2814 dan Al Hakim I/294.

[12] Lihat Fathul Bari II/448.

[13] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf 5734 dan Ibnul Mundzir dalam Al Ausath IV/254.

[14] Hadits-hadits di atas diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari 324 dan Muslim 890.

[15] Hadits riwayat Al Bukhari 977.

[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5786 dan Ibnul Mundzir dalam Al Ausath IV/262-263 dengan sanad shahih.

[17] Diriwayatkan oleh Al Faryabi dalam Ahkamul 'Iedain no. 27 dengan sanad hasan sampai kepada Az Zuhri.

[18] Hadits riwayat At Tirmidzi II/418.

[19] Hadits riwayat At Tirmidzi II/410 dan Ibnu Majah 1296.

[20] Ahkamul 'Iedain no. 53.

[21] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5626 dengan sanad shahih.

[22] Silakan lihat Fathul Bari IX/33.

[23] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5645 dengan sanad shahih.

[24] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubra III/316 dengan sanad shahih.

[25] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5649 dengan sanad shahih.

[26] Hadits riwayat Al Bukhari 986.

[27] Majmu' Fatawa 26/134.

[28] Al Muntaqa I/322.

[29] Su'alat Abu Dawud halaman 61.

[30] Hadits riwayat Muslim 1984.

Seputar Lailatul Qadar (Beberapa Kekeliruan Kaum Muslimin)


Berikut ini, kami ketengahkan sebuah karya tulis perihal beberapa kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin berkaitan dengan Lailatul Qadar. Makalah yang ditulis oleh Syaikh Masyhur bin Hasan, kami terjemahkan dari Al Ashalah, Edisi 3/15 Sya’ban 1413 H halaman 76-78. Semoga bermanfaat dan sebagai peringatan bagi kami serta segenap kaum muslimin. (Redaksi).

Kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa kaum muslimin dalam masalah puasa dan shalat tarawih sangat banyak; baik dalam masalah keyakinan, hukum atau perbuatan. Sebagian mengira, bahkan meyakini beberapa masalah yang bukan dari Islam, sebagai rukun Islam. Mereka mengambil sesuatu yang rendah (dalam urusan puasa dan lainnya), sebagai pengganti yang lebih baik, karena mengikuti orang-orang Yahudi. Padahal Nabi telah melarang menyerupai mereka. Bahkan beliau menekankan serta menegaskan, agar (kaum Muslimin) menyelisihi mereka.

Diantara kesalahan ini, ada yang khusus berkaitan dengan lailatul qadar. Kesalahan ini kami bagi menjadi dua bagian.

Pertama. Salah dalam berpandangan dan berkeyakinan. Diantaranya:

1. Keyakinan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu memiliki beberapa tanda yang dapat diraih oleh sebagian orang. Lalu orang-orang ini merangkai cerita-cerita khurafat dan khayal. Mereka mengaku melihat cahaya dari langit, atau mereka dibukakan pintu langit dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar, ketika beliau menyebutkan dalam Fathul Bari 4/266, bahwa hikmah disembunyikannya lailatul qadar, ialah agar timbul kesungguh-sungguhan dalam mencarinya. Berbeda jika malam qadar tersebut ditentukan, maka kesungguhan-sungguhan hanya sebatas pada malam tertentu itu.

Kemudian Ibnu Hajar menukil riwayat dari Ath Thabari bahwa beliau memilih pendapat (yang menyatakan, pent.), semua tanda itu tidaklah harus terjadi. Dan diraihnya lailatul qadar itu tidak disyaratkan harus dengan melihat atau mendengar sesuatu.

Ath Thabari lalu mengatakan, Dalam hal dirahasiakannya lailatul qadar, terdapat bukti kebohongan orang yang beranggapan, bahwa pada malam itu akan ada hal-hal yang dapat terlihat mata, apa yang tidak dapat terlihat pada seluruh malam yang lain. Jika pernyataan itu benar, tentu lailatul qadar itu akan tampak bagi setiap orang yang menghidupkan malam-malam selama setahun, utamanya malam-malam Ramadhan.

2. Perkataan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat (sudah tidak ada lagi, pent).

Al Mutawalli, seorang tokoh madzhab Syafi’i dalam kitab At Tatimmah telah menceritakan, bahwa pernyataan itu berasal dari kaum Rafidhah (Syi’ah). Sementara Al Fakihani dalam Syarhul Umdah telah menceritakan, bahwasanya berasal dari madzhab Hanafiyah.

