Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Rabu, 08 Februari 2012

AKHLAK SALAF, AKHLAK MUKMININ DAN MUKMINAT

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz



Segala puji bagi Allah Rabbul 'Alamin, segala kebaikan teruntuk para muttaqin, shalawat dan salam tercurah bagi hamba-Nya, Rasul-Nya dan makhluk pilihan serta kepercayaan untuk menerima wahyu-Nya, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib Al-Makki Al-Madani. Demikian juga shalawat dan salam tercurah bagi para kerabat dan sahabat serta siapa saja yang meniti jejak di atas jalannya dan mengikuti petunjuknya hingga akhir zaman.

Amma ba'du.

ALLAH MENGUTUS MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SEBAGAI PEMBAWA HIDAYAH DAN DIENUL HAQ SERTA PENYEMPURNA AKHLAK

Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Al-Huda dan Dienul Haq. Al-Huda adalah khabar yang benar dan ilmu yang bermanfaat. Dienul Haq adalah syari'at dan hukum yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman :

"Artinya :Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama agama meskipun orang-orang musyrik benci". [Ash-Shaff : 9]

Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk jin dan manusia, untuk orang Arab dan non Arab, untuk laki-laki dan perempuan. Allah mengutusnya kepada seluruh penduduk dunia sebagai rahmatan (karunia) dan imaman (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa. Diutusnya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengajarkan dan memahamkan manusia tentang agama-Nya, menjelaskan penyebab keselamatan dan kebinasaan hidup di dunia dan di akhirat, Allah mengutusnya dengan Dienul Islam.

Allah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam". [Ali Imran : 19]

Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa hidayah dan Dienul Haq, yaitu dengan membawa kabar yang benar, ilmu yang bermanfaat, syari'at yang lurus serta hukum-hukum yang adil. Allah mengutusnya untuk menyeru kepada seluruh kebaikan dan mencegah kejahatan. Allah mengutusnya untuk menyeru kepada akhlak yang mulia dan pebuatan yang baik serta mencegah rendahnya akhlak dan buruknya amal perbuatan.

Allah berfirman :

"Artinya : Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan". [Saba' : 28]

Allah berfirman :

"Artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". [Al-Anbiya' : 107]

Allah berfirman :

"Artinya : Katakanlah : 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi ; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". [Al-A'raf : 158]


"Artinya : Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung". [Al-A'raf : 157]

ALLAH MENGUTUS MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SEBAGAI PEMBIMBING IBADAH KEPADANYA

Inilah kenyataan dien yang agung dan inilah keadaan Nabi yang mulia yang mendapat keutamaan dari Rabbnya. Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil 'alamin untuk jin dan manusia, untuk laki-laki dan wanita, untuk Arab dan non Arab. Bahkan dia diutus sebagai rahmat juga bagi mahluk melata, karena Allah perintahkan kepadanya agar berlaku baik, kasih sayang dan santun kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan bahwa diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada-Nya.

Allah berfirman :

"Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku". [Adz-Dzariyat : 56]

Maknanya : Melainkan agar mereka beribadah dengan ikhlas untuk-Ku, mengesakan Aku, mentaati perintah-Ku dan menjauhi larangan-Ku. Ini semua akan terwujud dengan pelaksanaan ibadah, yaitu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dengan harap-harap cemas (berharap karunia-Nya dan cemas terhadap adzab-Nya), dengan mengikhlaskan (niat) kepada-Nya, atas dasar iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dengan membenarkan khabar-Nya (Al-Qur'an) dan khabar Nabi-Nya (Al-Hadits) serta memelihara batas-batas aturan-Nya.

Allah memerintahkan hal itu dengan firman-Nya :

"Artinya : Hai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yang telah Menciptakanmu dan orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa". [Al-Baqarah : 21]

Perintah untuk ibadah ini bersifat menyeluruh, yaitu untuk laki-laki dan wanita, jin dan manusia serta Arab dan non Arab :

Allah berfirman :

"Artinya : Beribadahlah kepada Allah dan janganlah engkau menserikatkan Allah dengan sesuatu". [An-Nisaa' : 36]

Allah berfirman :

"Artinya : Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali kepada-Nya ..." [Al-Isra' : 23]

ALLAH MENGUTUS MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALAM SEBAGAI PENUNJUK JALAN LURUS

Allah berfirman :

"Artinya : Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa". [Al-An'am : 153]

Dia telah mengajarkan kepada umat manusia sebagaimana tertera dalam Surat Al-Fatihah, yaitu "Al-Hamdu" maknanya ; hendaklah mereka memohon hidayah kepada Allah agar Dia memberi petunjuk shirathal mustaqim. Adapun shirathal mustaqim adalah agama-Nya, yaitu agama yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia adalah Al-Islam, Al-Iman, hidayah, taqwa dan kebaikan.

Allah berfirman :

"Artinya : Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha pemurah lagi Maha Pengasih. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan". [Al-Fatihah : 1-4]

Ini semua adalah sanjungan bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sekaligus merupakan pengarahan bagi hamba agar mengakui bahwa sesungguhnya Dia adalah "Al-Ma'bud (yang berhak diibadahi)". dengan sebenar-benarnya. Dia pula tempat memohon pertolongan dalam seluruh urusan. Kemudian Allah mengajarkan kepada mereka agar mengucap :

"Artinya : Tunjukkanlah kami jalan yang lurus".

Ketika manusia memuji dan menyanjung-Nya serta mengakui bahwa dirinya adalah hamba Allah dan bahwa Allah adalah tempat memohon pertolongan, maka Allah mengajarkan mereka agar mengucapkan :

"Artinya : Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat". [Al-Fatihah : 5 -7]

Pengertian Ash-Shirath Al-Mustaqim adalah Dienullah, yaitu Al-Islam, Al-Iman, ilmu yang bermanfaat serta amal yang shalih. Ia adalah jalannya orang-orang yang mendapat nikmat dari kalangan ahlul ilmi dan amal, mereka adalah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta pendahulu dari kalangan Rasul beserta pengikutnya.

Inilah shirathal mustaqim, jalan-jalan orang yang Allah telah karuniakan nikmat kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang mengerti hakekat kebenaran dan beramal dengannya, sebagaimana firman Allah :

"Artinya : Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi, para shidiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya". [An-Nisaa : 69]

Inilah shirathal mustaqim, jalan para rasul dan para pengikut mereka (semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka) pada khususnya adalah jalan Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia. Berkenan dengan ini kita diperintahkan agar mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berjalan diatas manhajnya dan manhaj yang ditempuh para sahabat Radhiyallahu anhum (semoga Allah meridhai mereka dan meridhai ilmu dan amalnya).

Allah berfirman :

"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [At-Tubah : 100]

Yang dimaksud shirath adalah dienullah, ia merupakan wujud apa yang Allah utus bagi Rasul-Nya (risalah Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam) yang berupa ilmu dan amal, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Ia juga merupakan al-huda dan dienul haq yang dengannya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus. Ash-Shirath adalah apa yang ada pada kitab Allah Jalla wa 'Ala. inilah shirath yang agung, ia merupakan pelaksanaan perintah-perintah Allah dan upaya menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an yang agung dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang terpercaya.

Oleh karena itu, maka wajiblah bagi setiap pemeluk Islam agar mendalami Kitabullah, dan mempelajari Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta istiqamah padanya. Di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, tercantum penjelasan tentang perintah-perintah dan larangan yang dibawa dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alihi wa sallam. Dan di dalamnya terkandung pula penjelasan tentang akhlak mulia yang dipuji dan disanjung Allah Ta'ala sebagai akhlak mukminin dan mukminat serta memuliakan sifat-sifat dan amal perbuatan mereka yang baik.


[Disalin dari kitab Akhlaqul Mukminin Wal Mukminat, edisi Indonesia Akhlak Salaf Mukminin dan Mukminat, oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Pustaka At-Tibyan]

AKHLAK SALAF CERMINAN AKHLAK AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz


Barangsiapa merenungi Kitabullah dan senantiasa berhubungan dengannya, maka akan mendapatkan kemuliaan akhlak. Dan barangsiapa yang mengkaji sunnah-sunnah Nabi, yaitu perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hadits-haditsnya, akan mendapatkan dan memahami kemuliaan akhlak dan keagungannya. Untuk itulah Allah kembali menegaskan kemuliaan akhlak itu pada akhir Surat Al-Furqan.

Allah berfirman :

"Artinya : Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang yang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka. Dan orang-orang yang berkata : 'Ya Rabb kami, jauhkan adzab jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal'. Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan apabila orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah Ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian ini, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)". [Al-Furqan : 63-68]

Maksudnya, barangsiapa menyekutukan Allah atau membunuh jiwa dengan tanpa alasan, atau melakukan perzinaan, maka akibat perbuatannya itu dia akan mendapatkan dosa, yaitu siksaan yang besar. Lalu Allah menjelaskannya dengan ayat-ayat berikut ini :

"Artinya : (Yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina". [Al-Furqan : 69]

Mereka berada dalam siksaan, kecuali :

"Artinya : Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya". [Al-Furqan : 70-71]

Ini semua cerminan dari akhlak Ahlul Iman laki-laki dan wanita. Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya :

"Artinya : Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu". [Al-Furqan : 72]

"Laa yasyhadun" (tidak memberikan persaksian) maksudnya yaitu "la yahdhurun" (tidak melakukan). Adapun yang dimaksud dengan "Az-Zuur" (palsu, dusta) yaitu kebathilan dan kemungkaran dari berbagai bentuk kemaksiatan dan kekafiran. Ahlul Iman adalah mereka mereka yang tidak memberikan persaksian palsu, bahkan mereka adalah orang yang mengingkari serta memeranginya.

Firman Allah

"Artinya : Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya". [Al-Furqan : 72]

Lebih dari itu, Ahlul Iman akan menolak perbuatan yang tidak mendatangkan faedah, sebagaimana firman Allah berikut :

"Artinya : Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata : 'Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu..." [Al-Qashash : 55]

"Artinya : Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah mengahadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta". [Al-Furqan : 73]

Bahkan mereka mengahadapinya dengan khusyuk serta menerima sepenuhnya terhadap Allah dan sekaligus mengagungkan-Nya. Inilah sifat mukminin dan mukminat apabila diingatkan dengan ayat-ayat Allah mereka nampak khusyuk dan lembut hatinya serta mengagungkan Rabbnya bahkan menangis lantaran rasa takut kepada-Nya. Mereka melakukan itu karena mengharap pahala dari-Nya dan takut akan siksa-Nya.

Allah berfirman :

"Artinya : Dan orang-orang yang berkata : 'Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 74].

Ini semua merupakan sifat-sifat mukminin dan mukminat, mereka adalah Ibadurrahman (Hamba-hamba Allah) yang hakiki lagi sempurna.

Qurratul 'Ain (penyejuk mata) adalah, manakala engkau melihat anak-anakmu, baik laki-laki atau perempuan semuanya melaksanakan amal shalih. Kata-kata "al-walad" secara umum mencakup laki-laki dan wanita. Anak laki-laki sering dipanggil dengan sebutan ibnu, sedang perempuan dipanggil dengan bintu.

Demikian pula kata-kata "dzurriyah" yang mencakup laki-laki dan juga perempuan. Hal ini sebagai mana tersebut dalam hadist :

"Artinya : Apabila anak Adam (manusia) meninggal, terputus amalnya kecuali tiga perkara ; shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak shalih yang mendo'akannya".

Anak atau al-walad, termasuk di dalamnya adalah anak laki-laki atau perempuan, hal ini sebagaimana penjelasan di depan. Allah mempertegas hal ini dalam firman-Nya :

"Artinya : Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)...." [Al-Furqan : 74]

Yakni, dzurriyah (generasi) yang menyejukkan pandangan mata. Hal itu disebabkan karena kondisi anak keturunan yang taat kepada Allah dan istiqamah di atas syari'at-Nya. Demikianlah kondisi kehidupan suami istri, seorang suami misalnya, apabila melihat istrinya taat kepada Allah, maka pastilah sejuk matanya (senang hatinya). Demikian pula istri, apabila melihat suaminya taat kepada Allah tentulah senang hatinya. Ini terjadi manakala istri adalah sosok wanita mukminah. Suami yang shalih adalah penyejuk mata bagi istrinya, demikian pula istri shalihah adalah penyejuk mata bagi suaminya yang mukmin. Generasi yang baik (dzuriyatan thayyibah) adalah penyejuk mata bagi ayahnya, ibunya dan seluruh kerabat mukminin dan mukminat.

Allah berfirman :

"Artinya : Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 74]

Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, yakni ; imam dalam kebaikan yang mampu membimbing manusia. Kemudian Allah menegaskan balasan yang bakal diperoleh mereka, yaitu :

"Artinya : Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah)". [Al-Furqan : 75]

Ghurfah adalah jannah. Disebut ghurfah karena ketinggiannya, sebab ia berada di tempat yang sangat tinggi, yaitu di atas langit dan di bawah 'Arsy. Jannah itu berada di tempat yang sangat tinggi, oleh karena itu Allah berfirman :
"Artinya : Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah)". [Al-Furqan : 75]

Ghurfah (balasan yang tinggi) yakni, al-jannah. Hal ini diperoleh karena kesabaran mereka (bimaa shabaruu). Maksudnya adalah kesabaran dalam mentaati Allah, kesabaran menahan yang diharamkan Allah dan kesabaran atas musibah yang menimpa. Ketika mereka menerima dengan sabar, maka Allah membalasi mereka dengan al-jannah yang tinggi dan agung. Manakala mereka sabar menunaikan kewjibannya terhadap Allah, sabar terhadap yang diharamkan Allah, sabar menerima musibah yang memedihkan, misalnya ; sakit, kemiskinan dan selainnya, maka Allah akan membalasi mereka dengan sebaik-baik balasan.

Allah berfirman :

"Artinya : Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Jannah itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman". [Al-Furqan : 75-76]

Inilah cerminan sifat-sifat Ahlul Iman yang utuh, baik kalangan laki-laki atau wanita. Mereka pula yang Ahlus Sa'adah wan Najah (pemilik kemuliaan dan kesuksesan). Di dalam Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta'ala banyak menyebutkan sifat-sifat mukminin dan mukminat serta akhlak mereka yang mulia. Di antaranya sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah, Allah berfirman :

"Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". [Al-Baqarah : 177]

Inilah keadaan orang-orang yang bertaqwa dari baik laki-laki maupun perempuan. Allah telah menjelaskan sifat-sifat mereka dalam ayat yang mulia ini.

"Artinya : ..... akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah ..".

Makna ayat tersebut ialah : Akan tetapi, pemilik kebajikan yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Iman kepada Allah dalam pengertian, Allah sebagai Rabb dan Ilah yang Maha Suci lagi Maha Agung. Mereka juga mengimani Allah sebagai tempat pengabdian yang sebenar-benarnya, bahwa sesungguhnya Allah adalah Dzat Pencipta, dan Dzat Pemberi rezeki. Dialah yang Maha Suci dan disifati dengan Asma'ul Husna dan sifat-sifat yang tinggi. Tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak ada tandingan bagi-Nya. Dialah yang Maha Sempurna dalam dzat, dalam sifat-sifat, dalam nama-nama dan dalam perbuatan-Nya. Dialah dzat yang tidak terdapat pada-Nya kekurangan dari berbagai seginya, bahkan Dialah yang mempunyai kesempurnaan yang mutlak dari berbagai segi.

Allah berfirman :

"Artinya : Katakanlah :'Diallah Allah, Yang Maha Esa'. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". [Al-Ikhlas : 1-4]

Beriman kepada Hari Akhir, artinya ialah ; beriman kepada hari kebangkitan setelah kematian. Pada hari itu, dunia lenyap dan datang berganti dengan hari akhir, yaitu Hari Kiamat. Pada hari itu, kiamat pasti datang dan hamba-hamba Allah pasti akan dibangkitkan sebagaimana firman-Nya :

"Artinya : Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat". [Al-Mukminun : 16-17]

"Artinya : Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya ; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur". [Al-Hajj : 7]

Yaumul Akhir adalah, hari perhitungan dan pembalasan, jannah dan naar, pemberian buku catatan dari sebelah kanan atau sebelah kiri, diangkatnya timbangan dan ditimbangnya perbuatan-perbuatan. Setelah semuanya usai, maka manusia akan menuju dua tempat, yaitu jannah atau naar. Adapun kaum mukminin maka mereka memasuki jannah dengan rasa bahagia dan mulia. Tetapi orang-orang kafir akan memasuki naar dengan adzab yang menghinakan. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Berkenan dengan keimanan terhadap Malaikat, maka kita mengimani bahwa Malaikat adalah makhluk yang taat kepada Allah, dia adalah pasukan Allah dan utusan penghubung antara Allah dengan hamba-hamba-Nya dalam menyampaikan perintah dan larangan-Nya.

Allah menjelaskan sifat Malaikat dalam firman-Nya.

"Artinya : Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". [At-Tahrim : 6]

Allah mencipta Malaikat dari cahaya dan mereka senantiasa melaksanakan perintah-perintah-Nya.

Allah berfirman :

"Artinya : Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimulyakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya". [Al-Anbiya' : 26-28]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman berkenan dengan mereka (malaikat) :

"Artinya : Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". [At-Tahrim : 6]

Berkenan dengan iman kepada Al-Kitab, maka maksudnya adalah iman kepada kitab yang diturunkan dari langit. Yang paling agung di antara kitab yang ada adalah Al-Qur'an Al-Karim. Para Ahlul Iman mempercayai semua kitab telah Allah turunkan kepada para nabi terdahulu. Kitab yang terakhir, teragung, termulia adalah Al-Qur'an Al-Adzim yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Inilah konsekuensi sebagai mukminin, mereka mengimani semua para nabi dan rasul serta membenarkannya. Nabi yang paling akhir adalah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dialah penutup para nabi dan sekaligus nabi yang paling afdhal.

Disamping itu, seorang mukmin dituntut menyedekahkan harta yang dicintainya. Dan inilah makna firman Allah :

"Artinya : Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya ....". [Al-Baqarah : 177]

Para ahlul iman, mereka menginfakkan harta yang dicintainya kepada fuqara dan masakin kerabat dekat atau selainnya, berinfak di jalan kebaikan dan jihad terhadap musuh-musuh Allah. Beginilah ahlul iman dan kebaikan, mereka menginfakkan harta bendanya di jalan kebaikan.

Pada ayat lain Allah juga berfirman :

"Artinya : Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka". [As-Sajdah : 16].


"Artinya : Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar". [Al-Hadid : 7].

Pada ayat lain, yaitu Surat Al-Baqarah : 177, Allah berfirman :

"Artinya : ... dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya ....". [Al-Baqarah : 177]

Makna ayat tersebut ialah ; mereka menginfakkan harta mereka untuk beberapa bentuk kebaikan, yaitu ; untuk kerabat dekat, anak-anak yatim, orang-orang fakir, orang-orang miskin bukan dari kerabat dekat dari kalangan orang-orang lemah, untuk Ibnu Sabil, yaitu orang yang melewati negeri asing yang tidak memiliki kecukupan nafkah. Sa'ilun atau orang yang meminta-minta, yaitu orang yang meminta-minta kepada manusia lantaran kebutuhan yang mendesak atau karena kemiskinannya. Bisa juga berarti peminta-minta yang belum diketahui keadaannya. Maka kepada mereka perlu dikasih bantuan guna menutup keadaan mereka yang kekurangan.

Allah berfirman :

"Artinya : ... memerdekakan hamba sahaya ....." [Al-Baqarah : 177]

Maknanya : Menginfakkan hartanya untuk memerdekakan hamba sahaya atau memerdekakan budak, perempuan-perempuan, memerdekakan atau menebus para tawanan.

Kemudian Allah berfirman :

"Artinya : ...menegakkan shalat dan membayar zakat ...."

Maknanya : Sesungguhnya orang-orang beriman itu menegakkan shalat dan membayar zakat. Menjaga shalat tepat waktunya sebagaimana disyari'atkan Allah dan membayar zakat sebagaimana yang diatur oleh Allah.

Allah berfirman :

"Artinya : Dan orang-orang yang memenuhi janjinya apabila berjanji".
(Yaitu apabila berjanji memenuhi janji itu dan tidak udzur terhadap janjinya).

Kemudian Allah berfirman pula :

"Artinya : Dan orang-orang yang sabar dalam al-ba'su, adh-dhara' dan hina al-ba'si".

Artinya sabar dalam keadaan perang.

Allah memuji mereka dalam firman-Nya :

"Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang benar dan mereka itu adalah orang-orang yang bertaqwa". [Al-Baqarah : 177]

Mereka itu adalah Ahlush Shidqi (orang yang benar) karena telah mewujudkan keimanannya dengan amal yang baik dan mewujudkan ketaqwaannya kepada Allah Azza wa Jalla.

Disebutkan pula sifat-sifat lain dari sifat Ahlus Shidqi sebagaimana tertera dalam Surat Al-Anfal, Al-Bara'ah dan Surat Al-Mukminun.

Allah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya". [Al-Mukminun : 1-2]

Pada tempat yang lain, Allah menyebutkan sifat-sifat orang beriman dan kemuliaan akhlaknya. Barangsiapa mengamati Al-Qur'an Al-Karim dan senantiasa berhubungan dengannya, niscaya akan mendapatkan sifat-sifat tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran".[Shad : 29].

Allah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus". [Al-Isra : 9]

"Artinya : Katakanlah ; 'Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman". [Fushilat : 44].

"Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci". [Muhammad : 24].

[Disalin dari buku Akhlaqul Mukminin wal Mukminat dengan edisi Indonesia Akhlak Salaf Mukminn & Mukminat, oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz, hal 17-27, Terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Ihsan]

ADAB-ADAB IKHTILAF

Oleh Salim bin Shalih al-Marfadi

Islam telah meletakkan sendi-sendi adab yang tinggi bagi seorang muslim yang berjalan diatas manhaj Sunnah, dalam pergaulannya bersama saudara-saudaranya ketika berselisih faham dengan mereka dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Cukuplah kiranya, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pembawa rahmat dan petunjuk.

"Artinya : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia". [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam 'Adabul Mufrad' dan Imam Ahmad. Lihat 'Silsilah Ash-shahihah 15']

Di antara adab-adab itu ialah :

[1]. Lapang Dada Menerima Kritik Yang Sampai Kepada Anda Untuk Membetulkan Kesalahan, Dan Hendaklah Anda Ketahui Bahwa Ini Adalah Nasehat Yang Dihadiahkan Oleh Saudara Seiman Anda.

Ketahuilah ! Bahwa penolakan anda terhadap kebenaran dan kemarahan anda karena pembelaan terhadap diri adalah kesombongan -A'aadzanallah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain". [Hadits Riwayat Muslim]

Banyak sekali contoh sekitar adab yang mulia ini yang telah dijelaskan oleh para salafus shalih, dianaaranya adalah :

Kisah yang diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Bar, beliau berkata : "Banyak orang telah membawa berita kepada saya, berasal dari Abu Muhammad Qasim bin Ashbagh, dia berkata : "Ketika saya melakukan perjalanan ke daerah timur, saya singgah di Qairawan. Disana saya mempelajari hadits Musaddad dari Bakr bin Hammad. Kemudian saya melakukan perjalanan ke Baghdad dan saya temui banyak orang (Ulama) disana. Ketika saya pergi (dari Baghdad), saya kembali lagi kepada Bakr bin Hammad (di Qairawan-red) untuk menyempurnakan belajar hadits Musaddad.

Suatu hari saya membacakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dihadapan beliau (untuk mempelajarinya) :

"Artinya : Sungguh telah datang satu kaum dari Muldar yang (Mujtaabin Nimar)"
Beliau (Bakr bin Hammad) berkata kepadaku "Sesungguhnya yang benar adalah Mujtabits Tsimar. Aku katakan padanya Mujtaabin Nimar, demikianlah aku membacanya setiap kali aku membacakannya di hadapan setiap orang yang aku temui di Andalusia dan Irak"

Beliau berkata kepadaku : "Karena enngkau pergi ke Irak, maka kini engkau (berani) menentang aku dan menyombongkan diri dihadapanku ?" Kemudian dia berkata kepadaku (lagi) : "Ayolah kita bersama-sama bertanya kepada syaikh itu (menunjuk seorang syaikh yang berada di Masjid), dia punya ilmu dalam hal seperti ini"

Kami pun pergi ke syaikh tersebut dan kami menanyainya tentang hal ini.

Beliau berkata : "Sesungguhnya yang benar adalah [Mujtaabin Nimar]" seperti yang aku baca. Artinya adalah : Orang-orang yang memakai pakaian, bagian depannya terbelah, kerah bajunya ada di depan. Nimar adalah bentuk jama' dari Namrah. Bakr bin Hammad berkata sambil memegangi hidungnya : "Aku tunduk kepada al-haq, aku tunduk kepada al-haq !" lalu ia pergi. [Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal.123 yang diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]

Saudaraku, cobalah anda perhatikan -semoga Allah senantiasa menjaga anda- betapa menakjubkan sikap Adil ini ! Alangkah perlunya kita pada sikap adil seperti sekarang ! Akan tetapi mana mungkin hal itu terjadi kecuali bagi orang yang ikhlas niatnya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah dia Imam Malik rahimahullah (pada masa hidupnya-red) pernah berkata : "Tidak ada sesuatupun yang lebih sedikit dibandingkan dengan sifat adil pada zaman sekarang ini" [Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal . 120 yang diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]

Maka apa lagi dengan zaman sekarang ini yang sudah demikian berkecamuknya hawa nafsu!! -Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan-.

[2]. Hendaklah Memilih Ucapan Yang Terbaik Dan Terbagus Dalam Berdiskusi Dengan Sesama Saudara Muslim.

Allah berfirman.

"Artinya : Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia" [Al-Baqarah : 83]

Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat dibanding akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah murka kepada orang yang keji dan jelek (akhlaqnya)". [Hadits Riwayat Tirmidzi).

[3]. Hendaklah Diskusi Yang Dilakukan Terhadap Saudara Sesama Muslim, Dengan Cara-Cara Yang Bagus Untuk Menuju Suatu Yang Lebih Lurus.

Yang menjadi motif dalam berdiskusi hendaklah kebenaran, bukan untuk membela hawa nafsu yang sering memerintahkan pada kejelekan. Akhlak anda ketika berbicara terletak pada keikhlasan anda. Jika diskusi (tukar fikiran) sampai ketingkat adu mulut, maka katakanlah : "salaam/selamat berpisah !" dan bacakanlah kepadanya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Saya adalah pemimpin di sebuah rumah di pelataran sorga bagi orang yang meninggalkan adu mulut meskipun ia benar" [Hadits Riwayat Abu Daud dari Abu Umamah al-Bahily]

Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar menyebutkan dari Zakaria bin Yahya yang berkata : "Saya telah mendengar Al-Ashma'i berkata : "Abdullah bin Hasan berkata : Adu mulut akan merusak persahabatan yang lama, dan mencerai beraikan ikatan (persaudaraan) yang kuat, minimal (adu mulut) akan menjadikan mughalabah (keinginan untuk saling mengalahkan) dan mughalabah adalah sebab terkuat putusnya ikatan persaudaraan. [Mukhtasyar Jaami' Bayan al-Ilmi wa Fadlihi hal. 278]

Dari Ja'far bin Auf, dia berkata : saya mendengar Mis'ar berkata kepada Kidam, anaknya :

Kuhadiahkan buatmu wahai Kidam nasihatku
Dengarlah perkataan bapak yang menyayangimu
Adapun senda gurau dan adu mulut, tinggalkanlah keduanya
Dia adalah dua akhlak yang tak kusuka dimiliki teman
Ku pernah tertimpa keduanya lalu akupun tak menyukainya
Untuk tetangga dekat ataupun buat teman

Para salaf shalih telah membuat permisalan yang sangat cemerlang tentang etika ikhtilaf (perselisihan pendapat), diantaranya adalah :

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hushain bin Abdurrahman, dia berkata :

"Saya berada di tempat Said bin Jubair, lalu ia berkata : "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam ?
Saya jawab : "Saya, tetapi ketahuilah bahwa saya tidak dalam keadaan shalat, saya kena sengat binatang berbisa!".
Sa'id bertanya : "Apa yang kau perbuat ?"
Saya menjawab : "Saya melakukan ruqyah (baca-bacaan sebagai obat)"
Said bertanya : "(Dalil) apakah yang membawamu untuk melakukan itu ?"
Saya jawab : "Sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh As-Sya'bi".
Sa'id berkata :"Apa yang diceritakan Asy-Sya'bi kepadamu ?"
Saya jawab : "Dia bercerita kepada kami dari Buraidah bin Al-Hushain bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada ruqyah kecuali (pada penyakit yang timbul) dari mata (orang yang dengki) dan bisa (racun) hewan"

Dia berkata : "Sungguh bagus orang yang berpedoman pada apa (riwayat) yang ia dengar, akan tetapi Ibnu Abbas menceritakan kepada kami bahwa .....(sampai akhir hadits)"

Perhatikanlah adab mulia yang dimiliki pewaris ilmunya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini, ia tidak memaki Hushain bin Abdurrahman (orang yang berselisih dengannya), bahkan menganggapnya baik karena Hushain mengamalkan dalil yang ia ketahui. Kemudian baru setelah itu. Sa'id bin Jubair menjelaskan hal yang lebih utama (untuk dilakukan) dengan cara yang lembut dan dikuatkan dengan dalil.

Akhirnya melalui hadits ini kita dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

[1] Ikhtilaf, meskipun ia sudah menjadi perkara yang ditakdirkan oleh Allah akan tetapi wajib bagi kita untuk menjauhinya dan tidak punya keinginan untuk berikhtilaf pada suatu yag boleh selama kita masih ada jalan untuk menghindarinya.

[2] Perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad padanya, memiliki beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh ilmu dan keikhlasan bukan diatur oleh perkiraan dan kemauan hawa nafsu.

[3] Ahlu Sunnah memiliki manhaj dalam memahami ikhtilaf yang diambil dari Al-Qur'an dan Sunnah. Diantara adab-adabnya adalah mengikuti akhlak para salaf shalih dalam pergaulan dengan sesama mereka ketika terjadi ikhtilaf.

[4] Tidak boleh bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menuduh saudaranya memisahkan diri dari manhaj Ahlus Sunnah kecuali berdasarkan ilmu dan keadilan, bukan berdasarkan kebodohan dan kezhaliman.

[5] Tidak mencampur adukkan antara masalah-masalah ijtihadiyah dengan masalah iftiraq (perpecahan) demikian juga tidak boleh mencampur-adukkan antara orang yang membuat bid'ah juz'iyah dengan orang yang meninggalkan sunnah dengan bid'ah kulliyah.

[Demikianlah, semoga tulisan terjemahan dari majalah al-Ashalah ini dapat memberikan tambahan pemahaman kepada pembaca sekalian tentang Fiqh Ikhtilaf atau perbedaan pendapat]

[Disadur dari Majalah Al-Ashalah tgl.15 Dzul Hijjah 1416H, edisi 17/Th III hal. 78-89, karya Salim bin Shalih Al-Marfadi, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M, hal. 30-32 Adab-AdaB Ikhtilaf merupakan bagian ketiga dari tiga bagian, diterjemahkan oleh Ahmad Nusadi.]

MACAM-MACAM IKHTILAF ke.2

Halaman ke-2 dari 2


Sekalipun demikian, persoalannya tidaklah mutlak begitu yaitu dapat berijtihad untuk membid'ahkan siapa saja yang dikehendaki dengan hujjah ijtihad yang diperbolehkan. Oleh karena itu ada beberapa ketentuan untuk ijitihad ini, yaitu :

[1] Hendaknya dalam masalah yang di ijtihad-kan, tidak ada dalil yang qath'iyuts tsubut (qath'i adanya sebagai dalil) dan qath'iyud-dalalah (qath'i penunjukannya/dalalahnya), sebab tidak boleh berijtihad dalam menentang nash. Saya buatkan satu contoh mengenainya dengan firman Allah.

"Artinya : Tetapi jika ia tidak menemukan (binanatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna" [Al-Baqarah : 196].

Ayat ini adalah dalil yang qath'iyus-tsubut (qath'i adanya/tetapnya sebagai dalil) karena ia termasuk Al-Qur'an al-Karim. Dan juga qath'iyud dalalah (qath'i penunjukkannya/dalalahnya) tentang wajibnya puasa sepuluh hari bagi orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (denda) padahal ia ber-tamattu' (mendahulukan umrah daripada haji).

[2] Hendaknya dalil tentang permasalahan itu mengandung beberapa kemungkinan. Contoh yang bekaitan dengan dalil zhanniyuts-tsubut (dalil yang masih bersifat zhann.dipertanyakan keadaannya sebagai dalil), ialah pendapat sebagian ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa mustahab (sunnah) hukumnya mengerak-gerakkan jari ketika tasyahhud. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tambahan "menggerak-gerakkan (jari)" dalam hadits itu adalah syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat). Contoh yang berkaitan dengan dalil zhanniyud-dalalah (penunjukkannya sebagai dalil masih bersifat dugaan/dalalahnya tidak qath'i) ialah firman Allah. :

"Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru" [Al-Baqarah : 228].

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al-Qar'u adalah suci, sementara yang lain berpendapat bahwa Al-Qar'u adalah haid. Kedua pendapat tersebut mempunyai kemungkinan benar-benar secara bahasa.

[3] Hendaknya ijtihad yang dilakukan tidak dalam masalah yang telah ijma' (disepakati) atau tidak dalam masalah yang telah baku sebagai manhaj ilmiyah Ahlu Sunnah.

[4] Hendaknya hukum atas permasalahan itu bersumber dari seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka tentang ushul fiqh.

[5] Hendaknya kesimpulan hukum dibangun berdasarkan metode Ahlus Sunnah dalam cara pandang maupun cara mengambil dalil. Di antara metode itu adalah bahwa dalam pendapat yang di ijtihadkannya, memiliki pendahulu dari kalangan ulama umat ini yang telah dipersaksikan keilmuannya dalam masalah dien. Al-Hafidzh Ibnu Rajab dalam kitabnya "Fadhul Ilmi as-Salaf 'ala al-Khalaf" berkata :"Adapun para imam dan Fuqaha' Ahul Hadits, maka mereka akan mengikuti hadits shahih sebagaimana adanya apabila hadits itu diamalkan oleh para sahabat, orang-orang yang sesudah mereka atau sekelompok dari mereka, Adapun apa yang telah disepakati oleh mereka untuk ditinggalkan, maka ia tidak boleh diamalkan Umar bin Abdul Aziz berkata : Ambillah pendapat yang sesuai dengan (pendapat) orang-orang sebelum kalian (Salafus Shalih), sesungguhnya mereka lebih tahu dari pada kalian" [Lihat Tsalatsu Rasa'il, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab, hal. 140, Tahqiq Muhammad Al-Ajami]

Dari keterangan di atas, menjadi jelaslah macam ikhtilaf yang pertama dari ikhtilaf yang diperbolehkan.

[b]. Ikhtilaf Tanawwu'

Contohnya adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan (Al-Qur'an) pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :"Saya mendengar seseorang membaca ayat yang saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacanya berbeda dengan orang itu, maka saya pegang tangannya lalu saya bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Saya laporkan hal itu kepada beliau, namun saya melihat tanda tidak suka pada wajah beliau, dan beliau bersabda.

"Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa".

Ulama yang paling baik menulis masalah ikhtilaf tanawwu ini dan menjelaskannya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, yaitu ketika beliau berkata : "Ikhtilaf tanawwu' ada beberapa macam, diantaranya adalah ikhtilaf yang masing-masing dari kedua perkataan (pendapat) atau perbuatan itu benar sesuai syari'at, seperti bacaan (Al-Qur'an) yang diperselisihkan itu dicegah oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Kalian berdua bagus/benar (bacaannya)"

Misalnya lagi adalah ikhtilaf dalam macam-macam sifat adzan, iqamah, do'a iftitah, tasyahhud, shalat khauf, takbir ied, takbir jenazah dan lain-lain yang semuanya disyari'atkan, meskipun dikatakan bahwa sebagiannya lebih afdhal. Kemudian kita dapatkan banyak umat Islam yang terjerumus dalam ikhtilaf hingga menyebabkan terjadinya peperangan (pertengkaran) antar golongan diantara mereka. hanya karena masalah menggenapkan lafazh iqamah atau mengganjilkannya, atau masalah-masalah semisal lainnya. Ini adalah substansi keharaman itu sendiri. Sementara orang yang tidak sampai ketingkat ini (yaitu tingkat peperangan/pertengkaran), banyak diantaranya yang kedapatan fanatik terhadap salah satu cara (adzan, iqamahm dst) tersebut karena mengikuti hawa nafsu, dan berpaling dari cara lain, atau melarang cara lain yang sebenarnya masuk dalam salah satu cara. Hal yang tentu dilarang oleh Nabi.

Diantara ikhtilaf tanawwu' juga adalah ikhtilaf yang masing-masing dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun redaksinya berbeda, sebagaiman banyak orang (Ulama) yang kadang berselisih dalam membahasakan ketentuan hukum-hukum had, shighah-shighah (bentuk-bentuk ) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagian-pembagian hukum dan lain-lain. Selanjutnya kebodohan atau kezhalimanlah yang akhirnya membawa pada sikap memuji terhadap sakah satu dari dua pendapat tadi dan mencela yang lain.

Diantaranya lagi adalah tentang sesuatu yang memiliki dua makna yang berbeda namun tidak saling berlawanan. Yang ini adalah perkataan benar, dan yang itu juga merupakan perkataan benar, sekalipun maknanya saling berbeda. Ini banyak sekali terjadi dalam perselisihan pendapat.

Di antaranya lagi adalah ikhtilaf mengenai dua cara yang sama-sama disyari'atkan. Seseorang atau satu kelompok menempuh jalan ini, sedangkan yang lain menempuh jalan lain. Kedua-duanya baik dalam agama. Tetapi kebodohan atau kezalimanlah yang kemudian menggiring pada sikap mencela terhadap salah satu dari kedua jalan tersebut atau lebih mengutamakannya, tanpa dasar niat yang benar, atau tanpa dasar ilmu, atau tanpa dasar niat yang ikhlas dan tanpa dasar ilmu sekaligus" [Iqtidha' Ash-Shiratth Al-Mustaqim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah I/132-134]

Jika pertengkaran di antara sebagian kaum muslimin terjadi dalam ikhtilaf macam ini maka jadilah ikhtilaf itu tercela, sebagaimana yang telah jelas pada penjelasan yang telah lewat dan pada hadits Abdullah bin Mas'ud seputar ikhtilaf dalam qira'ah (bacaan Al-Qur'an). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Kalian berdua benar, jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa"

Syaikhul Islam berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ikhtilaf (perselisihan pendapat) yang masing-masing dari kedua belah pihak mengingkari/menolak kebenaran yang ada pada pihak lain, karena kedua orang sahabat yang berbeda bacaannya itu sama-sama benar dalam bacaannya. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan sebab (larangan) tersebut yaitu bahwa lantaran umat sebelum kita berselisih, maka kemudian mereka menjadi binasa karenanya.

Oleh sebab itu ketika Hudzaifah melihat penduduk Syam dan Iraq berselisih mengenai bacaan huruf Al-Qur'an dengan perselisihan yang telah dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata kepada Utsman (bin Affan, Amirul Mukminin -ed) : "Perbaikilah umat ini, janganlah mereka berselisih dalam bacaan Al-Qur'an, sebagaimana umat sebelum mereka berselisih".

Jadi keterangan ini memberikan dua faedah :

[1] Haramnya berselisih dalam masalah seperti ini.
[2] Mengambil pelajaran dari umat sebelumnya dan berhat-hati jangan sampai menyerupai mereka.

[Disalin dari Majalah Al-Ashalah tgl. 15 Dzul Hijjah 1416H, edisi 17/Th.III hal 78-89, karya Salim bin Shalih Al-Marfadi, dan dimuat Majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M hal. 25-29 penerjemah Ahmad Nusadi]

MACAM-MACAM IKHTILAF ke.1

Halaman ke-1 dari 2

MACAM-MACAM IKHTILAF


Oleh Syaikh Salim bin Shalih Al-Marfadi



Para ulama telah meneliti dalil-dalil tentang ikhtilaf, sehingga nampak jelas bahwa ikhtilaf itu ada dua macam, masing-masing terdiri dari beberapa jenis.

[1]. IKHTILAF TERCELA
Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut :

[a]. Ikhtilaf yang kedua belah pihak dicela, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ikhtilafnya orang-orang Nashara.

"Artinya : Maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat" [Al-Maidah : 14]

Firman Allah dalam menerangkan ikhtilaf nya orang-orang Yahudi

"Artinya : Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya" [Al-Maidah : 64]

Demikian juga ikhtilaf nya ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan ahlul bid'ah dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka" [Al-An'am : 159]

Juga termasuk kedalam ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf antara dua kelompok kaum muslim dalam masalah ikhtilaf tanawwu' (fariatif) dan masing-masing mengingkari kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain.

[b]. Ikhtilaf yang salah satu pihak dicela dan satu lagi dipuji (karena benar).

Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman

"Artinya : Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan" [Al-Baqarah : 253]

Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bid'ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq.

"Artinya : Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), kaum Nashara menjadi 72 firqah, dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya (masuk) didalam neraka kecuali satu. Ditanyakan : "Siapakah dia wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab : "orang yang berada diatas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku" dalam sebagian riwayat : "dia adalah jama'ah" [Lihat "Silsilah Ash-Shahihah 204 Susunan Syaikh Nashiruddin Al-Albani]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa semua firqah ini akan binasa, kecuali yang berada diatas manhaj salaf ash-shaleh. Imam Syathibi berkata : "Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [illa waahidah] telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, Rasul tidak akan mengucapkan ; [illa waahidah] dan juga dikarenakan bahwa ikhtilaf itu di-nafi (ditiadakan) dari syari'ah secara mutlak, karena syari'ah itu adalah hakim antara dua orang yang berikhtilaf. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)". [An-Nisaa : 59]

Jenis ikhtilaf inilah yang dicela oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.

[2]. IKHTILAF YANG BOLEH
Ini juga ada dua macam yaitu :

[a]. Iktilafnya dua orang mujtahid dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya.

Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.

"Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Diantara rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa kepada seorang mujtahid yang salah bahkan ia mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah berfirman.

"Artinya : Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu salah padanya" [Al-Ahzab : 5]

Dari Amr bin Al-'Ash Radhiyallahu 'anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala, apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia mendapatkan satu pahala" [Hadits Riwayat Imam Bikhari]

Sebagai penjelas terhadap apa yang telah lewat, saya katakan :"Banyak para ulama yang membagi masalah-masalah agama ini menjadi Ushul Kulliyah (pokok-pokok yang mendasar serta bersifat meliputi) dan Furu' Juz'iyah (cabang-cabang yang bersifat parsial), masalah-masalah. Ushul (pokok) dan masalah-masalah ijtihad 1 baik dalam masalah ilmiyah ataupun amaliyah. Pendapat inilah yang ditempuh oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan Imam Syathibi Rahimahullah. Syaikhul Islam berkata : "Akan tetapi yang benar, bahwa masalah yang besar (pokok) dari dua katagori itu adalah masalah ushul, sedangkan rinciannya adalah masalah furu".

Di dalam fatwa Lajnah Daimah terdapat pernyataan mereka (para ulama) bahwa : "Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki Ushul yang kokoh berdasarkan dalil-dalilnya, yang di atas Ushul tersebut mereka membangun furu'. Mereka berpedoman kepada masalah-masalah Ushul dalam mencari dalil terhadap masalah-masalah Juz'iyah dan dalam menerapkan hukum bagi diri mereka sendiri dan bagi orang lain".

Dari sini tampak jelas bagi kita bahwa permasalahan-permasalahan yang diperbolehkan berijtihad di dalamnya adalah masalah yang bersifat rinci (detail) dari masalah ilmiyah ataupun masalah amaliyah. Adapun masalah ushul (pokok) maka tidak boleh berijtihad didalamnya.

Diantara contoh permasalahan yang besar (pokok) dalam kaitannya dengan khabariyah (masalah iman dan khabar wahyu) adalah : mengesakan Allah dengan segala hak-Nya, adanya para malaikat, jin, hari kebangkitan kembali, azab kubur, shirath (jembatan yang membentang di atas Jahanam untuk di lalui manusia di hari kiamat setelah hisab), dan persoalan-persoalan nyata lainnya yang disebut sebagai USHUL (persoalan ini tidak boleh diperselisihkan -ed). Adapun FURU' dalam kaitannya dengan masalah khabariyah (masalah iman dan khabar wahyu) ialah setiap rincian (detail dari masalah-masalah ushul di atas -ed). Misalnya :Apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Rabbnya (ketika Mi'raj), apakah orang mati di kuburnya mendengar pembicaraan orang yang masih hidup, apakah sampai pahala amal orang yang masih hidup (selain do'a) kepada mayit ? dan lain-lainnya.

Syaikhul Islam berkata : "Oleh karenanya para imam sepakat untuk membid'ahkan orang yang (pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah ushul seperti ini. Berbeda dengan orang yang (pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah ijtihad, yang peringkatnya belum sampai tingkat ushul dalam kemutawatiran sunnah mengenainya, seperti perselisihan mereka berkaitan dengan hukum seorang saksi, sumpah, pembagian (harta warisan), dalam undian, dan perkara-perkara lain yang tidak sampai derajat ushul". [Majmu' Fatawa IV/425]

FIKIH IKHTILAF [MEMAHAMI PERSELISIHAN PENDAPAT MENURUT AL-QUR'AN, SUNNAH DAN MANHAJ SALAF SHALIH]

Oleh Salim bin Shalih Al-Marfadi



Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan, diantaranya ; tidak sepaham atau tidak sama. Anda bisa mengatakan khalaftuhu-mukhalafatan-wa khilaafan atau takhaalafa alqaumi wakhtalafuu apabila masing-masing berbeda pendapat dengan yang lainnya. Jadi ikhtilaf itu adalah perbedaan jalan, perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.

Kaidah-Kaidah Untuk Memahami Ikhtilaf [Perselisihan Pendapat]

[1]. Ikhtilaf Adalah Perkara Yang Kauni (Sunnatullah), Sedangkan Mencegahnya Merupakan Perkara Yang Syar'i.

Dengan kehendak dan hikmah-Nya yang tepat, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menakdirkan ummat ini berpecah belah sebagaimana halnya (kaum) ahli kitab sebelumnya telah berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa beselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu, Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka" [Hud : 118-119]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, kaum Nashara terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan" [Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad dan lainnya]

Dalam suatu riwayat :

"Mereka semua di neraka kecuali satu millah, para shahabat bertanya : "siapakah dia ya Rasulullah ?" beliau menjawab : "(yaitu) orang-orang yang berada diatas jalanku dan shahabatku"

Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sungguh kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, jengkal demi jengkal, hasta demi hasta sehingga seandainya mereka masuk kedalam lubang biawak, kalian pasti akan memasukinya (juga). Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara-kah?". Beliau menjawab : "Siapa lagi ?" [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim]

Meskipun perpecahan ini terjadi sesuai dengan sunatullah yang kauni, namun (sebenarnya) Allah melarang terjadinya perpecahan ini dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Nya, memerintahkan supaya berpegang teguh pada jalan Firqatun Naajiyah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan), dan memberikan tanda-tanda pada golongan ini sehingga orang yang ikhlas hatinya dalam mencari kebenaran tidak akan tersesat (salah pilih).

Ada sebagian orang yang meragukan keabsahan hadist iftiraq (perpecahan) ini, akan tetapi orang yang betul-betul memperhatikan jalur-jalur periwayatannya akan memastikan keabsahannya, terutama karena di sana terdapat hadits-hadits shahih yang masyhur yang menerangkan tentang keserupaan umat ini dengan umat-umat sebelumnya. Diantaranya yang paling menonjol ialah tentang fenomena munculnya iftiraq (penyimpangan) dari manhaj yang haq. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang tasyabbuh (menyerupai umat-umat terdahulu) ini dengan firman-Nya.

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" [Ali Imran : 105]

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata : "Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang umat ini menyerupai umat-umat yang telah lewat dalam iftiraq (perpecahan) dan ikhtilaf (perselisihan) mereka dan dalam meninggalkan amar ma'ruf serta nahi mungkar, setelah hujjah tegak atas mereka" [Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim I/390]

Allah berfirman.

"Artinya : Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka" [Ar-Ruum : 31-32]

Syaikh As-Sa'di berkata : "Padahal agama ini hanya satu yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu orang-orang musyrik ini memecah-mecahnya, diantara mereka ada yang menyembah berhala dan patung, ada yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah para wali dan orang-orang shaleh, ada yang Yahudi dan ada yang Nasharani. Oleh karenanya Allah berfirman : [wakanuu syiyaan] maksudnya masing-masing golongan membentuk kelompok dan membuat ta'ashub (fanatisme) untuk membela kebathilan yang ada pada mereka, dan menyingkirkan serta memerangi kelompok lainnya. [kullu khizbin] masing-masing kelompok. [bimaa ladaiyhim] dengan ilmu (nya masing-masing) yang menyelisihi ilmunya para rasul, [farihuun] berbangga.

Dengan sikap ini, masing-masing mereka menghukumi bahwa kelompoknyalah yang benar, sedangkan kelompok lain berada dalam kebathilan. Disini terdapat peringatan bagi kaum muslimin agar tidak bercerai berai dan berpecah belah menjadi firqah-firqah, dimana masing-masing firqah bersikap fanatik terhadap apa yang ada pada mereka, baik berupa kebenaran maupun kebatilan.

Sehingga (dengan perpecahan ini -pent) jadilah kaum muslimin bertasyabbuh (serupa) dengan orang-orang musyrik dalam hal perpecahan. Padahal dien (agama) ini satu, rasulnya satu, sesembahannya satu, kebanyakan persoalan dien (agama) pun telah ijma diantara para ulama dan para imam, dan ukhuwah Imaniyah juga telah diikat oleh Alllah dengan sesempurna-sempurnanya ikatan, kenapa semua itu di sia-siakan ? Malahan dibangun perpecahan diantara kaum muslimin, dibangun masalah-masalah yang samar atau (dia bangun persoalan-persoalan) furu' khilafiyah, yang (atas dasar itu kemudian) sebagian kaum Muslimin menganggap sesat sebagian lainnya, dan masing-masing menganggap dirinyalah yang istimewa dibanding yang lain. tidak lain ini merupakan godaan setan yang terbesar, dan merupakan tujuan setan paling utama untuk memperdaya kaum muslimin?". [Tafsir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manaan]

[2]. Tidak Semua Ikhtilaf adalah Iftiraq

Dan itu ada karena Ikhtilaf merupakan lafazh yang masih umum, mencakup beberapa macam (makna), satu diantaranya adalah iftiraq. Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaraqah yang artinya perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah para ulama' iftiraq adalah keluar dari Sunnah dan Jama'ah pada salah satu ushul (pokok) dari perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam aqidah ataupun amaliyah.

Sangat disayangkan, ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu syar'i) yang menghukum pada beberapa masalah ikhtilaf yang diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang fatal. Penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka tentang prinsip-prinsip iftiraq, kapan dan bagaimana bisa terjadi iftiraq ? Demikian juga (penyebabnya adalah -pent) ketidaktahuan mereka tentang masalah yang diperbolehkan ikhtilaf dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf. Keterangan berikut ini akan membuat perbedaan antara ikhtilaf yang diperbolehkan dengan iftiraq menjadi jelas.

[a]. Iftiraq tidak akan terjadi kecuali pada ushul kubra kulliyah (pokok-pokok yang besar dan mendasar) yang tidak ada peluang untuk diperselisihkan. Pokok-pokok yang telah jelas berdasarkan nash qathi atau ijma' atau telah jelas sebagai manhaj ilmiah Ahlus sunnah wal Jama'ah yang tidak lagi diperselisihkan (oleh Ahlus Sunnah) mengenainya. Berdasarkan hal itu, maka seorang muslim tidak boleh dicela sebagai yang termasuk firqah binasa (sesat) kecuali jika perbuatan bid'ah-nya pada masalah-masalah berikut :

Pada masalah yang bersifat mendasar dalam agama, atau pada salah satu kaidah syari'ah, atau pada pokok syari'ah, baik secara total atau dalam banyak bagian-bagiannya, dimana ia terbiasa bersikap menentang terhadap banyak persoalan syari'ah.

Syaikhul Islam pernah ditanya tentang batasan bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu), beliau menjawab : "Bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu) adalah bid'ah penyimpangannya dari Al-Qur'an dan Sunnah masyhur dikalangan ahli sunnah, seperti bid'ah-nya Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji'ah ...." [Majmu Fatawa XXXV/414]

[b]. Ikhtilaf (perselisihan pendapat) yang diperbolehkan itu bersumber dari ijtihad dan niat yang baik, dan orang yang salah akan diberi pahala apabila ia mencari kebenaran. Sementara Iftiraq (perpecahan) tidak terjadi dari kesungguh-sungguhan dalam mencari kebenaran dan niat yang baik, dia timbul dari mengikuti hawa nafsu.

[c]. Iftiraq berkaitan erat dengan ancaman Allah, dan semua iftiraq menyimpang serta binasa, adapun ikhtilaf yang diperbolehkan tidaklah seperti itu betapapun hebat ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin. [Perbedaan diantara keduanya telah dijelaskan oleh Syaikh Nashr Al-Aql dalam muhadharah (ceramah) yang sangat berharga "Mafhumul Iftiraq* kemudian muhadharah itu dicetak dalam bentuk buku]

[3]. Kebenaran Itu Hanya Satu, Tidak Terbilang.

Walaupun dalam perkara-perkara praktis. Ini adalah perkara yang jelas. Sebagian orang [1] ada yang berpendapat bahwa semua mujtahid (orang yang pantas untuk berijtihad -pent) itu benar. Ini adalah bualan belaka yang tidak perlu dijelaskan. Sekalipun demikian, kami akan bawakan dalil atas kebathilannya yang sebenarnya banyak, (namun kami sebutkan satu) diantaranya.

"Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" [An-Nisa' : 82]

Kandungan ayat itu sangat jelas. Dengan demikian, setiap hal yang padanya terjadi ikhtilaf tadhadh (perselisihan pendapat kontrakdiktif), maka kebenaran yang ada padanya hanya satu, karena apapun yang berasal dari Allah, tidak akan ditemukan ikhtilaf padanya. Akal yang sehat pasti sesuai (sepakat) dengan dalil naql yang sharih dalam menolak ikhtilaf padanya. (Misalnya) dikatakan kepada Zaid (hanya contoh) : "Jika anda melakukan pekerjaan ini maka anda mendapat pahala dan berada di syurga, tetapi pada saat yang sama anda mendapat dosa dan berada di neraka. (Ini jelas tidak mungkin). Dan tidak mungkin pula terjadi, dengan satu pekerjaan seseorang berbuat maksiat, sementara pada saat yang sama, dalam pekerjaan yang sama dia juga berbuat ta'at kepada Allah" [2]

Inilah kaidah tertpenting yang terhitung sebagai jalan masuk untuk memahami ikhtilaf.

Disalin dari Majalah Al-Ashalah tgl 15 Dzul Hijjah 1416H, edisi 17/Th. III hal 78-79, karya Salim bin Shalih Al-Marfadi, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M hal.22-24]
_________
Fote Noote.
[1] Diantaranya Quthb Ash-Shufiyah Asy-Sya'rani dalam kitabnya "Mizan".
[2] Lihat pembahasan yang bagus tentang kaidah ini dalam Kitab Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, karya Ibnu Hazm V/68, dan juga Kitab Jami' Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu Abdil Barr : Bab Dzikri Ad-Dalil fi Aqwal As-Salaf 'ala Anna Al-Ikhtilaf Khatha' wa Shawab.

ETIKA BERBEDA PENDAPAT

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Syaikh yang terhormat, banyak perbedaaan pendapat yang terjadi di antara para aktivis dakwah yang menyebabkan kegagalan dan sirnanya kekuatan. Hal ini banyak terjadi akibat tidak mengetahui etika berbeda pendapat. Apa saran yang Syaikh sampaikan berkenan dengan masalah ini ?

Jawaban.
Yang saya sarankan kepada semua saudara-saudara saya para ahlul ilmi dan praktisi dakwah adalah menempuh metode yang baik, lembut dalam berdakwah dan bersikap halus dalam masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat saat saling mengungkapkan pandangan dan pendapat. Jangan sampai terbawa oleh emosi dan kekasaran dengan melontarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas dilontarkan, yang mana hal ini bisa menyebabkan perpecahan, perselisihan, saling membenci dan saling menjauhi. Seharusnya seorang da'i dan pendidik menempuh metode-metode yang bermanfaat, halus dalam bertutur kata, sehingga ucapannya bisa diterima dan hati pun tidak saling menjauhi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". [Ali-Imran : 159]

Allah berfirman kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka kepada Fir'aun.

"Artinya : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut". [Thaha : 44]

Dalam ayat lain disebutkan.

"Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik". [An-Nahl : 125]

Dalam ayat lain disebutkan.

"Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka".[Al-Ankabut : 46]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mengindahkannya, dan tidaklah (kelembutan itu) luput dari sesuatu kecuali akan memburukkannya". [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2594]

Beliaupun bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya"[Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2592]

Maka seorang da'i dan pendidik hendaknya menempuh metode-metode yang bermanfaat dan menghindari kekerasan dan kekasaran, karena hal itu bisa menyebabkan ditolaknya kebenaran serta bisa menimbulkan perselisihan dan perpecahan di antara sesama kaum muslimin. Perlu selalu diingat, bahwa apa yang anda maksudkan adalah menjelaskan kebenaran dan ambisi untuk diterima serta bermanfaatnya dakwah, bukan bermaksud untuk menunjukkan ilmu anda atau menunjukkan bahwa anda berdakwah atau bahwa anda loyal terhadap agama Alah, karena sesungguhnya Allah mengetahui segala yang dirahasiakan dan yang disembunyikan. Jadi, yang dimaksud adalah menyampaikan dakwah dan agar manusia bisa mengambil manfaat dari perkataan anda. Dari itu, hendaklah anda memiliki faktor-faktor untuk diterimanya dakwah dan menjauhi faktor-faktor yang bisa menyebabkan ditolaknya dan tidak diterimanya dakwah.

[Majmu' Fatawa Wa Maqalat Mutanawwiah, Juz 5, hal.155-156, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA' DAN MENGGABUNGKAN MADZHAB-MADZHAB (PENDAPAT PARA ULAMA) -DENGAN HAWA NAFSU-.ke.2

Halaman ke-2


HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA' DAN MENGGABUNGKAN MADZHAB-MADZHAB (PENDAPAT PARA ULAMA) -DENGAN HAWA NAFSU-.

Para ulama telah sepakat tentang haramnya mencari-cari rukhsah dan menggabungkan madzhab-madzhab dan pendapat-pendapat tanpa dalil syar'i yang rajih (kuat), dan berfatwa kepada manusia dengan pendapat tersebut.

Diantara perkataan-perkataan para ulama tentang haramnya hal ini adalah :

[1] Sulaiman At-Taimy berkata (wafat tahun 143H) :"Kalau engkau mengambil rukhshah setiap orang alim, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan". Ibnu Abdil Barr berkata memberi komentar :"Hal ini adalah ijma', dan aku tidak mengetahui ada khilaf dalam perkara ini" [Al-Jami' 2/91,92]

[2] Berkata Ma'mar bin Rosyid (wafat tahun 154H) :"Seandainya seorang laki-laki mengambil pendapat Ahlul Madinah tentang (bolehnya) nyanyian dan (bolehnya) mendatangi wanita dari duburnya, dan mengambil pendapat Ahlul Makkah tentang (bolehnya) nikah mut'ah dan (bolehnya) sorf (semacam riba) dan mengambil pendapat Ahlul Kuffah tentang khamer (yaitu khamer yang haram hanyalah terbuat dari anggur), maka dia adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling buruk" [Lawami'il Anwar karya As-Safarini 2/466].

[3] Imam Auza'i berkata : (wafat tahun 157H) :"Barangsiapa mengambil pendapat-pendapat yang aneh (asing, menyelisihi para ulama lain) dan para ulama maka dia telah keluar dari Islam" [Syiar A'lam An-Nubala' 7/125 karya Adz-Dzahabi]

[4] Imam Ahmad bin Hanbal berkata (wafat tahun 241H) :"Kalau seseorang mengamalkan pendapat Ahlul Kuffah tentang anggur dan pendapat Ahlul Madinah tentang nyanyian (yaitu bolehnya nyanyian, -pent) dan pendapat Ahlul Makkah tentang mut'ah (yaitu bolehnya nikah mut'ah, -pent) maka dia adalah orang fasiq". [Lawamil Anwar al-Bahiyah, karya As-Safarini 2/466 dan Irsyadul Fuhul, karya Asy-Syaukani hal. 272]

[5] Ibrahim bin Syaiban berkata (wafat tahun 337H) :"Barangsiapa yang ingin rusak maka ambillah rukhsah" [Siyar A'alam An-Nubala' karya Adz-Dzahabi 15/392]

[6] Ibnu Hazm berkata (wafat tahun 456H) di dalam menjelaskan tingkatan orang-orang yang berselisih :"Dan tingkatan yang lain di antara mereka, adalah kaum yang tipisnya nilai agama mereka dan kurangnya ketakwaan mereka mengantarkan mereka untuk mencari apa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka pada pendapat setiap orang. Mereka mengambil pendapat rukhsah (yang ringan) dari seorang alim dengan bertaqlid kepadanya tanpa mencari pendapat yang sesuai dengan nash dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Al-Ihkam hal. 645]. Imam Syatibi telah menukil dari Ibnu Hazm, bahwa beliau menyampaikan ijma' (para ulama) tentang mencari-cari rukhsah madzhab-madzhab tanpa bersandar kepada dalil syar'i adalah merupakan kefasikan yang haram [Al-Muwafaqat 4/134].

[7] Abu 'Amr Ibnu Shalah berkata (wafat tahun 643H) menjelaskan tentang sifat tasahul (mudah memberikan fatwa yang enak, -pent) seorang mufti :"Dan terkadang sifat tasahul dan mencari kemudahan dengan tujuan-tujuan dunia yang rusak telah membawa seorang mufti untuk mencari-cari tipu daya yang haram atau yang makruh, dan berpegang teguh dengan syubhat-syubhat untuk mencarikan rukhsah bagi orang yang dia ingin beri manfaat, atau bersikap keras terhadap orang yang dia kehendaki mendapat mudharat. Maka barangsiapa yang melakukan hal ini maka telah hina agamanya" [Adabul Mufti, hal : 111]

[8] Sulathanul ulama Al-Izz bin Abdis Salam berkata (wafat tahun 660H) :"Tidak boleh mencari-carri rukhsah" [Al-Fatawa hal. 122]

[9] Imam An-Nawawi ditanya :"Apakah boleh seseorang yang bermadzhab dengan suatu madzhab untuk bertaqlid pada suatu madzhab yang lain pada perkara yang dengannya ada kemanfaatan dan mencari-cari rukhsah?", beliau menjawab :"Tidak boleh mencari-cari rukhsah, walalhu 'a'lam" [Fatawa An-Nawawi yang dikumpulkan oleh muridnya Ibnul 'Attor, hal. 168]

[10] Imam Ibnul Qayyim berkata (wafat 751H) :"Tidak boleh seseorang mufti mengamalkan dengan pendapat yang sesuai dengan kehedaknya tanpa melihat kepada tarjih (pendapat yang lebih kuat)". [I'lamul Muwaqi'in 4/211].

[11] Al-'Alamah Al-Hijawi berkata (wafat 967H) :"Tidak boleh bagi seorang mufti maupun yang lainnya untuk mencari-cari hilah (tipu daya) yang haram dan mencari-cari rukhsah bagi orang yang membutuhkannya, karena mencari-cari hal itu adalah kefasikan dan diharamkan meminta fatwa dengan hal itu". [Al-Imta' 4/376].

[12] Al-'Alamah As-Safarini berkata (wafat 1188H) :"Diharamkan bagi orang awam yang bukan mujtahid untuk mencari-cari rukhsah untuk ditaqlidi" [Lawami'il Anwar 2/466]

Kesimpulan dari uraian di atas bahwasanya empat imam, yaitu Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, Ibnu Sholah, dan Al-Baji telah menukilkan ijma' tentang haramnya mencari-cari rukhsah.

SIKAP YANG BENAR TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT DALAM SUATU MASALAH DAN APAKAH YANG WAJIB BAGI ORANG YANG MEMINTA FATWA .?

Jika seorang muslim mendapatkan banyak fatwa dalam suatu permasalahan, maka bagaimanakah sikapnya yang benar dengan perbedaan pendapat ini .?

Tidak boleh baginya mencari-cari rukhsah para fuqaha' dan wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar dalam permasalahan tersebut.

Lalu apakah yang harus dia lakukan.?

Jawab :
Selayaknya pilihannya itu berdasarkan timbangan yang pasti, yang bisa digunakan untuk mengetahui pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat yang marjuh (lemah). Dan timbangan ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan jika kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul" [An-Nisa : 59]

Maka pendapat mana saja yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka itulah yang benar dan yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka pendapat itu batil.

[1]. Wajib bagi seorang muslim yang (mampu) meneliti untuk memilih pendapat yang sesuai dengan dalil yang kuat. Abu Amr Ibnu Abdil Barr berkata :"Yang wajib dalam menyikapi perselisihan para ulama adalah mencari dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijma' serta qiyas yang berdasarkan ushul-ushul (qaidah-qaidah pokok) yang bersumber dari semua itu. Dan demikian itu tidak bisa tidak. Dan jika semua kuat dalil-dalil (khilaf tersebut), maka wajib untuk memilih pendapat yang paling menyerupai dengan apa-apa yang telah kita sebutkan dengan Kitab dan Sunnah. Apabila dalil-dalil (khilaf tersebut) tidak jelas maka wajib untuk tawaqquf (menahan diri). Apabila seseorang terpaksa mengamalkan salah satu pendapat (dari khilaf tersebut) pada kondisi yang khusus pada dirinya, maka boleh baginya untuk taqlid sebagaimana dibolehkan bagi orang awam. Dan dia dapat mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam "Kebaikan itu adalah apa yang menenangkan hati dan dosa adalah apa yang menggelisahkan hati. Maka tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu menuju kepada apa-apa yang tidak meragukanmu". (Jami' Bayan Al-Ilmi 2/80-81). Demikian juga perkataan Al-Khatib Al-Baghdadi di dalam kitab Al-Faqih Wal-Mutafaqih 2/203

[2]. Wajib bagi seorang muslim untuk meminta fatwa kepada orang yang telah terpenuhi syarat-syarat untuk berfatwa, baik dalam hal ilmu maupun wara' (kehati-hatian). Dan janganlah dia bertanya kepada (orang yang dianggap) ahli ilmu yang mengeluarkan fatwa dengan kebodohan dan kebohongan. Atau janganlah dia bertanya kepada orang-orang yang tasahul dalam berfatwa, yaitu yang suka memberi fatwa dengan rukhsah dan hilah (penipuan terselubung). Mereka tersebut tidak boleh dimintai fatwa.

[3]. Dan wajib bagi pencari kebenaran untuk beristi'anah (mohon pertolongan) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tunduk kepada-Nya, dengan berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta'ala menunjukinya menuju kebenaran. Dan hendaklah dia berdo'a dengan doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Isrofil, Yang menciptakan langit-langit dan bumi, Yang mengetahui perkara ghaib dan yang nampak, Engkau menghakimi hamba-hamba-Mu pada apa-apa yang mereka perselisihkan. Tunjukillah kepadaku kebenaran dari apa-apa yang mereka perselishkan dengan idzin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapa saja yang engkau kehendaki menuju jalan yang lurus" [Hadits Riwayat Muslim 1/534 dari 'Aisyah]

[4]. Jika khilaf sangat kuat, sehingga seorang muslim tidak mampu untuk mengetahui mana yang benar, maka dia (boleh) bertaqlid kepada orang yang dia percayai ilmu dan dinnya, dan tidaklah dia dibebani dengan beban yang lebih dari ini.

[5]. Berkata Al-Khatib Al-Baghdadi :"Jika seseorang berkata :"Bagaimana pendapatmu terhadap orang awam yang meminta fatwa, jika ada dua orang yang memberinya fatwa, sedangkan kedua orang tersebut berselisih, apakah boleh baginya taqlid.?", maka dijawab untuk perkara ini ada dua sisi :

Pertama : Jika orang awam tersebut luas akalnya (pintar) dan baik pemahamannya, maka wajib baginya untuk bertanya kepada dua orang yang beselisih tersebut tentang madzhab (pendapat) mereka berserta hujjah mereka. Lalu dia mengambil pendapat yang paling kuat menurut dia, Namun jika akalnya kurang tentang hal ini dan pemahamannya tidak baik, maka dia boleh taqlid kepada pendapat yang paling baik menurut dia diantara kedua orang tersebut.

Kedua : Jika dia memenuhi jalan yang lebih hati-hati dan wara' maka hendaknya dia memilih pendapat yang paling hati-hati dari kedua pendapat tersebut. Maka hendaklah dia mendahulukan (memilih) pendapat yang melarang daripada pendapat yang membolehkan dalam rangka menjaga dirinya dari syubhat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Artinya : Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat maka dia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya" [Muttafaqun 'alaih]

Wallahu a'lam

[Majalah Al-Ashalah No. 29 Tahun ke 5, Penerjemah Ibnu Abidin As-Soronji]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun V/1422H/2001. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Noote
[1] Perkataan dalam kurung ini kalimat penulis, bukan perkataan Imam Asy-Syatibi -red.
[2] Mudahanah : meninggalkan dan melalaikan amar ma'ruf dan nahi mungkar karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi, -red

HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA' KETIKA TERJADI PERSELISIHAN

Oleh Syaikh Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdillah Al-Mazru'i

Sesungguhnya syaithan senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah yang beraneka ragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithan untuk menusia adalah :"Mencari rukhsah (pendapat paling ringan) dari para fuqaha' dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka". Dengan cara ini syaithan menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar, dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsah yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masah-masalah khilafiyah (perselisihan). Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar'i. Bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.

Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan bahwa mereka bukanlah yang dimintai pertanggung jawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsah dari para fuqaha' pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat para fuqaha itu pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat (menurut hawa nafsu mereka -pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya, -pent)

Syaithan telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan :"Letakkanlah dia di leher orang alim, dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat". (Maksudnya yaitu serahkan tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban -pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi kepada sebagian ulama yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, -pent) dalam berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul, -pent) mencarikan untuknya rukhsah yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsah tersebut padahal rukhsah itu menyelesihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini..

Kebanyak orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhaan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.

Apakah mafsadah (kerusakan) dan mudharat (bahaya) yang ditimbulkan oleh cara seperti ini .? manakah dalil-dalil syar'i yang menunjukkan kebatilan hal ini ? bagaimanakan pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini ? beserta penjelasan tentang bagaimanakan sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah (perselisihan) ?, dan apakah kewajiban seorang mufti ?, dan apa kewajiban seorang yang meminta fatwa ? (inilah yang akan diterangkan, -red).

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN RUKHSAH DI SINI ?
Yang dimaksud dengan rukhsah di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah yang paling ringan (paling enak, -pent) yang tidak bersandar kepada dalil yang shahih. Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsah menurut bahasa.

Adapun makna syar'i yaitu istilah terhadap sesuatu yang berubah dari perkara yang asal karena adanya halangan, atau untuk kemudahan dan keringanan. Seperti diqasharnya shalat ketika safar dan kesalahan-kesalahan padanya yang rukhsah-rukhsah syar'i yang lainnya.

Contoh-contoh rukhsah para ahli fiqih :

[1] Pendapat bolehnya mencukur jenggot
[2] Pendapat bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang.
[3] Pendapat bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur.
[4] Pendapat bahwasanya tidak ada shalat Jum'at kecuali pada tujuh wilayah.
[5] Pendapat tentang diakhirkannya shalat asar hingga (panjang) bayangan setiap benda adalah empat kalinya.
[6] Pendapat bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh (ketika jihad, -pent).
[7] Pendapat bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik.
[8] Pendapat bolehnya nikah mut'ah.
[9] Pendapat bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai.
[10] Pendapat bolehnya menjima'i istri dari duburnya.
[11] Pendapat sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar.
[12] Pendapat tidak disyariatkannya dua saksi dalam nikah.

MAFSADAH (KERUSAKAN) YANG TIMBUL KARENA MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA'

Mengikuti rukhsah para fuqaha' menimbulkan mafsadah yang banyak. Di antaranya hilangnya kemulian agama (Islam), dan jadilah agama ini permainan ditangan manusia. Di antaranya juga meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan syari'at.

Asy-Syatibi telah menyebutkan sejumlah kerusakan-kerusakan ini, lalu menyebutkan kerusakan-kerusakan yang lain, dia berkata :"Seperti memisahkan diri dari (ajaran) agama dengan tidak mengikuti dalil beralih mengikuti khilaf (perselisihan), meremehkan agama, meninggalkan apa-apa yang telah diketahui (kebenarannya), rusaknya kaedah politik yang syar'i, yaitu dengan tidak adanya ketegasan amar ma'ruf (sehingga para hakimpun berbuat sewenang-wenang dalam keputusan-keputusan hukum mereka, maka seorang hakim berfatwa dengan rukhsah kepada orang yang dia senangi dan berfatwa yang menyulitkan kepada yang dia tidak sukai. Maka tersebarlah kekacauan dan kedzaliman-kedzaliman[1] , dan seperti menjadi sarana menuju pendapat mengabung-gabungkan madzhab-madzhab dengan cara yang merusak ijma" [Al-Muwafaqat 4/147-148].

Imam Ibnul Jauzi berkata : "Dan termasuk perangkap syaithan bagi para fuqaha' yaitu mereka bergaulnya dengan penguasa dan para sultan serta besikap mudhahanah[2] terhadap mereka, serta meninggalkan nahi mungkar terhadap para penguasa tersebut, padahal mereka mampu melaksanakannya. Dan terkadang mereka memberikan rukhsah kepada para penguasa tersebut pada perkara-perkara yang (sebenarnya) tidak ada rukhsah padanya agar mendapatkan tujuan-tujuan duniawi mereka.

Sehingga dengan hal itu timbullah kerusakan kepada tiga kelompok.

[1] Penguasa, dia berkata :"Kalau seandainya aku tidak di atas kebenaran, maka tentu si fulan akan mengingkariku. Dan bagaimana aku tidak benar sedangkan dia (si faqih) makan dari hartaku".
[2] Orang awam, dia berkata :"Tidak mengapa dengan penguasa ini, demikian juga dengan harta dan perbuatan-perbuatannya karena si faqih senantiasa di sisinya".
[3] Si faqih, karena sesunguhnya dia telah merusak agamanya dengan perbuatannya tersebut" [Talbis Iblis hal, 121]

AKIBAT-AKIBAT DAN MAFSADAH-MAFSADAH DARI MENCARI-CARI RUKHSAH

Sebagian ulama membahas pendapat-pendapat yang marjuh (lemah) untuk menghilangkan kegelisahan dari banyak manusia yang mereka terjerumus dalam sebagian kemungkaran-kemungkaran, misalnya mencukur jenggot.

Contohnya sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Hubaibullah Asy-Syingqiti dalam kitabnya "Fathul Mun'im" (1/179) dalam pembahasannya tentang bolehnya mencukur jenggot dimana dia berkata :"Ketika telah meluas musibah mencukur jenggot di negeri-negeri Timur, maka aku bersungguh-sungguh mencari (kaidah) asal yang di atas (kaidah) asal tersebut aku lahirkan hukum bolehnya mencukur jenggot, hingga sebagian orang-orang yang mulia (yaitu mulia menurut Muhammad Hubaibullah, namun pada hakikatnya mereka tidak mulia, karena mereka mencukur jenggot mereka, -pent) memiliki kelapangan dalam melaksanakan hal yang haram dengan kesepakatan (maksudnya dia ingin agar orang-orang yang mulia yang mencukur jenggot mereka tidak dikatakan telah melakukan keharaman, -pent). Maka aku membawa pengertian larangan mencukur jenggot kepada kaidah ushul, bahwa bentuk af'ala (yaitu bentuk fi'il amr yang terdapat dalam hadits mengenai perintah Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam untuk memanjangkan jenggot, -pent) menurut pendapat kebanyakan orang adalah untuk menunjukkan kewajiban, namun dikatakan (juga) untuk mustahab (dia ingin memalingkan asal perintah adalah wajib menjadi mustahab), sehingga menurut dia perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memanjangkan jenggot hanyalah mustahab, -pent).

Al-Allamah As-Safariniy berkata (wafat 1188H) -setelah menjelaskan haramnya mencari-cari rukhsah dalam taqlid- : "Pada hal ini (mencari-cari rukhsah) terdapat banyak kerusakan dan kehancuran, dan pintu ini kalau dibuka maka akan merusak syari'at yang baik dan akan menghalalkan kebanyakan hal-hal yang haram, dan manakah pintu-pintu yang lebih rusak dari pintu yang menghalalkan zina dan minum khamr dan yang lainnya ?".

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

Syubhat Pertama.
Mereka -para pencari rukhsah- berhujjah dengan kalimat yang haq tetapi dimaksudkan untuk hal yang bathil. Mereka berkata bahwasanya agama ini mudah dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Allah menghendaki bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kerusakan" [Al-Baqarah : 185]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit" [Dari Hadits Anas Radhiyallahu 'anhu, Riwayat Bukhari 1/163 dan Muslim 3/1359]

Mereka berkata :"Jika kami memilih pendapat yang paling ringan (paling enak, -pent) maka tindakan kami ini adalah memudahkan dan menghilangkan kesulitan".

Maka jawaban kita kepada mereka :"Sesungguhnya penerapan syari'at dalam seluruh sisi kehidupan itulah yang disebut memudahkan dan menghilangkan kesulitan, bukan menghalalkan hal-hal yang haram dan meninggalkan kewajiban-kewajiban".

Ibnu Hazm berkata (dalam Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam. hal. (69) :"Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa seluruh yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah kemudahan, sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan dia (Allah Subhanahu wa Ta'ala) sekali-kali tidak menjadikan bagi kalian dalam agama suatu kesempitan" [Al-Haj : 78]

Imam Asy-Syatibi telah membantah orang-orang yang berhujjah dengan model ini dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Aku telah diutus dengan (agama yang) lurus yang penuh kelapangan" [Hadits Hasan]

Seraya (Imam Asy-Syatibi) berkata : "Dan engkau mengetahui apa yang terkandung dalam perkataan (dalam hadits) ini. Karena sesungguhnya (agama) "lurus yang penuh kelapangan" itu. hanyalah timbul kelapangan padanya dalam keadaan terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah berlaku dalam agama, bukan mencari-cari rukhsah dan bukan pula memilih pendapat-pendapat dengan seenaknya". Maksud beliau yaitu bahwasanya kemudahan syari'at itu terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah diatur dan bukan mencari-cari rukhsah yang ada dalam syari'at.

Imam Syatibi juga berkata :"Kemudian kita katakan bahwasanya mencari-cari rukhsah adalah mengikuti hawa nafsu, padahal syari'at melarang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu mencari-cari rukhshah bertentangan dengan kaidah pokok yang telah disepakati (yaitu dilarangnya mengikuti hawa nafsu). Selain itu hal ini juga bertentangan dengan firman Allah Subahanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul" [An-Nisa : 59]

Maka, khilaf (perselisihan) yang ada di antara para ulama tidak boleh kita kembalikan kepada hawa nafsu (dengan memilih pendapat yang paling enak, -pent), tetapi kita kembalikan kepada syari'at" [Al-Muwafaqat 4/145]

Syubhat Kedua
Mereka berkata :"Kami hanyalah mengikuti orang yang berpendapat dengan rukhshah tersebut"

Maka dijawab : "Sesungguhnya orang lain yang kalian taqlidi tersebut telah berijtihad dan dia telah salah, maka dia mendapatkan (satu) pahala atas ijtihadnya tersebut. Adapun kalian, apa hujjah kalian mengikuti kesalahannya .? kenapa kalian tidak mengikuti ulama yang lain yang memfatwakan pendapat (yang benar) yang berbeda dengan pendapat si alim yang salah itu ?". Demikian juga dapat dijawab -dengan perkataan- :"Kenapa kalian bertaqlid kepada si Faqih ini dalam perkara rukhsah (yang enak menurut kalian, -pent) namun kalian tidak taqlid kepada pendapatnya yang lain yang tidak ada rukhsah (yaitu yang tidak enak pada kalian), lalu kalian mencari dari ahli fiqih selain dia yang berpendapat rukhsah ??

Ini menunjukkan bahwa kalian menjadikan taqlid sebagai benteng (alasan saja untuk membela) hawa nafsu kalian !!!" Dan para salaf telah memperingatkan terhadap kesalahan-kesalahan para ulama dan berijtihad kepada kesalahan-kesalahan mereka tersebut.

Umar Radhiyallahu anhu berkata :

"Artinya : Tiga perkara yang merobohkan agama : "Kesalahan seorang alim, debatnya orang munafiq dengan Al-Qur'an, dan para imam yang menyesatkan" [Riwayat Ad-Darimi 1/71 dengan sanad yang shahih, dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayanil Ilmi 2/110]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata :

"Artinya : Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ra'yinya (akalanya), lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang benar) maka si alim tersebut mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut" [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal dan Ibnu Abdil Barr (2/122) dengan sanad yang hasan]- selanjutnya-

TIDAK ADA YANG PERLU DIBINGUNGKAN DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN PARA ULAMA

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya mahasiswa tahun-tahun pertama di fakultas Syari'ah, kami banyak menemukan permasalahan yang mengandung perbedaan pendapat, dan terkadang pendapat yang rajih dalam sebagian masalah, ternyata bertolak belakang dengan sebagian pendapat ulama sekarang. Atau kadang kami menemukan masalah-masalah tapi tidak ada satu pun yang rajih, sehingga kami bingung dalam hal ini. Apa yang harus kami lakukan berkenaan dengan masalah yang mengandung perbedaan pendapat atau ketika kami ditanya oleh orang lain? Semoga Allah memberi kebaikan pada Syaikh.

Jawaban.
Pertanyaan semacam ini tidak hanya dialami oleh para penuntut ilmu syari'at, tapi merupakan masalah umum setiap orang. Jika seseorang mendapati perbedaan pendapat tentang suatu fatwa, ia akan kebingungan. Tapi sebenarnya tidak perlu dibingungkan, karena seseorang itu, jika mendapatkan fatwa yang berbeda, maka hendaknya ia mengikuti pendapat yang dipandangnya lebih mendekati kebenaran, yaitu berdasarkan keluasan ilmunya dan kekuatan imannya, sebagaimana jika seseorang sakit, lalu ada dua dokter yang memberikan resep berbeda, maka hendaknya ia mengikuti perkataan dokter yang dipandangnya lebih benar dalam memberikan resep obat. Jika ada dua pendapat yang dipandangnya sama, atau tidak dapat menguatkan salah satu pendapat yang berbeda itu, maka menurut para ulama, hendaknya ia mengikuti pendapat yang lebih tegas, karena itu lebih berhati-hati. Sebagian ulama lainnya mengatakan, hendaknya ia mengikuti yang lebih mudah, karena demikianlah dasar hukum dalam syari' at Islam. Ada juga yang berpendapat, boleh memilih di antara pendapat yang ada.

Yang benar adalah mengikuti yang mudah, karena hal itu sesuai dengan konsep mudahnya agama Islam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." [Al-Baqarah: 185]

Dan firmanNya.

sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan."[Al-Hajj: 78]

Serta sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Bersikap mudahlah kalian dan jangan mempersulit. "[1]

Lain dari itu, karena pada mulanya manusia adalah "bebas dari tanggung jawab" sehingga ada sesuatu yang mengubah status dasar ini. Kaidah ini berlaku bagi orang yang tidak dapat mengetahui yang haq dengan dirinya sendiri. Namun bagi yang bisa, seperti halnya thalib 'Urn (penuntut ilmu syar'i) yang bisa membaca pendapat-pendapat seputar masalah dimaksud, maka hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya lebih benar berdasarkan dalil-dalil yang ada padanya. Dalam hal ini ia harus meneliti dan membaca untuk mengetahui pendapat yang lebih benar di antara pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para ulama.


[Kitabud Da'Wah (5), haL. 45-47, SyaikH Ibnu Utsaimin]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar̢۪iyyah Fi Al-Masa̢۪il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. AI-Bukhari dalam Al-'Ilm (69).

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP PERBEDAAAN MADZHAB

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap perbedaan-perbedaan madzhab yang menyebar di berbagai golongan dan kelompok?

Jawaban:
Yang wajib baginya adalah memegang yang haq, yaitu yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah RasulNya serta loyal terhadap yang haq dan mempertahankannya. Setiap golongan atau madzhab yang bertentangan dengan yang haq, maka ia wajib berlepas diri darinya dan tidak menyepakatinya.

Agama Allah hanya satu, yaitu jalan yang lurus, yakni beribadah hanya kepada Allah semata dan mengikuti RasulNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam Maka yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah memegang yang haq dan konsisten dalam melaksanakannya, yaitu mentaati Allah dan mengikuti syari'atNya yang telah diajarkan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, disertai ikhlas karena Allah dalam melaksanakannya dan tidak memalingkan ibadah sedikit pun kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itu, setiap madzhab yang menyelisihi yang haq dan setiap golongan yang tidak menganut aqidah ini, harus dijauhi dan harus berlepas diri darinya serta mengajak para penganutnya untuk kembali kepada yang haq dengan mengungkapkan dalil-dalil syar'iyyah yang disertai kelembutan dan menggunakan metode yang tepat sambil menasehati yang haq pada mereka dengan kesabaran.

[Majmu' Fatawwa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 157-158, Syaikh Ibnu Baz]


MENGOLEKSI BUKU TAPI TIDAK MEMBACANYA


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya seorang laki-laki yang memiliki banyak buku yang bermanfaat, alhamdulillah, termasuk juga buku-buku rujukan (mara-ji'), tapi saya tidak membacanya kecuali memilih-milih sebagiannya. Apakah saya berdosa karena mengoleksi buku-buku tersebut di rumah, sementara, ada beberapa orang yang meminjam sebagian buku-buku tersebut untuk dimanfaatkan lalu dikembalikan lagi?

Jawaban.
Tidak ada dosa bagi seorang muslim untuk mengoleksi buku-buku yang bermanfaat dan merawatnya di perpustakaan pribadinya sebagai bahan rujukan dan untuk mengambil manfaatnya serta untuk dipergunakan oleh orang lain yang mengun-junginya sehingga bisa ikut memanfaatkannya. Dan tidak berdosa jika ia tidak membaca sebagian besar buku-bukunya tersebut. Tentang meminjamkannya kepada orang-orang yang dipercaya bisa memanfaatkannya, hal ini disyari'atkan di samping sebagai sikap mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena dalam hal ini berarti memberikan bantuan untuk diperolehnya ilmu, dan ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa." [Al-Ma'idah : 2]

Juga termasuk dalam cakupan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Dan Allah senantiasa menolong hambaNya selama hamba itu menolong saudaranya." [Hadits Riwayat Bukhari dalam Ad-Dzikir 2669]

[Fatwa Hai̢۪ah Kibarik Ulama, juz 2, hal. 969, Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar̢۪iyyah Fi Al-Masa̢۪il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI