Assalamualaikum Tholabul ilmi sejati terimakasih atas kunjunganya di link ini semoga bermanfaat untuk kita semua.dan semoga Alloh memberikan Hidayah taufik untuk kita silahkan kritik dan saran antum

Jumat, 07 Oktober 2011

HUBUNGAN ANTARA BID’AH DENGAN MAKSIAT








Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2



B. Sisi Perbedaan Antara Bid’ah Dengan Maksiat

[1]. Dasar larangan maksiat biasanya dalil-dalil yang khusus, baik teks wahyu (Al-Qur’an , As-Sunnah) atau ijma’ atau qiyas. Berbeda dengan bid’ah, bahwa dasar larangannya –biasanya dalil-dalil yang umum dan maqaashidusysyarii’ah serta cakupan sabda Rasulullah ‘Kullu bid’atin dhalaalah’ (setiap bida’ah itu sesat).

[2]. Bid’ah itu menyamai hal-hal yang disyari’atkan, karena bid’ah itu disandarkan dan dinisbatkan kepada agama. Berbeda dengan maksiat, ia bertentangan dengan hal yang disyariatkan, karena maksiat itu berada di luar agama, serta tidak dinisbatkan padanya, kecuali jika maksiat ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka terkumpullah dalam maksiat semacam ini, maksiat dan bid’ah dalam waktu yang sama.

[3]. Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syari’at. Menuduh bahwa syari’at ini masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Sedangkan maksiat, padanya tidak ada keyakinan bahwa syari’at itu belum sempurna, bahkan pelaku maksiat meyakini dan mengakui bahwa ia melanggar dan menyalahi syariat.

[4]. Maksiat merupakan pelanggaran yang sangat besar ditinjau dai sisi melanggar batas-batas hukum Allah, karena pada dasarnya dalam jiwa pelaku maksiat tidak ada penghormatan terhadap Allah, terbukti dengan tidak tunduknya dia pada syari’at agamanya. Sebagaimana dikatakan, “Janganlah engkau melihat kecilnya kesalahan, tapi lihatlah siapa yang engkau bangkang” [1].

Berbeda dengan bid’ah, sesungguhnya pelaku bid’ah memandang bahwa dia memuliakan Allah, mengagungkan syari’at dan agamanya. Ia meyakini bahwa ia dekat dengan tuhannya dan melaksanakan perintahNya. Oleh sebab itu, ulama Salaf masih menerima riwayat ahli bid’ah, dengan syarat ia tidak mengajak orang lain untuk melakukan bid’ah tersebut dan tidak menghalalkan berbohong. Sedangkan pelaku maksiat adalah fasiq, gugur keadilannya, ditolak riwayatnya dengan kesepakatan ulama.

[5]. Maka sesungguhnya pelaku maksiat terkadang ingin taubat dan kembali, berbeda dengan ahli bid’ah, sesungguhnya dia meyakini bahwa amalanya itu adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah, -pent), terutama ahli bid’ah kubra (pelaku bid’ah besar), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik…” [Faathir : 8]

Sufyan At-Tsauri berkata : “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan bid’ah tidak (idharapkan) taubat darinya.

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah.

Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka. Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertaubat, karena mereka beranggapan bahwa mereka berbuat baik. [2].

[6]. Jenis bid’ah besar dari maksiat, karena fitnah ahli bid’ah (mubtadi) terfdapat dalam dasar agama, sedangkan fitnah pelaku dosa terdapat dalam syahwat. [3]. Dan ini bisa dijadikan sebuah kaidah bahwa jika salah satu dari bid’ah atau maksiat itu tidak dibarengi qarinah-qarinah (bukti atau tanda) dan keadaan yang bisa memindahkan hal itu dari kedudukan asalnya.

Diantara contoh bukti-bukti dan keadaan tersebut adalah : Pelanggaran –baik maksiat atau bid’ah- bisa membesar jika diiringi praktek terus menerus, meremehkannya, terang-terangan, menghalkan atau mengajak orang lain untuk melakukannya. Ia juga bisa mengecil bahayanya jika dibarengi dengan pelaksanaan yang sembunyi-sembunyi, terselubung tidak terus menerus, menyesal (setelahnya, -pen) dan berusaha untuk taubat.

Contoh lain : Pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Jika bahayanya kembali kepada dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan yang bahayanya hanya kembali kepada hal-hal parsial dalam agama. Begitu pula pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengan agama lebih besar daripada pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengna jiwa.

Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah dengan maksiat kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat dan bahayanya, serta akibat yang dtimbulkan sesudahnya, karena memperingatkan bahaya bid’ah atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya tidak seyogyanya menimbulkan –sekarang atau sesudahnya- sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan maksiat itu sendiri, sebagaimana ketika kita memperingatkan bahawa maksiat atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya, tidak seyogyanya mengakibatkan –sekarang atau sesudahnya-sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Ajwaabul Kaafi : 58, 149-150, Al-I’tisham 2/62
[2]. Lihat kedua rujukan diatas yang sama
[3]. Lihat Al-Jawwabul Kaafi : 58, dan Majmu Fatawa 20/103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog BULETIN THOLABUL ILMI