Demikian ini merupakan gambaran rusak dan kesalahan buruk, yang dilandasi oleh pemahaman keliru terhadap sabda Rasulullah, ketika ada dua orang yang saling mengutuk pada lailatul qadar,

إِنَّهَا رُفِِعَتْ

Sesungguhnya lailatul qadar itu sudah terangkat

Pendalilan (kesimpulan) ini terbantah dari dua segi.

- Para ulama mengatakan, yang dimaksud dengan kata terangkat” yaitu terangkat dari hatiku, sehingga aku lupa waktu pastinya; karena sibuk dengan dua orang yang bertengkar ini.

Dikatakan juga (maksud kata terangkat, pent.), yaitu terangkat barakahnya pada tahun itu. Dan maksudnya, bukanlah lailatul qadar itu diangkat sama sekali. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang dikeluarkan Imam Abdur Razaq dalam Mushannaf-nya 4/252, dari Abdullah bin Yahnus, dia berkata, Aku berkata kepada Abu Hurairah,‘Mereka menyangka, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat’,Abu Hurairah berkata, Orang yang mengatakan hal itu telah berbuat bohong.

- Keumuman hadits yang mengandung dorongan untuk menghidupkan malam qadar dan penjelasan tentang keutamaannya.

Seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, Nabi bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang shalat pada lailatul qadar karena iman dan karena mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat.

Imam Nawawi t mengatakan, Ketahuilah, bahwa lailatul qadar itu ada. Dan lailalatul qadar itu terlihat. Dapat dibuktikan oleh siapapun yang dikehendaki dari keturunan Adam, (pada) setiap tahun di bulan Ramadhan, sebagaimana telah jelas melalui hadits-hadits ini, dan melalui berita-berita dari orang shalih tentang lailatul qadar. Penglihatan orang-orang shalih tersebut tentang lailatul qadar tidak bisa dihitung.

Saya (Syaikh Masyhur) mengatakan: Ya, kemungkinan diketahuinya lailatul qadar itu ada. Banyak tanda-tanda yang telah diberitahukan oleh Nabi , bahwa lailatul qadar itu, adalah satu malam diantara malam-malam Ramadhan. Dan mungkin, demikian ini maksud perkataan Aisyah pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dan beliau menshahihkannya,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا

Aku Katakan, Wahai Rasulullah, jika aku mengetahui (adanya) malam itu (sebagai) lailatul qadar, apa yang kuucapkan pada malam itu?

Dalam hadits ini -sebagaimana dikatakan Imam Syaukani dalam Nailul Authar 3/303- terdapat bukti, kemungkinan lailatul qadar dapat diketahui dan (juga bukti, pent.) tentang tetap adanya malam itu.

Az Zurqani mengatakan dalam syarah Muwaththa’ 2/491,Barangsiapa yang menyangka, bahwa makna yang terdapat pada hadits di atas, (yaitu) lailatul qadar sudah diangkat- yakni sudah tidak ada lagi sama sekali, maka dia keliru. Kalau seandainya benar seperti itu, tentulah kaum muslimin tidak diperintahkan untuk mencarinya. Hal ini dikuatkan oleh kelanjutan hadits,

عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ

Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) *) menjadi lebih baik bagi kalian. Karena dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, menyebabkan orang tertuntut untuk melaksanakan qiyamul lail selama satu bulan penuh. Hal ini berbeda jika pengetahuan tentang waktunya dapat diketahui secara jelas.

Kesimpulannya, lailatul qadar tetap ada sampai hari kiamat. Sekalipun penentuan tepatnya kejadian tersebut dirahasiakan, dalam arti, tetap tidak dapat menghilangkan kesamaran dan ketidak-jelasan tentang waktunya.

Meskipun pendapat yang rajih (terkuat), bahwa lailatul qadar ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan dalil-dalil menguatkan, bahwasanya dia adalah malam duapuluh tujuh, akan tetapi memastikannya dengan cara yang yakin merupakan perkara sulit. Allahu a’lam.

Kedua. Kesalahan-kesalahan dalam amal perbuatan dan tingkah laku.

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia pada lailatul qadar itu banyak sekali. Hampir tidak ada yang bisa selamat, kecuali yang dipelihara Allah. Diantaranya,

1. Mencari dan menyelidiki keberadaannya dan tersibukkan dengan mengintai tanda-tanda lailatul qadar, sehingga lalai beribadah ataupun berbuat taat pada malam itu.

Betapa banyak orang-orang yang shalat, kita lihat diantara mereka lupa membaca Al Qur’an, dzikr dan lupa mencari ilmu karena urusan ini. Engkau dapati salah seorang diantara mereka menjelang terbitnya matahari- memperhatikan matahari untuk mengetahui, apakah sinar matahari ini terik ataukah tidak?

Mestinya, orang-orang ini memperhatikan pesan yang terdapat pada sabda Nabi ,

عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ

Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) menjadi lebih baik bagi kalian.

Dalam hadits ini terdapat isyarat, bahwa malam itu tidak ditentukan. Para ahli ilmu menarik kesimpulan dari sabda Nabi, bahwa dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu lebih baik. Mereka mengatakan, Hikmah dalam hal itu, agar seorang hamba bersungguh-sungguh dan memperbanyak amal pada tiap-tiap malam dengan harapan agar bertepatan dengan lailatul qadar. Berbeda jika lailatul qadar itu (telah) ditentukan. Maka, sungguh amal itu hanya akan diperbanyak (pada) satu malam saja, sehingga ia luput dari beribadah pada malam lainnya, atau berkurang. Bahkan sebagian ahli ilmu mengambil satu faidah dari sabda Nabi tersebut, bahwa sebaiknya orang yang mengetahui lailatul qadar itu menyembunyikannya -berdasarkan dalil- bahwa Allah telah mentaqdirkan kepada NabiNya untuk tidak memberitakan ketepatan waktunya. Sedangkan semua kebaikan ada pada apa yang telah ditaqdirkan bagi Nabi. Maka, merupakan sunnah untuk mengikuti beliau dalam hal ini.

Dari uraian di depan, dapat diketahui kekeliruan orang-orang dalam giatnya mereka shalat secara khusus, atau beribadah secara umum pada malam ke duapuluh tujuh, dengan memastikan atau seakan memastikan, bahwa malam itu adalah lailatul qadar, kemudian meninggalkan shalat dan tidak bersungguh-sungguh berbuat taat pada malam-malam lainnya. Persangkaannya, bahwa mereka hanya akan mendapatkan ganjaran ibadah lebih dari seribu bulan ketika menghidupkan malam ini (malam duapuluh tujuh, pent.) saja.

Kekeliruan ini membuat banyak orang melampaui batas dalam berbuat taat pada malam ini. Anda bisa lihat, diantara mereka ada yang tidak tidur, bahkan tidak henti-hentinya shalat dengan memaksakan diri tanpa tidur. Bahkan mungkin ada sebagian yang shalat, lalu memperlama shalatnya, sementara dia berjuang keras melawan kantuknya. Dan sungguh, kami pernah melihat diantara mereka ada yang tidur dalam sujud.

Dalam hal ini, satu sisi merupakan pelanggaran terhadap petunjuk Rasulullah n yang melarang kita melakukan hal itu. Pada sisi lainnya, itu merupakan beban dan belenggu yang telah dihilangkan dari kita -berkat karunia dan nikmatNya.

2. Diantara kesalahan sebagian kaum muslimin pada malam ini, yaitu sibuk mengatur acara, menyampaikan ceramah. Sebagian lagi sibuk dengan nasyid-nasyid dan nyanyian puji-pujian, sehingga lalai berbuatan taat.

Anda bisa saksikan, ada orang yang begitu bersemangat, berkeliling ke masjid-masjid dengan menyampaikan berita terkini, serta bagaimana upaya pemecahannya. Itu dilakukan hingga menyebabkan pemanfaatan malam itu keluar dari apa yang dimaksudkan syari’at.

3. Diantara kekeliaruan mereka juga, yaitu mengkhususkan sebagian ibadah pada malam itu seperti shalat khusus lailatul qadar.

Sebagian lagi senantiasa mengerjakan shalat Tasbih secara berjama’ah tanpa hujjah. Sebagian lagi -pada malam ini- melaksanakan shalat hifzhul Qur’an, padahal tidak ada dasarnya.

Pelanggaran-pelanggaran dan kekeliruan yang berkaitan dengan lailatul qadar yang dilakukan banyak kaum muslimin- sangat beragam dan banyak sekali. Kalau kita kumpulkan dan kita selidiki, maka tentu pembicaraan ini menjadi panjang. Apa yang kami sampaikan disini, baru sebagian kecil saja. (Insya Allah) bermanfaat bagi penuntut ilmu, pendamba kebenaran dan pencari al haq.

*) [Syarah Shahih Muslim, Bab Fadlu Lailatil Qadar]

[Majalah As Sunnah Edisi 07/VII- Tahun 1424 H-2003M]


sumber copy Salafyoon.Net
Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI